Cerpen Wulan Widari Endah
Kotak kecil berwarna hijau itu kau buat bersama ayahmu. Tahun berganti kotak itu sungguh tak terawat, penuh debu dan tak membuat orang lain berminat padanya. Namun, aku tahu betul kau kumpulkan bekas kardus, bekas kemasan plastik dan kau akan memasukkan uang hasilnya ke kotak hijau itu. Hal lain yang aku tahu adalah para tetangga dan teman-temanmu kau ajak untuk ikut mengisi kotak itu. Tukang nasi goreng yang berjualan di depan warungmu ketika malam pun rajin menyisihkan uang keuntungan jualannya ke kotak itu. Sales rokok atau langganan lainnya tak luput dari himbauanmu untuk ikut mengisi kotak itu. Biasanya ketika pulang ke kampung halaman, kau telah menyiapkan amplop dan dititipkan ke emak untuk dibagikan kepada para yatim di sana.
“Kenapa tidak untuk yatim di tempat tinggal kita saja?” kataku.
“Iya sudah dibagi dua,” jawabmu.
“Berati banyak yah isinya?” celotehku.
“Lumayan,” katamu.
Kami keluarga sederhana. Menyambung harapan dan asa lewat warung nan seadanya. Kami menjual rokok, kopi, sabun, sampo dan kebutuhan harian lainnya. Beberapa bulan ini kulihat kau resah.
“Dari pagi duduk nunggu pembeli, satu pun enggak ada yang nongol.”
Aku tahu kau sedang mengeluh pada diri sendiri dan aku tak bisa membantu. Tak lama temanmu Oji datang membeli kopi.
“Oji, jangan utang ya, kamu penglaris hari ini.”
“Tenang aja Kang, aku baru nganterin penumpang tadi.”
“Oke,” segera kau mengambil kopi instan, menuangkannya dalam gelas plastik dan mengaduknya dengan bahagia. Ada cerita di tiap gelas kopi. Oji hari itu pun wajahnya tampak kusut.
“Kang istriku ngeluh aja bisanya, udah lama aku enggak selera makan atau ngopi di rumah.”
“Kenapa Ji?”
“Si Atik mau sekolah TK katanya, kami tidak punya uang. Istriku tetep maksa haru sekolah TK. Dasar perempuan egois. Semenjak ada ojol penghasilanku makin minim, sibuk pengen sekolah TK lagi.”
“Perempuan emang gitu Ji, kamu mending nurut aja daripada perang panas dingin, mungkin istrimu sudah punya tabungan.”
“Boro-boro Kang, istriku mulai kuli nyuci di rumah tetangga, aku malu Kang.”
“Biarin aja, maunya sendiri kerja jangan dilarang-larang paling capek ngoceh-ngoceh lagi, hahaha. Nasibmu Ji, malang.”
“Pusing Kang!”
“Sama aja Ji, aku juga pusing mau bayar cicilan motor, tagihan ini itu warung sepi.”
“Kang Ato mah enak duduk doang dapat duit.”
“Enak aja yang enggak tahu mah.”
“Istri Kang Ato guru, enak gajian.”
“Guru honorer gajiannya aja enggak tentu, cukup untuk bensin motornya aja tiap bulan udah bagus. Mudah-mudahan tahun ini lolos jadi PNS. Doain Ji biasanya doa orang teraniaya terkabul.”
“Haha, dasar. Iya saya doain, iya saya teraniaya udah ngedoain tetep harus bayar kopi ini.”
***
Tahun ini adalah ketiga kalinya aku mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri. Aku awalnya ragu, tapi melihat dukunganmu rasanya malu jika aku tidak sungguh-sungguh.
“Mamah bantal bobonya ganti buku ya?” celoteh anakku polos karena sudah berminggu-minggu buku setebal 500 halaman itu ada di dekatku. Setelah anakku tidur, segera aku kerjakan lagi latihan soal-soal hingga mataku menyerah lalu ku lanjutkan lagi esok.
Hari itu tepat tanggal tes pertamaku. Kulihat suamiku membuka kotak hijau itu.
“Kan Lebaran masih lama, kok dibuka?”
“Hm, darurat mau dipinjem dulu buat bayar cicilan sama buat kamu.”
Aku marah sekali mendengar hal itu. “Jangan, nanti kena bala itu bukan hak kita kataku tegas.”
“Warung lagi sepi, pinjem dulu buat ongkos kamu berangkat tes kan jauh tempatnya, mesipun ikut teman kan harus ikut bayar bensin dan tol.”
Aku sedih dan bingung, “Akhirnya kuterima uang itu dengan perasaan bersalah.”
Aku berangkat nebeng mobil temanku ke tempat tes yang memakan waktu sekitar tiga jam jika tidak macet. Kami akan masuk ke ruang tes setelah duhur, tapi kami berangkat jam 6 pagi supaya tidak terlambat. Sepanjang perjalanan doa-doa selalu kurapalkan, buku latihan kubaca kembali hanya sesekali saja aku ngobrol dengan temanku ini dan sebenarnya kami tidak terlalu akrab. Aku nekat nebeng karena memang tidak tahu tempat tes dan tidak punya uang kalau harus naik angkutan umum.
“Bruk!” suara benda jatuh dan kami pun kaget karena mobil kami diserempet motor dari arah kiri dan motor naas itu tersungkur. Seketika jalanan yang memang ramai menjadi macet dan kacau. Kami ketakutan.
“Ya Tuhan apa ini?” kaca spion mobil temanku pecah. Kulihat wajah temanku meradang.
“Tenang, tenang, Nis!” kataku berusaha menenangkannya. Kami turun dari mobil dan melihat pengendara motor yang konyol itu. Dia tampak syok dan pakaiannya sama seperti kami, kemeja putih dan bawahan hitam.
“Mas enggak apa-apa?” kataku. Sepertinya dia menyadari kami punya tempat tujuan yang sama.
“Saya enggak apa-apa Mbak. Maaf ya,” dia tampak malu dan meringis kesakitan. Temanku Nisa berusaha menenangkan diri. Sambil menahan amarah Nisa memperbolehkan lelaki itu pergi dan merelakan kaca spionnya rusak tidak diganti.
Kulihat ada banyak kendaraan terparkir. Tempat tes pertama ini sebuah kantor pemerintah yang cukup angker sepertinya. Besar tapi kurang terawat. Dikelilingi hutan dan di sekitar tempat ini hanya kantor-kantor yang serupa saja.
Ruangan ini berpendingin tapi kenapa terasa sangat panas di tubuhku. Ada sekitar 200 komputer dalam ruangan ini. Aku sudah duduk di hadapan salah satu komputer dan baru menyadari kalau Nisa tidak ada di dekatku. Tuhan tolong aku! Jangan biarkan harapan-harapan keluargaku pupus! Jangan biarkan kami meminjam lagi uang dari kotak hijau itu.
________
Penulis
Wulan Widari Endah Lahir di Rangkasbitung, 20 September 1989. Guru di SMP Negeri 3 Cilegon.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com