Cerpen Buaya Dayat
Panggil aku Kimbo. Gorila ternama. Penghuni paling lama di Smutzer Primata Center. Sungguh aku bosan berada di tanah Ragunan ini cuma sebagai tontonan, padahal sebagai primata yang sudah lama bergaul dengan kaum manusia, yang katanya raja diraja primata, aku sudah berhasil menjadi lebih manusiawi dibanding hewani.
Sudah dua minggu terakhir aku tak memakan mentah-mentah begitu saja makanan yang diberikan kawan-kawan manusiaku. Aku akan memanggangnya dengan korek api gas yang berhasil kucuri dari pengawas. Rokok dan kopi pun kini jadi menu harianku. Jika kaum manusia menganggap itu adalah kelucuan yang menggelikan, maka aku menganggapnya kenikmatan. Kawan-kawan gorila banyak yang tak berkenan dan lebih memilih menu primata rendahan yang konservatif. Maka jadilah aku, Kimbo, gorila kesayangan pengawas dan pengunjung dengan atraksi ngopi dan ngerokoknya.
Yang manusia-manusia itu tak tahu, aku jauh lebih maju dari sekadar atraksi fisik primata rendahan, aku pun suka membaca dan menulis puisi. Itu dimulai sejak dini. Bahasa manusia menyebutnya … apa itu? Oh ya, TAKDIR. Seolah sudah ditakdirkan saat bayi kandangku jadi satu dengan perpustakan tak terurus. Pengunjung manusia-manusia kecil itu lebih dididik untuk menonton kelucuan hewan daripada membaca tulisan.
Maka sebelum atraksi merokok dan ngopi, karier awalku yang dianggap lucu oeh para manusia adalah membaca. Suatu kegiatan yang ditertawakan kawan-kawan hewanku yang lebih suka bergelantungan. Tidakkah mereka amatiran yang masih bangga dengan kehewanannya? Oke, jika kupikirkan lagi mungkin bukan bangga, melainkan pasrah menerima keadaan. Sedang aku adalah makhluk berpikir yang terlalu kikir jika hidup hanya kupakai untuk makan-tidur dan kawin saja.
Begitulah, kebosanan yang teramat dari rutinitas yang tak menuntut berpikir membuatku mulai berpikir untuk kabur.
***
Nama asli saya Tatang alias Atang, tapi panggil aja saya Rambo. Gak usah bingung begitu, nanti saya jelasin kenapa bisa dipanggil begitu. Saya pengurus Smutzer paling senior. Saya bisa disambut ramah oleh gorila paling pemarah. Bau badan saya kata si Bos adalah bau yang berkah.
“Bau badan kamu unik Bo, bisa bikin gorila nggak marah. Gelisah aja nggak. Hebat!”
Hebat? Saya nggak tahu harus bangga atau malu dengan kenyataan itu. Yang pasti di luar Ragunan berkah ini jadi musibah. Bau badan ini kayak kutukan. Nggak ada perempuan yang tahan berdekatan kecuali lagi pilek berat. Itu bikin saya nggak punya bini sampai sekarang. Jangankan bini, keperjakaanku pun baru dilepaskan oleh tangan kanan dan busa sabun batangan.
Oh ya, saya dipanggil Rambo gara-gara kejadian tahun lalu, saat gorila tawuran pas musim kawin.
“SENAPAN BIUS! AMBIL SENAPAN BIUS DI POS! CEPAATT!!”
Saya marah dengan perintah si Bos waktu itu, masak iya tiap musim kawin mau pakai senapan biar aman? Apalagi saya melihat gorila-gorila yang nggak ikutan tawuran menatap tepat ke mata saya sambil mengeluarkan suara gaduh yang riuh. Dan yang lebih gilanya, kok ya saya bisa ngerti apa yang diomongin gorila itu? Mungkin saya punya darah keturunan Nabi Sulaiman, nabi yang dikenal mengerti bahasa binatang? Entahlah.
Hmm, gagal lagi aku untuk menyelinap di tengah kekacauan yang kuciptakan. Para pemilik otak purba ini begitu gampang diadu domba dengan birahi ditambah perebutan makanan, atau lebih tepatnya adu gorila. Si Atang itu sungguh membuyarkan rencana yang sudah kususun rapi.
Saya lihat tidak ada pengawas yang berani mengambil tindakan. Secara naluri saya seperti mengerti apa yang harus diperbuat. Saya membuka baju dan celana yang menawarkan bau pabrikan yang tak alami. Hanya dengan bercelana dalam saya merangkak langsung ke arah dua gorila alpha yang sedang bertarung, menawarkan bau badan saya yang tidak mengancam. Saya hanya membawa cukup makanan ke tengah pertarungan dua ekor gorila tersebut. Bersimpuh merendah tanpa menatap mata mereka yang murka. Ajaib! Segera saja pertarungan berhenti, mereka semua seperti tunduk pada saya.
Huh, mereka semua tunduk pada manusia berbau paling buruk. Memalukan!
Jika Tarzan itu ada, pasti mirip dengan saya. Tapi nggak tau kenapa, kawan-kawan dan pimpinan pengawas malah memanggil saya Rambo karena kejadian itu, bukannya Tarzan.
Hahaha, lucu. Para manusia bebal ini bahkan tak pandai bermain analogi. Si Atang malah dipanggil Rambo, padahal tak satu pun darah gorila tumpah.
***
Yang pasti sejak kejadian itu, saya merasa kandang adalah rumah, sementara rumah dinas adalah kandang yang kayak penjara. Penjara yang mengharuskan saya berpikir untuk bisa disebut manusia, mensyaratkan saya menikah biar disebut normal. Manusia yang saya sebut teman-teman pun kini mulai meragukan kejantanan saya, karena tak kunjung berbini hingga umur 40. Padahal sudah bolak-balik mereka menawarkan perempuan untuk kujadikan bini, bahkan perempuan untuk sekedar pelepas nafsu semalam.
“Hahahaha si Atang, gorila dibedakin baru dia mau.”
“Atau jangan-jangan?” Salah seorang dari mereka menatap penuh arti, ada bahasa hinaan di dalam cara mereka saling menatap.
“Ahh, mana bisa! Masak iya Rambo homo?!”
“HAHAHAHA!!”
Menggelegarlah tawa mereka semua yang semula saya anggap teman.
Tidak adakah tempat bagi manusia untuk mengasingkan diri dengan merdeka? Haruskah setiap soalan saya harus diketahui dan direcoki mereka?
Hmm, mungkin kalian para manusia yang terhormat akan berpikir kalau saya gila, kalau tahu si Rambo ini berniat menjadi salah satu gorila di Smutzer. Tidak hendak menjadi Tarzan, hanya menjadi gorila. Sebagai awalan, saya kini lebih suka memakan mentah segala makanan, rebusan pun kuharamkan dalam menu harian. Kayaknya saya adalah vegetarian paling militan yang pernah ada dalam sejarah manusia. Biarlah lidah saya beradaptasi, agar otak tak lagi harus berpikir, hidup terlalu getir untuk dipikir.
***
Puahhh! Lagi-lagi pengawas pemalas itu memberi kami buah mentah dan busuk. Buah-buah bagus selalu diselundupkannya ke luar kandang. Manusia macam inilah yang lebih pantas disebut hewan, hanya memikirkan lingkar perutnya sendiri.
Fiuhhh! Lagi-lagi harus saya selundupkan buah-buah dan sayuran segar sebagai stok makananku sebulan sebagai latihan. Hewan-hewan itu mana bisa protes kalau dapat makanan busuk?
***
Uhh, baru kupakai setengah hari, lengan dan kakiku sudah pegal-pegal kupakai berakting gelantungan. Sudah hampir setahun ini, lengan-lengan itu hanya kupakai untuk menulis. Ya, menulis? Apa kalian masih meremehkan kemampuan gorila untuk belajar? Kami jauh lebih pandai dari lumba-lumba yang hanya bisa mengandalkan daya ingatnya untuk hitungan sederhana. Soal bicara, jangan kau kabur jika aku menyebutkan "halo" di hadapan kalian. Kami tentu saja lebih pandai dari beo, yang hanya bisa menirukan suara manusia dengan suara serak-serak becek. Yang diperlukan hanyalah sedikit berpikir.
Push up, sit up, pull up, semua latihan menjadi gorila saya jalani dengan gila-gilaan. Tak ayal tubuh saya makin berotot, otakku makin lemot, segala urusan tetek bengek gorila saya serahkan pada anak buah yang masih mau susah-susah berpikir, kini hanya makan dan buang hajat saja yang jadi kebutuhan saya.
***
Mau apa Atang si pengurus korup ini, malam-malam ke kandang kami? Setelah makanan busuk, apa lagi yang mau dia korupsi?
Ya, harus malam ini. Semua teman manusia saya yang menjaga gorila mengajukan cuti libur panjang hari kejepit nasional. Saya jadi Rambo yang dermawan hari itu, karena mengajukan diri untuk menggantikan semua tugas mereka. Kesempatan langka untuk semakin membaur dengan teman-teman gorila.
Bangsat, sudah semakin binatang aja si Atang, memasuki kandang dengan tubuh telanjang? Instingku menyuruh untuk menyerang, tapi otakku melihat celah takdir dari pintu pagar yang tak terkunci. Ahh, paling-paling bujang lapuk itu tak tahan dengan hasrat kelelakiannya dan malah nafsu melihat tubuh berbulu menjijikkan dari para betina di kandang utara.
Brrr. Dingin menusuk ini harus saya tahan, saya biasakan. Lama-lama asik juga, tubuh terkena sinar rembulan secara langsung, tak terhalang kain yang cuma bikin gatal itu. Ahh, andai bulu di tubuh saya selebat para gorila itu.
***
Atang hilang. Kimbo lenyap. Tak ada jejak darah dan tapak kaki. Yang tersisa di kamar Atang hanya buku tulis garis tiga dengan tulisan huruf cetak seolah baru belajar menulis. Sebuah kisah omong kosong tentang manusia dan gorila yang ingin berganti peran. Apakah gorila bisa punya diari? Apakah Atang ingin melarikan diri dari penagih utang?
***
Demikianlah. Kisah ini kami tuliskan atas nama kami berdua. Manusia yang memiliki naluri hewani atau binatang yang memiliki nalar manusiawi? Entahlah. Kalian saja yang putuskan.
_________
Penulis
Hidayatullah Buaya Dayat adalah nama pena dari Hidayatullah. Ia adalah penulis iklan yang ingin jadi penulis beneran. Novel digitalnya Catatan Harian Para Pembohong menjadi salah satu pemenang kompetisi menulis dan Insyaallah akan difilmkan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com