Esai Edi Warsidi
Seseorang yang mengaku akademikus bergelar tertinggi dari luar negeri pernah kalap di sebuah ruangan. Dia memaki siapa pun yang ada di ruangan itu. Kursi dan meja dibanting dan membuat keder semua orang di sana. Matanya jalang seperti orang kesurupan. Amarahnya yang amat sangat kepada semua orang mirip pentas monolog. Sialnya, dia marah seperti dalam film-film psikopat yang tampak manis di awal, padahal begitu memuakkan.
Dalam amarah seperti orang monolog, orang kalap itu menyindir anak buahnya yang kebetulan lulusan sastra.
"Elu lagi, apaan sastra? Untuk apa sastra?" hardik orang kalap.
Itu naif kedengarannya, tetapi lumayan dalam menikam. Permasalahannya bukan karena saya menekuni dunia sastra. Pada satu sisi, pertanyaan orang kalap itu telah menguakkan dirinya bahwa ia mengandung kebenaran. Akan tetapi, serentak dengan itu terkuak pula kelemahan atau keterbatasan jalan pikiran si kalap tentang makna kehidupan jika ditilik dari sisi kemanusiaan.
Andaikata kehidupan atau pengertian hidup kita beri batas sejauh makna biologis, sudah jelas manusia dapat hidup tanpa sastra. Asalkan ia cukup sandang, pangan, dan papan, serta memiliki alat guna menangkal berbagai ancaman fisik. Sebatas ini sastra dan seni tidak dibutuhkan kehidupan. Sastra dan seni tidak membentuk darah daging atau sel-sel tubuh sebagai syarat dasar hidup biologis.
Makanan dan sarana pelindung fisik jelas merupakan kebutuhan kita. Pada masa prasejarah, manusia bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain dan terkadang disertai perkelahian, semata-mata terkonteks dengan kedua kebutuhan itu. Kedua kebutuhan itu betul-betul diusahakan dan diperjuangkan.
Pada sela-sela perjuangan memenuhi kebutuhan jasmani itu, manusia mengembangkan kehidupan rohaninya. Memang, tampaknya aspek ini, khususnya sastra dan seni, tidaklah mendesak. Akan tetapi, manusia tidak kuasa menolak berbagai cetusan rohaniah yang terus-menerus mengalir bersama perjalanan hidupnya. Dalam evolusinya, manusia mengalami "fajar" peradaban dan kerohanian tempat sastra ikut serta di dalamnya.
Pada awal uraian, C. Day Lewwis dalam Poetry for You, Basil Blacwell (1960) mengungkapkan fenomena lahirnya puisi sebagai wujud cetusan rohani yang paling mendasar. Data ini menunjukkan manusia tidak terpuaskan hanya dengan mempertahankan kehidupan jasmaninya. Manusia membutuhkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan jasmaninya. Kebutuhan ini memang tidak diusahakan dengan kucur peluh, tetapi manusia tidak mampu menampik kehadiran dan kelahirannya sebab kelahirannya merupakan konsekuensi dari hasil evolusi rohani.
Secara sempit, orang masih dapat membantah peran sastra sebagai bagian tidak terpisahkan dalam membangun hidup manusia seutuhnya. Barangkali banyak orang merasa bahagia tanpa pernah membaca novel, puisi, cerpen, atau menonton pertunjukan teater. Dengan hal ini, orang beralasan yang tampaknya logis bahwa tanpa sastra manusia tetap dapat hidup. Dalam konteks ini, sekali lagi, kita bertemu dengan refleksi "keterbatasan" wawasan, untuk tidak menyebut naif.
Barangkali saja orang tidak membaca novel, puisi, cerpen, atau tidak menonton pementasan teater, tetapi menikmati berbagai bentuk kesusastraan yang lebih sederhana. Orang pun dapat menikmati bentuk-bentuk transformasi sastra yang dapat "dikunyah" lebih lezat tanpa dibayangi oleh mitos sastra yang bercitra angker. Dalam bentuk yang lain, orang barangkali mengembangkan imajinasi berbagai aspek kehidupan yang diwujudkan dalam beragam bentuk kreasi. Di sini, sastra barangkali mendapatkan bentuknya dalam wujud permainan, seperti dikatakan Johan Huizinga dalam Homo Luden, LP3ES (1990).
Saya kurang percaya ada orang yang betul-betul merasa utuh dalam hidupnya jika ia meminggirkan kebutuhan rohaninya, antara lain sastra dan seni. Bisa kita lihat bahwa pada masa keemasan negara komunis, sekalipun penguasanya menindas kepercayaan rakyat terhadap Tuhan dan agama sebagai cetusan rohani tertinggi, namun sastra dan seni menggantikan kedudukannya. Mereka menyalurkan rasa religiusnya melalui sastra dan seni dengan cara sembunyi-sembunyi. Dengan begitu, hadirnya sastra dalam hidup manusia mencerminkan utuhnya kehidupan itu, yang dalam konteks ini sekaligus menunjukkan utuhnya evolusi rohani manusia.
”Untuk apa sastra?” kata si kalap.
Jawaban paling sempit, salah satunya sastra untuk menyumpal mulut orang kalap itu agar berhenti merendahkan orang lain. Sastra untuk menggerus nurani si kalap agar berpikir jernih, halus, dan bijak.
________
Penulis
Edi Warsidi, penulis tinggal di Bandung.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com