Cerpen Nadia Faiz
Suatu hari di pagi yang cerah, suara ayam berkokok dan burung bersiul, memenuhi indra pendengaranku. Seolah membangunkanku agar bersiap untuk beraktivitas. Di kampung, kami terbiasa untuk salat bersama di masjid, mayoritas penduduk kampung kami beragama Islam.
Seperti pada pagi-pagi biasanya, masyarakat memulai aktivitasnya masing-masing. Ibu-ibu yang menyiapkan keperluan keluarganya, bapak-bapak bersiap untuk bekerja, dan anak-anak bersiap ke sekolah, termasuk aku.
Sesampainya di sekolah, aku mendapati kelas kami yang sedang heboh karena berita bahwa akan ada murid baru di kelas kami. Anak-anak kelasku mulai menebak wujud baru di kelas kami. Lalu setelah guru memberi izin anak baru memasuki ruang kelas, kami begitu terkejut bahwa anak baru di kelas kami adalah anak perempuan, namun tidak memakai kerudung dan memakai kalung salib di lehernya.
Pemandangan itu sangat baru dan asing bagi kami, karena kampung kami masih kental dengan keislamannya, tepatnya di kampung Dukuh dekat hutan Garut. Anak perempuan itu bernama Lucy, ia pindahan dari kota. Ia pindah ke kampung mengikuti kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Lucy merasa jenuh berada di kota karena asap polusi di mana-mana dan kriminalitas yang semakin meninggi. Mereka rindu dengan suasana kampung yang tenteram, sejuk, dan masih segar belum tercemari asap kendaraan yang memenuhi jalanan. Maka kedua orang tua Lucy pun memutuskan untuk meninggalkan kota dan menetap di kampung.
Karena perbedaan agama, ia tidak mendapatkan teman. Suatu hati teman sekelasku, Dinda, membagikan oleh-oleh yang ia beli dari kota untuk kami. Semua anak di kelas mendapat oleh-oleh tersebut kecuali Lucy.
Lucy yang melihat kejadian itu memasang raut wajah masam dan terlihat sedang menahan tangis, air mata yang ditahannya tak bisa lagi dibendung saat melihat Dinda yang lewat di depan mejanya begitu saja dengan sikap takacuhnya.
Aku yang melihat kajadian itu pun langsung menghampiri tempat duduk Lucy dan membagi oleh-oleh yang kudapat dari Dinda untuk kami nikmati bersama. Setelah pulang sekolah aku pun mengajak Dinda untuk berbincang. Aku menegur perbuatan yang Dinda lakukan terhadap Lucy di kelas dan memberi tahu bahwa perbuatannya dapat melukai perasaan seseorang.
“Dinda, mengapa kamu tidak memberikan oleh-oleh kepada Lucy, sementara kamu memberikan semua anak kelas oleh-oleh?” tanyaku.
“Biarkan saja, toh dia juga berbeda dengan kita. Dia tidak memakai kerudung, dia juga tidak salat seperti kita,”jawab Dinda.
“Lucy memang tidak berkerudung seperti kita, dia juga tidak salat seperti kita, walau begitu dia satu bangsa dengan kita. Kamu masih ingat kan semboyan bangsa dan maknanya?” tanyaku.
“Ingat, semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika kan? Maknanya berbeda-beda tetapi tetap satu jua,” balas Dinda.
“Nah berbeda-beda yang dimaksud ialah berbeda agama, etnis, kebudayaan, ras dan lain sebagainya. Jadi Meskipun Lucy berbeda dengan kita, namun kita tidak boleh membeda-bedakan Lucy,” jawabku.
“Benar juga apa yang kamu katakan. Aku tidak berpikir panjang, nanti aku akan meminta maaf kepadanya. Terima kasih telah mengingatkan dan menegurku,” ujar Dinda.
“Tentu, itu juga merupakan tugas kita untuk saling mengingatkan,” jawabku.
Namun kejadian itu tidak dapat diputarbalikan atau pun dibatalkan, kejadian itu menjadi luka dihati Lucy dan terekam jelas di memori Lucy. Ia menjadi tidak percaya diri untuk bertemu teman-temannya.
Besoknya Lucy pun memutuskan tidak masuk kelas. Dinda yang ingin meminta maaf kepada Lucy pun bingung karena Lucy tidak masuk tanpa keterangan.
Aku dan Dinda pun merasa cemas mengingat apa yang terjadi kemaren. Begitu pulang kami pun memutuskan untuk ke rumah Lucy. Begitu sampai di rumah Lucy, kami pun dihidangkan jamuan oleh ibu Lucy. Kami meminta izin untuk menemui Lucy.
Kami mengetuk pintu kamar Lucy. Dan Lucy membuka pintu.
“Ngapain kalian ada di sini?” tanya Lucy dengan nada kesal.
“Aku mau meminta maaf atas apa yang aku lakukan kepadamu saat di kelas kemarin. Aku sungguh menyesal atas apa yang aku lakukan kepadamu,” jawab Dinda.
Lucy yang tadinya sangat kesal itu, menghela na napas begitu mendengar permintaan maaf dari Dinda. Lucy merasa pemintaan maaf Dinda begitu tulus, ia pun menerima permintaan maaf itu.
“Iya, tidak apa-apa Dinda, aku maafkan, tetapi lain kali jangan seperti itu lagi, perbedaan pasti akan selalu terjadi,” jawab Lucy.
“Benar, syukurlah kalian sudah berbaikan, meski kita tidak memiliki perbedaan baik perbedaan agama, etnis, budaya, tetapi kita ini tetap satu, Indonesia,” balasku.
Kami pun tertawa bersama dan tampak semakin akrab. Anak-anak lain yang menjauhinya pun kini mendekat dan mulai membuka diri kepada Lucy.
Beberapa bulan kemudian, Ramadan pun tiba. Sekolah kami mengadakan acara pesantren kilat, meski Lucy tidak berpuasa seperti kami, tapi Lucy tidak makan atau pun minum di depan kami. Saat beristirahat, ia juga tidak jajan atau pun membawa bekal. Kedekatan kami dan Lucy pun semakin erat, Lucy juga selalu menghormati budaya-budaya yang ada di kampung kami.
(Cerita ini adalah Pemenang III Lomba Cipta Cerpen Tingkat SMP se-Kota Serang yang diadakan oleh MGMP Kota Serang dalam Semarak Bulan Bahasa 2022).
______
Penulis
Nadia Faiz, siswa SMPN 14 Kota Serang.
Kirim naskah ke
redaksi ngewiyak@gmail.com