Puisi Ngadi Nugroho
Labirin Suara
Ketika penyesalan lumpuh di otakmu. Hanya melahirkan kata-kata mandul. Tetap saja ribuan mulut-mulut pemabuk kamu jadikan ayat suci. Seharusnya pinggirkan dulu jiwamu di perempatan. Sambil jongkok menghitung waktu untuk kembali berjalan.
Dan malam menjadi mimbar-mimbar tuhan yang paling durjana di matamu. Kamu perlahan mengamini seribu luka. Kamu masukkan dalam bejana. Kamu pukul dengan beringas. Hingga bersuara sumbang. Ah betapa lelah hari-harimu. Memahat tubuhmu serupa batu.
Semarang, 2022
Jalan Kematian
Pada sepi sebuah sumur. Dia gantungkan tali kegelisahan di urat lehernya. Dijumput dari rasa sesal yang mendalam. Rasa sesal itu seolah tugur. Geming di rahim yang tak perawan. Di pandangnya wajah-wajah itu serupa riak. Ada rembulan yang tiba-tiba jatuh mendekam. Lamat-lamat terdengar isak. Wajahmu pun mulai tak nampak. Hanya cahaya rembulan mengkilat kuning keemasan. Tak ada sesiapa di dalam sana. Kecuali sekadar bayang-bayang. Dan sebuah isak yang masih tergantung di atas sumur saat rembulan rembang.
Semarang, 2022
Untuk Siapa Cintamu yang Malu-Malu
Seperti peri-peri kecil bersayap merah jambu. Tersenyum di depan pintu rumahmu. Mengemasi segala angan yang kamu tembakkan seperti peluru. Selanjutnya membuntalnya sebagai sesajen ayam ingkung dan obo rampenya. Kamu berdoa pada Yang Pemilik Luka agar malam minggu esok tak ada hati yang retak. Di pagar depan rumahmu kamu taburi garam penghalau setan. Kata ibu; garam mujarab ngusir ular welang. Entah ular seperti apa yang di maksud, tetap saja itu kamu lakukan untuk penghalau lelaki hidung belang.
Di pasar loak kamu mencari baju-baju untuk berkencan. Warna bunga-bunga juga ada cahaya matahari sebagai latarnya. Tak ada yang tahu lelaki seperti apa dalam anganmu. Mungkin lelaki yang bisa menambal luka atau seperti lelaki pembawa suluh saat hatimu gulita. Yang aku tahu setelah kematiannya, cahaya itu adalah jabang bayi kecil yang selalu menyusu di puting payudaramu. Tak ada yang lain selain itu; mengeruk gumpalan batu di hari-harimu.
Semarang, 2022
Mimpi Masih Menunggumu
Kamu tak harus lemah. Atau seperti dinding-dinding yang memar, setiap pagi memantulkan tangismu di ujung pembaringan kamar. Jendela mulai limbung tertutup tirai ungu. Hari-hari jangan kamu biarkan memucat. Bukankah detik belum benar-benar terkapar menjadi seonggok mayat.
Tepat di jantungmu masih ada nyanyi burung-burung. Tangkaplah dan kurung mereka dalam mimpimu. Sore tak akan bilang permisi. Walau kamu tengah berdiri melamun di depan pintu. Tuhan telah mengayunkan waktu teramat jauh. Dan kamu tinggal menunggu burung-burung itu hinggap di kedua tanganmu. Bukalah jendela kamarmu, langit tak hanya bertirai ungu.
Semarang, 2022
________
Penulis