Cerpen Anindita Buyung
Beberapa waktu yang lalu masih kulihat pundaknya bergerak sangat pelan. Sepertinya nyawanya belum habis ditarik malaikat dari sela-sela pisau yang menancap di punggungnya. Ingin rasanya kucabut pisau itu supaya nyawanya lekas habis keluar dari raga. Namun, kuurungkan sebab nanti semua menjadi semakin runyam. Maka, kutunggu saja malaikat menuntaskan tugasnya baru kemudian kupikirkan langkah selanjutnya.
Hal yang harus kupikirkan adalah bagaimana supaya aku tak dicurigai sebagai pembunuh wanita muda di depanku ini. Wanita yang malam tadi masih kucumbu dan kupeluk dengan napas penuh berahi. Dan sudah lebih dari satu jam di sini, aku masih belum menemukan hal apa yang akan kulakukan setelah ini. Mungkin jika kuabaikan saja pesan singkat yang ia kirim tadi pagi, aku tak akan terjebak pada situasi yang rumit ini.
Aku dan Nadia memang memiliki hubungan yang kurang harmonis belakangan. Aku pun sudah berencana menjauh darinya perlahan. Semua berawal dari permasalahan yang muncul beberapa minggu terakhir. Permasalahan klasik dari sejoli manusia yang mencurangi sakralnya cinta dan pernikahan. Ia meminta kejelasan hubungan kami, sedangkan aku jelas tak mau meninggalkan istri dan kedua anakku. Hal tersebut membuatku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengannya. Namun, pertemuan kami di apartemennya di waktu sore selalu saja berhasil menepikan masalah itu sementara waktu.
“Nikahi Dia, tinggalkan perempuan itu. Atau Dia akan mati dan Mas akan ditinggalkan semua yang Mas miliki.”
Suatu hari Nadia mengancamku dengan kalimat yang menggemaskan. Kebiasaannya yang selalu menyebutkan nama alih-alih menggunakan kata ganti aku di setiap obrolannya terdengar menggemaskan di telingaku. Bahkan, ancamannya terdengar seperti rengekan gadis kecil yang meminta balon warna-warni berbentuk hati kepada ayahnya. Kubalas saja dengan senyum dan kurayu dia dengan pernyataan bahwa permintaannya pasti kupenuhi suatu hari. Dan di akhir percakapan, pelukanku selalu saja berhasil meluluhkan hati. Mulut lelaki memang terkadang membuat setan iri.
Jujur saja, selingkuh bagi seorang lelaki sepertiku hanyalah perkara mata yang perlu dimanja tubuh yang lebih segar nan juwita. Dari awal aku bertemu Nadia pun tak pernah terlintas dipikiranku untuk menikahinya dan meninggalkan kehidupanku yang kurasa cukup sempurna. Tetapi, begitulah manusia. Frasa tak ada yang sempurna seolah-olah menjadi celah bagi orang-orang agar bisa memaklumi kesalahan.
Aku memang telah berencana untuk meninggalkan Nadia. Tetapi, bukan berarti meninggalkan itu membuat ia meninggalkan dunia ini selama-lamanya. Aku tak segila itu. Aku tak segila Nadia yang mau menghabisi napasnya; mengorbankan hidupnya dan membuatnya terlihat seolah-olah aku yang melakukannya. Semata-mata agar aku bersalah di mata dunia. Agar aku kehilangan kehidupanku yang sempurna.
Pisau yang menancap vertikal di punggungnya serta sidik jariku yang tentu saja ada di setiap sudut ruangan ini sukses membuatku menjadi tersangka utama. Aku tak tahu dari mana ia mendapat ide itu. Bahkan aku tak tahu bagaimana ia melakukan itu. Aku tak sefanatik Nadia yang gemar membaca dan menonton film-film detektif. Namun, kini mau tak mau aku harus mencari cara keluar dari jerat yang disusunnya begitu rapi. Ia bunuh diri. Maka harus kupastikan polisi yang datang nanti juga berpikiran bahwa Nadia menghabisi nyawanya sendiri.
Sempat terbesit dalam pikiranku bahwa Nadia betul-betul dibunuh oleh seseorang. Tapi lekas kusingkirkan, mengingat tak ada orang yang menyimpan dendam. Di luar sana, Nadia merupakan sosok yang baik dan menyenangkan. Jangankan membayangkan ia dibunuh, mengetahui bahwa ia bunuh diri pun masih tak masuk di akalku. Tetapi, siapa yang bisa menebak hati manusia. Terlebih perempuan yang hatinya lebih rumit daripada pandora. Barangkali kepastian yang kuombang-ambingkan dan janji-janji yang urung kutepati akan membuat seorang wanita kecewa kemudian memilih untuk menghabisi dirinya sendiri. Dan tentu saja, membuatnya seolah-olah dilakukan olehku menjadi sarana balas dendam yang sangat sempurna.
“Jika Mas tak mau memilih Dia dan meninggalkan perempuan itu, maka tak akan Dia biarkan Mas memiliki pilihan lain selain Dia,” katanya beberapa waktu yang lalu.
Waktu itu aku menginap di apartemennya. Dalam hubungan ini aku memiliki aturan pribadi untuk tidak menginap di apartemen tempat ia tinggal. Selarut apa pun aku tetap akan pulang. Tetapi malam itu, ia berujar dengan manjanya bahwa ia ingin ditemani menonton film drama misteri kesukaannya. Aku berusaha menolak sebab prinsip yang kupegang. Aku tak akan menginap di apartemennya. Namun, pada akhirnya aku luluh juga. Aku berpikir, barangkali sekali waktu tak mengapa. Toh aku bisa bilang kepada istriku bahwa aku ada lembur di kantor. Alasan yang sangat klise namun efektif.
“Dia hamil, Mas.”
Aku menatap Nadia. Kuambil alat tes kehamilan yang ia sodorkan di depan mukaku. Di sana terpampang dua garis merah menandakan adanya janin yang tumbuh pada perut gadis mungil ini. Nadia memalingkan pandangannya dari mataku. Ia sandarkan pipinya di lenganku. Aku masih menatap dua garis merah itu dengan pikiran yang entah melawat ke mana.
“Aku tidak mau menggugurkan kandunganku untuk yang ketiga kalinya,” katanya pelan namun tajam.
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Jika ia sudah menggunakan kata "aku" dalam sebuah percakapan, itu menandakan keteguhan hatinya yang tak tergoyahkan. Pada titik ini aku tahu bahwa aku tak bisa lagi memaksanya. Ia kembali memandangku yang terdiam dan kini memendarkan pandangan ke depan. Aku tahu ia tengah menunggu jawaban. Ia pun tahu aku tak akan memberi jawaban malam itu. Kemudian malam berlalu dalam sunyi yang ragu.
***
Satu hal yang bodoh juga pintar di sini adalah bahwa tidak ada orang bunuh diri ditemukan dengan pisau yang menancap di punggungnya. Sewajarnya, orang yang bunuh diri dengan menggunakan pisau akan menancapkan pisau di bagian depan tubuhnya. Atau yang paling klise: menyayat urat nadi di lengannya. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana … . Ah, pikiranku tak sampai jika harus menemukan cara Nadia menghabisi dirinya sendiri. Wanita sialan ini ternyata tak sebodoh yang kupikirkan.
“Kalau aku tak bisa menemukan cara membuktikan bahwa ia bunuh diri, maka harus kutemukan cara menghilangkan jejakku dari tempat ini,” pikirku.
Lekas-lekas kuambil semua barang berharga yang ada di tempat itu. Ponsel, dompet, dan beberapa barang berharga lain kuambil untuk kemudian kumusnahkan. Hal yang paling mungkin adalah membuat semua seperti sebuah tragedi perampokan yang akhirnya menelan korban jiwa. Hanya itu yang terlintas di pikiranku. Kemungkinan terburuk yang terjadi adalah perselingkuhanku dengan Nadia akan terbongkar.
Risiko itu masih mungkin kucari solusinya nanti. Tak masalah, asalkan aku tak masuk penjara saja. Kedua anakku adalah senjata yang cukup ampuh agar istriku mengurungkan niatnya bercerai denganku. Barangkali dengan sedikit nada dan wajah penuh penyesalan akan meluluhkan hatinya. Aku bisa beralasan bahwa wanita itulah yang tak henti-hentinya menggodaku hingga akhirnya aku terjerat bodohnya perselingkuhan.
Semua sudah kurapikan dengan baik. Semua barang-barang Nadia yang kuambil di rumahnya sudah kumusnahkan tadi. Beberapa kubakar di tempat yang tersembunyi. Sedangkan beberapa yang lain kubuang ke sebuah sungai yang memang kerapkali digunakan sebagai pembuangan akhir sampah-sampah. Semua barang Nadia akan bermuara sebagai sampah seperti yang lainnya.
CCTV sudah kupersiapkan solusinya jauh-jauh waktu. Semenjak aku memiliki hubungan dengan Nadia, sudah kusiapkan sebuah apartemen sederhana sebagai tempat tinggalnya. Ia sempat menolak. Namun, aku beralasan bahwa apartemen itu cukup bersih dan bagus. Kubilang juga padanya bahwa kami perlu apartemen tanpa CCTV yang memadai agar hubungan kami tetap aman jika terjadi situasi yang tidak diinginkan. Tak kusangka minus fasilitas itu akan menguntungkanku dalam situasi ini.
***
Kutepikan mobilku di depan sebuah warung makan di pinggir jalan. Kusulut sebatang rokok setelah memesan secangkir kopi hitam kepada ibu penjaga warung. Kurogoh saku celanaku. Kuraih ponsel yang sedari tadi kutinggalkan dalam mobil. Beberapa notifikasi panggilan telepon muncul di layar ponselku. Aku mengerenyitkan dahi. Lima panggilan tak terjawab dari istriku. Tak kuhiraukan hal itu. Mataku tertegun melihat notifikasi sebuah instastory dari akun Instagram Nadia. Hatiku tetiba berdegup lebih kencang. Dia menyebut namaku dalam instastory-nya.
Aku selalu mewanti-wanti Nadia agar tidak pernah mengunggah segala sesuatu yang berkaitan dengan dia, aku, dan hubungan kami. Dan sejauh ini semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Hingga hari ini kulihat sebuah video yang dia jadikan instastory menyebut akun Instagram-ku di dalamnya.
Aku langsung mengenali video ini. Video ini diambil beberapa waktu lalu di apartemennya. Satu-satunya hari di mana aku akhirnya menginap di sana. Pagi hari, saat aku masih terlelap tidur di sampingnya. Di video itu Nadia menunjukkan alat tes kehamilan dengan dua garis merah di dalamnya. Dengan senyum sumringah ia pamerkan alat itu di depan kamera sembari mengecup keningku yang masih lelap. Di pojok kiri atas video itu tertulis 8 jam yang menandakan bahwa instastory tersebut diunggah satu jam sebelum kutemukan Nadia terbaring tertelungkup bersimbah darah dengan sebuah pisau menancap di punggungnya.
“Wanita sialan!”
……
Nada dering ponselku mengagetkanku. Terpampang di sana foto istri dan kedua anakku. Sialan! Tetiba aku merasa seperti penipu yang terbuka kedoknya. Kuputuskan mengabaikan telepon dari istriku. Aku sudah memperkirakan kemungkinan buruk ini. Hanya saja ini terlalu cepat dan datang melalui jalan yang tak kuperkirakan. Tak hanya perselingkuhan, tetapi video itu adalah bukti yang telak menjadikanku tersangka utama kematian Nadia.
Nada dering telepon berakhir tanpa kuangkat. Di ujung telepon sana istriku menatap tajam layar ponselnya. Sebuah akun Instagram. Sejurus kemudian ia pilih menu log out dari Dia. Didekapnya ponsel di dada. Matanya pejam. Ia menghela napas sebentar. Dengan sebuah senyum mengerikan, ia membuka mata. Aku tak pernah membayangkan karma yang telah istriku siapkan bahkan sebelum aku sampai di rumah.
Magelang, Juni 2022
________
Penulis
Anindita Buyung, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah atas di kota Magelang. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun Instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com