“Naskah penulis pemula lagi?”
Sebuah naskah kembali disodorkan Yance kepadaku pagi itu. Dia tidak mengangguk, tidak pula menggeleng menanggapi pertanyaanku.
“Dari ukuran lamanya dia menulis, jelas dia bukan dikategorikan penulis pemula. Dia sudah senior secara umur, tapi belum pernah menerbitkan buku.”
“Riwayat karyanya bagaimana?”
“Katanya dia lebih sering menulis novel, sesekali menulis cerpen juga, walau tak pernah dimuat di media-media mainstream.”
“Lalu spesialnya apa?” aku mendengus kesal.
Kemarin, saat dalam langkah menuju pulang, Yance berujar dari kejauhan, bahwa esok dia akan menyodorkan kepadaku sebuah naskah yang berpotensi menciptakan kebaruan dalam dunia sastra.
“Ini akan menggemparkan dan menghebohkan,” katanya.
Kedengarannya menggiurkan. Lantas, aku mengira-ngira sepanjang malam, naskah siapa dan serupa apa yang kiranya akan aku tangani. Aku menebak sederet nama novelis papan atas yang dalam pandanganku memenuhi syarat seperti yang disampaikan Yance. Perkiraanku, Hamdan Hotari tak mungkin menerbitkan novel, sebab baru meluncurkan karya terbarunya bulan lalu. Kalau si Yojowi Koto rasanya juga belum akan mau menerbitkan buku lagi, kabarnya dia baru saja kembali dari menyelesaikan riset di daerah terpencil untuk keperluan novel terbarunya nanti, mustahil dia mampu menuliskannya secepat itu.
Kecenderunganku tertuju pada Ake Nuwainur. Itu tentu bukan tanpa alasan, Ake Nuwainur sudah terbilang lama tidak menerbitkan novel baru. Walau selama ini, karyanya yang memang telah mendunia selalu dibincangkan. Rasanya, membayangkan menjadi bagian dari buku seorang penulis yang telah meraup berbagai penghargaan internasional saja susah membuat dadaku bungah. Ditambah lagi, sudah sangat lama rasanya aku tak menyunting karya-karya bagus. Tepatnya sudah hampir lima tahun. Setelah bukunya Hamu Nakhwi yang akhirnya masuk dalam daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa, aku praktis lebih menghabiskan waktu dengan mengedit penulis pemula yang bahkan tak paham memulai cerita dengan benar, karya yang lebih mirip dengan racauan, atau curhatan.
Dan pagi ini, aku pantas kesal setengah mati. Alih-alih sesuai ekspetasi, Yance malah memberiku sebuah naskah yang ditulis oleh seorang kakek berusia lebih delapan puluh tahun, dengan pengalaman yang tampak tak ada istimewa.
“Bukannya selama ini kau selalu menggerutu jika disodori naskah penulis pemula? Nah, ini kesempatanmu untuk menilai penulis senior.” Yance coba membela diri.
“Senior apaan?!” Aku jelas protes, “Kau lihat biodatanya.” Aku menunjuk-nunjuk halaman terakhir naskah itu yang menerangkan secara singkat tentang penulis yang dimaksud. “Bahkan dia belum pernah menerbitkan satu buku pun sepanjang usianya yang sudah pantas bercucu lima itu. Seharusnya pada usia segitu, dia sudah jadi maestro. Bukan malah berkutat dengan naskah pertama. Apa yang mesti dibanggakan?”
“Barangkali itu pertanda dia serius mempersiapkan naskahnya selama ini, bukannya itu yang tidak kau dapati ketika menangani penulis pemula?”
Aku berpikir sejenak, memikirkan kebenaran perkataan Yance barusan. Memang, itulah salah satu kriteria yang aku tetapkan untuk menilai apakah seorang penulis serius atau tidak. Aku memang menilai penulis tua ini sebelum waktunya, karena belum membaca tulisannya barang se-paragraf pun. Aku menganggapnya telah kedaluwarsa. Sebab, sedari awal aku sudah telanjur mengimpikan akan mengeditori naskah yang ditulis oleh penulis sekelas Ake Nuwainur.
“Coba kau perhatikan, namanya saja sudah tidak menjual. Dia masih memakai nama pena macam penulis di zaman kolonial. Namanya tak ada asyik-asyiknya, Tuan T.” Aku coba mengeja nama yang tertera di bawah judul naskah itu.
Sebetulnya perdebatan seperti ini sering kali berulang di antara kami. Beberapa kali pula aku telah menolak dengan halus kepada Yance agar penerbit lebih selektif lagi dalam menerbitkan naskah.
“Naskah seperti itu hanya akan membuat nafsu makanku hilang sepekan,” ujarku.
Pernah pula aku memberikan opsi, jika penerbitan merasa buku-buku dari penulis pemula itu perlu dilakukan untuk mengisi kas penerbit, hendaknya itu diberikan kepada yang lain saja. (Perlu diketahui, editor di sini semuanya lima orang. Sayangnya, tidak ada bidang khusus dan tertentu yang ditugaskan untuk mengedit masalah tertentu juga. Sembarang saja, sebab naskah yang masuk juga tak menentu. Maka seringnya, kami kebagian mengedit naskah berdasarkan giliran). Padahal, jika boleh memilih, aku terus terang ingin lebih fokus untuk naskah-naskah sastra serius. Yance lagi-lagi cuma tertawa menanggapi itu. Dia bilang, menerbitkan sastra saja tak akan memberi kita makan.
“Sastra tak pernah laku, Bung,” ujarnya. “Aku hargai idealismu terhadap dunia sastra, tapi kalau penerbit tidak mengikuti selera pasar, kita akan gulung tikar.”
Yance bukannya tidak paham dengan apa yang aku inginkan, bahkan pernah suatu hari dia dengan terang-terangan menyampaikan, “Bodoh, pembaca kita memang bodoh. Novel-novel yang laku keras di pasaran selalu didominasi cerita tak berbobot.”
“Dan itu semua tercipta karena andil penerbit macam kita yang terus saja memproduksi novel murahan itu,” balasku.
“Hei, kau tahu berapa jumlahnya penerbit di negeri ini? Ratusan banyaknya. Dari semua itu mereka berpotensi melakukan hal serupa.”
“Memang taik dunia perbukuan ini.” Aku tak tahan untuk tidak mengumpat. “Lama-lama banyaknya buku bisa jadi tidak lagi melambangkan kemajuan peradaban, namun malah menyampah.”
“Santai saja, lagi pula, sebenci apa pun kau terhadap karya yang mirip curhatan itu, itu tetap memberimu uang yang cukup.”
“Sialan,” aku kembali mengumpat. Pada satu sisi aku harus mengakui kebenaran pernyataan Yance. Selaku pemilik penerbitan, aku paham, dia tak akan membiarkan pundi-pundi rupiah dari penulis pemula yang ngebet ingin segera punya buku itu hilang begitu saja. Dan sebagai editor, aku juga tak bisa apa-apa menghindari hal memuakkan itu.
Yance keluar ruangan sembari tertawa. Tawa yang menyebalkan. Tawa yang telah aku dengar sejak hari pertama dalam perkenalan kami yang ganjil. Dulu, tawa itu menyelamatkanku dari keterpurukan yang lebih jauh.
***
Bagiku Yance bukan kawan biasa. Relasi kami bukan semata atasan-bawahan, atau sekadar editor-pemilik penerbitan. Ada faktor kedekatan yang bagi kami sengaja dipertautkan semesta. Barangkali itulah mengapa aku tetap bersedia menjadi editor di penerbitnya meski secara ideologi apa yang dia lakukan bertentangan denganku. Sebagai seseorang yang begitu menggilai sastra sejak lama, aku membayangkan, alangkah menyenangkan jika aku hanya ditugasi membaca dan mengoreksi naskah sastra semata. Tak sekali dua kali aku berniat cabut dari penerbit ini untuk membuka penerbitan sendiri sesuai dengan ideologi yang bisa aku atur sendiri. Sebuah penerbitan yang aku desain khusus menerima naskah sastra yang serius. Tak masalah nantinya jika ada penulis pemula yang hendak berkirim naskah, tapi yang benar-benar aku terbitkan, hanyalah karya yang serius.
Namun secepat apa keinginan itu menguat, secepat itu pula menguap. Semuanya jelas karena aku merasa berutang budi padanya. Dia bukan sekadar menyelamatkanku dari kelaparan tetapi juga masa depan. Kasarnya, dia memungutku dari jalanan belantara kota dan membawaku ke toko buku kecil miliknya kala itu.
“Kami butuh makan, aku tak punya apa-apa untuk dijual selain buku ini, maukah kau membelinya?”
Yance tertawa, mungkin dia mengira aku bercanda. Tapi saat melihat tatapanku yang mengiba, dia menghentikan tawanya yang menyebalkan itu. itulah perkenalan pertama kami. Yance melihat buku yang aku perlihatkan. Buku buruk yang sebelumnya aku tulis dan aku cetak sembarangan di salah satu fotokopi. Apakah Yance kasihan padaku karena waktu itu aku bersama istri dan anak lelakiku yang baru lima tahunan? (Kehidupan memang tak lagi berpihak kepadaku selepas melarikan diri dari kampung tersebab melanggar adat, aku terpontang-panting dalam kerasnya hidup di kota besar). Atau Yance benar-benar membutuhkan buku itu? Entahlah, yang jelas aku ragu untuk hal kedua, maka aku lebih meyakini Yance melakukan itu karena hal pertama. Yance menyelamatkanku dari status gelandangan. Dia mengangkat hidupku dari titik terendah.
Aku mencoba mencari titik temu kenapa dia begitu baik kepada kami. Waktu yang panjang, aku beroleh kesimpulan: karena buku. Itulah yang menautkan kami. Secara tak sadar, itu pula yang memberanikanku mengapa menawarkan kepadanya setelah seharian sibuk mencari lowongan kerja.
Saat itu sore hampir usai. Pedagang di sekitaran telah siap berkemas setelah seharian berjualan. Namun ruko-ruko tua dua lantai di situ belum akan tutup. Di situlah aku melihat Yance sedang membersihkan kaca toko bukunya. Dia menyambutku, barangkali berharap aku adalah seorang pembeli yang mengambil bukunya barang satu-dua. (Beberapa bulan setelah aku tinggal dengannya, Yance memang bilang, bahwa saat itu belum satu pun bukunya yang laku hari itu) Wajar saja tawa Yance membahana setelah aku katakan bahwa aku hendak jual buku.
Yance mengambil buku itu. Tahun-tahun nan panjang selama tinggal dengannya aku kembali beroleh kesimpulan lain, bahwa Yance melakukan itu bukan semata kasihan melihatku, dia mencintai buku melebihi kasihnya kepada seorang perempuan. Itulah mengapa dia tetap sendirian pada usianya yang nyaris kepala empat.
“Apakah kau seorang penulis?”
Itu pertanyaan Yance beberapa hari setelah perkenalan itu. Barangkali dia baru sadar bahwa namaku tertera di sampul buku yang aku jual padanya.
“Lumayan, ceritamu cukup menarik,” komentarnya pendek.
Aku tak terlampau peduli dengan apa pendapatnya kala itu. Yang aku butuhkan hanyalah tempat tinggal. Bagiku sendiri, buku itu tak lain hanyalah soal masa lalu, semacam kisah kelam yang tak tahu harus aku abadikan lewat apa. Maka aku menulis kisah cintaku dalam buku itu seusai melarikan diri dari kampung yang amat menjunjung adat. Tak ada harapan dan keinginan apa-apa selain pada masa mendatang anakku tahu dari mana kedua orang tuanya berasal. Semoga dia tidak malu saat mengetahui kebenaran bahwa ayah dan ibunya adalah orang terusir akibat perkawinan terlarang.
Buku itu juga lahir dari keterasingan, tak ada yang memberinya ucapan selamat alih-alih tepuk tangan. Bahkan, istriku sendiri tak menganggap menulis dan membukukan itu sebagai ide yang baik. “Kau hanya mewariskan aib bagi keturunan kita kelak.” Maka aku pun tak ambil pusing atas apa pun komentar orang terhadap buku itu.
“Melihat bakat menulismu, ada baiknya kau terus menulis.”
Untuk yang satu itu aku setuju. Menulis, merupakan dunia sepi yang ingin aku resapi. Pada masa-masa sulit, aku tak pernah mampu menorehkan kata-kata barang sebait, meski ingin. Memang, tak ada akan tercipta karya dalam keadaan perut lapar, aku merasakannya betul.
Itulah keberuntungan lain yang aku dapatkan sejak tinggal bersama Yance. Sembari menjaga toko bukunya, aku punya cukup waktu untuk membaca dan meneruskan rencana-rencana lama perihal menulis. Lambat laun, apa yang aku tulis menjelma tangga yang membawaku dikenali sedikit orang dalam dunia sastra. Lalu Yance kembali membukakan pintu lain, pintu asing yang sebelumnya tak pernah aku masuki: dunia editor.
“Sepertinya kau sudah layak jadi editor, kita bisa buka penerbitan. Itu bisa buat pemasukan tambahan saat toko buku ini jarang dikunjungi.”
Aku tercengang. Aku katakan itu mustahil.
Namun apa yang tampak mustahil menjadi mungkin di tangan Yance. Dia jago marketing. Entah bagaimana caranya, dia berhasil menggaet penulis-penulis pemula untuk menerbitkan buku bersama kami dengan biaya mereka sendiri.
Itulah awal masa depanku dan usaha toko buku serta penerbitan Yance berjalan menuju ke arah kegemilangan. Dekade berlalu, masa sulit perlahan beringsut, menjauh. Toko buku di ruko tua itu telah pindah ke tempat yang lebih baik. Penerbitannya juga sudah punya kantor sendiri yang aku tempati sekarang. Banyak hal berubah, namun sepanjang itu aku tetap jadi editor, menangani naskah-naskah yang aku anggap buruk dari penulis pemula.
***
“Satu-satunya hal yang bisa aku apresiasi dari naskah ini hanyalah perihal tema. Si kakek itu cukup berani menggarap tema agama yang mana cukup kontroversial dan sensitif.”
“Nah, akhirnya kau paham, Muhib.” Yance berseru riang. “Itulah kenapa aku merasa kita harus menerbitkannya karena temanya menjual.”
“Tapi ini cukup riskan, Yanc.” Aku selalu menyingkat nama Yance menjadi Yanc ketika memanggilnya. “Potensi menggemparkan yang kau maksud sebelumnya juga akan membuat kita repot.”
“Kau takut buku ini akan dicap oleh sekelompok orang beragama sebagai buku sesat?”
“Ya, semacam itu, kautahu sendiri bagaimana fanatiknya sebagian kaum beragama di negeri ini.”
“Itu pertanda baik, semakin dibincangkan, buku itu akan semakin dicari.”
“Itu tandanya kita juga ada kemungkinan dilabeli penerbit sesat, sebab mau menampung naskah dari seorang penulis yang dalam karyanya tak mengakui Tuhan. Ini bahaya, Bung.”
Yance diam, segala sesuatu yang berkaitan dengan masa depan penerbit memang membuatnya bingung. Yance amat mencintai penerbitnya ini.
“Lagi pula, dari sisi lainnya, tulisan Tuan T ini masih dikategorikan biasa.” Mumpung Yance masih diam, aku mengambil alih kesempatan untuk makin menguatkan argumen. “Secara teori, tidak ada suatu kebaruan yang coba ditawarkannya. Gaya berceritanya pun cenderung datar. Cukup banyak kesalahan kalimat yang sepertinya dia paksakan. Bahkan masih terdapat kesalahan ketik pada halaman tertentu.”
“Apa kau sudah membaca naskah ini baik-baik, Muhib? Aku tahu kau tak terlalu suka dengan ide aku menerbitkan karya Tuan T ini. Tapi aku merasa kau seperti punya dendam pribadi padanya.”
Aku tertawa. “Aku bahkan tidak kenal, bahkan belum pernah bertemu dengannya, bagaimana mungkin kau berpikiran demikian.”
“Kau tak mencoba membaca seperti Muhib sang editor, kau membaca seperti seorang kritikus gadungan, maka kau cuma melihat cacat dalam naskah itu, tanpa mencoba membuatnya lebih baik.”
Kali ini giliran Yance yang tertawa, menyebalkan.
“Bukan Yanc, aku murni melihat ini karena masa depan penerbit. Aku tak ingin penerbit ini dalam masalah. Kau lupa rezim pemerintah yang berkuasa sekarang? Mereka masih saja sering sweaping buku-buku kiri dan buku-buku yang dianggap sesat. Aku khawatir kita akan kehilangan penerbit ini.”
“Sejak kapan penerbit harus menanggung buku yang diterbitkannya, itu murni hak penulis.”
“Baiklah, jika kau bersikeras ingin melanjutkan proyek ini, aku akan mencoba membacanya sekali lagi. Aku akan memperhalus bahasa yang mungkin terlalu serampangan dituliskan si kakek itu.”
Aku harus mengalah, bagaimana pun, itu hak Yance yang memutuskan apakah suatu naskah boleh terbit atau tidak. Jika pun bukunya tidak laku atau kena masalah, setidaknya aku bukan orang pertama yang akan dimintai keterangan. Aku cuma editor yang diperkerjakan agar naskah itu kelihatan lebih baik secara teori maupun kebahasaan. Dan dia tahu, aku tak melakukan itu pada kesempatan sebelumnya.
Pada hari-hari berikutnya, aku membaca naskah itu lebih saksama. Aku membawanya hasil kopiannya ke rumah. Lebih jauh masuk ke dalam cerita, aku bisa menyimpulkan bahwa ada tiga pokok yang selalu berkelindan. Pertama, tentang seorang yang lari dari karena agama di tempatnya tinggal sering berperang. Kedua, usaha dua orang penyampai kebenaran dalam menyebarkan agama baru dari pendirinya yang telah meninggal. Ketiga, pelarian seorang nabi setelah merasa dakwahnya gagal.
Itulah yang aku sampaikan pada Yance keesokan paginya “Cerita ini akan mampu memikat jika diperbaiki dengan serius. Sekarang tergantung kepada si kakek itu, jika dia mau menuruti apa yang aku sarankan, aku bersedia menjadi editornya sampai kelar. Tapi jika dia bersikeras bahwa naskahnya telah selesai dan ogah memperbaikinya, silakan cari editor yang kiranya cocok dengannya. Kali ini kau bahkan tak akan bisa memaksaku, Yanc.”
Aku mencoba melihat apa ekspresi Yance. Dia menjentikkan jari, lalu tertawa seperti biasa, seolah-olah itu adalah perkataan yang sedari lama hendak dia dengar dariku.
Aku tahu apa yang akan dilakukan Yance berikutnya. Pasti dia akan bersegera menelepon penulis tua itu dan berbicara sambil terkekeh-kekeh dengannya. Dan entah kenapa, aku jadi tak sabaran ingin bertemu dengan penulis tua yang aku selalu ledek dengan sebutan si kakek itu.
_________
Penulis
Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Buku perdananya Darah Pembangkang diterbitkan penerbit Interlude.
Saat ini, penulis tinggal di kampung kelahirannya sambil mengajar di MTs. Rahmatul Hidayah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di SSB Putra Tanjung.
Penulis bisa dihubungi lewat email: romiafriadi37@gmail.com, akun Facebook Romie Afriadhy.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com