Oleh Encep Abdullah
Dulu, saya pernah ikut kelas menulis berbayar, kalau tidak salah 100 rb dan dapat 3 buku. Saya belajar selama 4 bulan di sana. Dari kisaran 20 peserta, hanya 3 yang bertahan, salah satunya saya. Setelah itu, saya ikut kelas menulis lagi di tempat lain, gratis, tentu saja tidak mendapat buku, tapi saya jualan buku di sana, dan banyak yang beli (karena saya pikir, mana ada kelas menulis tanpa membaca buku, rupanya si guru tidak punya stok banyak buku untuk dipinjamkan, apalagi dijual, hasyem). Pesertanya hanya mentok bin kudu 7 orang. Belajar selama 3 bulan.
Kelas menulis ini sangat eksklusif, tidak mau riya atau pamer, bahkan sekadar menyebut nama komunitasnya saja tidak boleh, apalagi menyebut nama gurunya. Pokoknya tidak usah geger bilang ke orang-orang kalau saya sedang ikut kelas menulis ini. Saya bertanya-tanya waktu itu, "Kenapa?" tapi akhirnya saya memutuskan untuk tidak mau banyak tahu, saya mau fokus belajar. Apa saya salah masuk kelas menulis? Jangan-jangan ini kelas menulis (menjadi) sufi bukan kelas menulis pada umumnya.
Saya tertarik kelas menulis ini karena sebelumnya ada beberapa teman saya yang bergabung di situ, menghasilkan antologi buku puisi (dulu saya termasuk pemburu kelas antologi buku, sekarang sudah tobat), dan alhamdulillah otak mereka "eror". Otak saya terlalu lurus. Maka, saya perlu pencerahan. Di kelas inilah saya "menyesatkan” diri. Saya ikut episode kelas menulis cerpen. Sejak itulah saya sering dicap "kurang waras" oleh teman-teman saya. Alhamdulillah, artinya saya berhasil "hijrah".
Saya lahir dan tumbuh dari komunitas yang tidak berbayar, komunitas tersembunyi, tapi sang guru benar-benar tulus "membabakbeluri" murid-muridnya. Tulus memberikan wejangan kebudayaan berpikir. Di kelas ini, dari 7 orang, hanya saya yang bertahan, bahkan satu-satunya yang aktif menulis di media dan konsisten berkarya–meskipun saat ini tidak "seeror" dulu. Di sini saya tidak mengatakan bahwa kelas yang berbayar itu bernegasi dengan pernyataan saya tersebut. Dalam tulisan ini, saya sedang menceritakan pengalaman saya, entah bagi Anda, bisa jadi Anda sebaliknya, lahir dan tumbuh dari kelas-kelas menulis berbayar itu. Berbayar atau pun tidak berbayar, semuanya baik, semuanya punya tempat, insyaallah semuanya dapat rahmat.
Enam tahun selepas kelas menulis itu, saya mendirikan sebuah komunitas menulis. Sampai sejauh ini, sudah masuk kelas menulis angkatan #11, tidak berbayar. Malah saya kasih mereka buku-buku gratis. Begitu juga kelas menulis yang saya dirikan di WA (beberapa bulan setelah saya dirikan komunitas luring karena memang banyak permintaan). Di kelas menulis WA ini, hanya bertahan hingga 4 angkatan karena saya kurang fokus di sana, saya lebih fokus mengurusi kelas menulis di dunia nyata, bukan online. Kelas menulis di WA ini pun gratis alias tidak berbayar. Saya hanya sedang membangun relasi dan berbagi sedikit ilmu yang saya dapatkan, tentu juga dengan niat "busuk" saya agar menambah daftar pembeli buku saya.
Saya tidak berhenti sampai di situ. Di komunitas yang saya asuh, ada salah satu program, yaitu pelatihan menulis untuk anak sekolah. Juga gratis alias tidak berbayar. Ada beberapa teman mengkritik bahwa cara ini ”membunuh” komunitas lain (berbayar) yang mempunyai program semacam itu. Kenapa harus menganggap ”membunuh”, justru saya sedang ikut berjihad di jalan literasi dan kebudayaan. Tapi, saya pikir sah-sah saja ada orang menganggap begitu. Saya tidak tahu, yang ada di kepala saya begini, ”GRATIS SAJA MEREKA TAK MELIRIK, APALAGI BERBAYAR!”. Namun, alhamdulillah, para pengurus di komunitas saya tidak terlalu mempermasalahkan nominal, mereka tetap memenuhi undangan, datang ke sekolah-sekolah walaupun ada sekolah yang jaraknya cukup jauh.
Kalau saya tengok ke belakang, pola pikir saya tidak datang tiba-tiba. Saya yakin ini hasil didikan dan karakter kelas menulis sufi itu. Tapi, suatu kali saya pernah membuat postingan mengejutkan, saya membuka kelas menulis berbayar, dan bayarnya berjuta-juta. Saat itu, saya hanya main-main. Saya yakin 100% tidak akan ada yang mendaftar. Siapa saya? Penulis besar juga bukan. Namun, sebagian orang menganggap itu serius. Bagaimana seandainya ada yang mendaftar, ya saya ladeni.
Meskipun pelatihan menulis di sekolah itu bercap gratis, kadang beberapa sekolah tetap memberikan ”uang bensin”, bahkan lebih dari cukup. Bagi teman-teman di komunitas, mendapatkan uang bensin itu adalah kebahagiaan yang tiada tara karena mereka datang tidak dengan niat ingin mendapatkan amplop.
Sampai sejauh ini saya belum kepikiran untuk mematok harga pelatihan menulis atau sengaja membuat program kelas menulis berbayar. Saya tidak mau mengatakan bahwa ini harga mati saya berkata begini. Tuhan yang mengetuk hati manusia. Saat ini harga barang dapur serba mahal. Manusia punya kebutuhan hidup. Bisa jadi nanti saya berubah pikiran. Apalagi sebagian kawan pengurus di komunitas satu per satu sudah punya jemaah alias keluarga. Bisa jadi nanti saya/kami membuat kelas menulis berbayar, bahkan lebih mahal dari harga-harga kelas menulis yang pernah ada. Haha.
Bagi Anda yang sudah punya kelas berbayar, tetaplah menjaga marwah dengan terus berbayar. Kelak kalau Anda buat gratis, nanti klien Anda bertanya, ”Kok gratis, tumben?” Lalu, tak ada yang ikut. Bagi saya yang punya kelas tak berbayar, saya tetap menjaga marwah saya dengan tidak berbayar. Kelak kalau saya bikin berbayar, nanti klien saya bertanya, ”Kok berbayar, tumben?” Lalu, tak ada yang ikut.
Kiara, 3 Jan 2023
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi NGEWIYAK, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku kolom proses kreatifnya yang sudah terbit Buku Tanpa Endors dan Kata Pengantar (#Komentar, April 2022).