Puisi Daviatul Umam
Jamurdipa
landai bumi Jawa, lepai pepohonan
batu-batu hampir menggelongsor
hewan dan manusia hampir terguling-guling
tertuding kuku-kuku karang
kau pun tak mau kelebu, bukan?
maka repas jisimmu
bakal kami usung ke paksina
walau harus menguruk Rama dan Pamadi
yang lebih iba pada keris-kerisnya
ketimbang nyawanya
apakah (setiap) kebijakan
memang membutuhkan tumbal, Dewata?
sewaktu-waktu bumi juga bisa lapar
ia akan menyulih benih kebajikan
hanya jika lambungnya
kosong dari lolong kekosongan
lihat saja nanti
seusai awak terpacak di jenggala
yang Batara Guru kehendaki
sulur tanur yang kelak kekal di jeluk pusarmu
akan memuntahkan gelegak kasam dua empu
yang sejak mula menjadi kekasihnya itu
Yogyakarta, 2022
Lara Kadita
kinjalah ke saung jantungku, Putri!
menunggallah dengan keheninganku
kau terkesiap dari sari pati lelap
di ceruk kelopak Karang Hawu
kau terjuni ulu sungkawa ibunda
yang dipilih ratu-ratu ikan
sebagai liang tapa panjang
kulit berkudis laut basuh
bintik-bintik lara luruh
kerling bibirmu disegani mutiara
menaklukkan pasukan koral
laut pun mengawinimu
selanggeng biru takdir
selestari asmara garam kepada air
naiklah ke singgasanaku, Putri!
babut sewarna kesuburan kesabaranmu
Yogyakarta, 2022
Bandung Bondowoso
telah kukerkah habis janjimu
tetapi kelat kekecewaanlah
melembungkan paru-paruku
berabad-abad, sepanjang babad
sudah berlarat-larat waktu
mencambukku sebagai pendosa
sedang hunjaman linggis air mata
yang terus menggali-gali lukaku
takkan putus asa untuk jadi penebus
memang sebaiknya kukira
pendusta mengekal jadi arca
yang dengan bangkar sesalnya
dapat mencerap—betapa nista
kepercayaan dibekukan tipu-daya
namun sebagai korban
lidahku terlampau lincir
memungkang kutukan
yang akhirnya juga menyambar
kesendirianku, cinta iblisku
Yogyakarta, 2022
Gajah Wong
selepas dusun terapung-apung
memapas kedamaian liyan
duka cuma bisa menerka-nerka
apa maksud kali tengik ini
sehingga mempergagah diri
pun di usus arus bandang
yang melarung atmamu
ke kuala ranap paling gadang
lumut cukup membalut batu-batu
tiada sedia menebak riak otak bupala
roh pawang menikahi sungai
memuncratkan serdadu ikan
mencucup remah patera kering
yang rontok dari batok asing
seperti mencicip langkas bangsai
nasib sendiri
Yogyakarta, 2022
_________
Penulis
Daviatul Umam, lahir dan tinggal di Kota Keris, Madura. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagramnya: @daviatul.umam
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com