Puisi Firman Fadilah
Sepanjang Pesisir Tanggamus
Sepanjang jalanmu, yang kulihat hanya laut
aroma garam yang begitu kental,
gelegar ombak yang rindu kaki wisatawan,
dan rumpun buih putih, seputih tawa anak-anak pesisir dan penjual ikan yang lebih banyak menjajakan kenangan laut; basah keringat pemancing yang tak kering diamuk angin
sepasang camar menukik ke pasir putih,
adakalanya mereka paling tahu,
bagaimana menghabiskan sisa-sisa yang
tertinggal di bibir pantai: badai cinta semalaman, kata-kata bualan, dan surut pasang harapan dari bisik gemuruh laut
mengguguh tiap dada yang melewatinya
manakala kudatangi lagi jalanmu,
jalan kecil yang berbatu,
apakah masih sepetak kebun kelapa itu,
rumah-rumah rapuh di dusun asing,
dan lanskap teduh lengang siang,
jadi potret bisu yang terus kukenang
dalam samar tua ingatan
Tanggamus, 11 Mei 2022
Di Atas Kapal Feri
Di atas Kapal Feri, angin memiuh dari
gelegar ombak ke atas anjungan
pelabuhan diam-diam menjauh menahan
tiap kaki yang ingin menyeberang,
serta menyerahkan nyawa pada laut
biru yang menyala, langit begitu tua
menjadi rumah bagi camar, bagi yang rindu rinai hujan, juga bagi siapa saja yang tak bisa menggapai awan
Di atas Kapal Feri, tak ada batas selain cemas, sebaris pulau pun menyusut, menyisakan tremor tubuh yang kalut
pada pagar besi orang asing berfoto, sementara bocah kecil berharap senang seseorang melempar koin, lalu gelombang biru laut yang menggoda menenggelamkannya ke dasar tanpa takut
Laut akan selamanya menjadi laut, mencipta selat untuk kita seberangi
dan bila malam menjelang, kerlip lampu itu barangkali adalah engkau yang ingin kujangkau
Pada embus angin lautnya yang menyatukan juga memisahkan, akan selalu
kularungkan rindu betapa di sini, di atas Kapal Feri, laut itu tak bertepi hingga sampai
ditambatkannya jangkar di bibir Bakauheni akan kusuakan juga sehampar dadaku
yang lama tak kaurengkuh
Tanggamus, 05 Desember 2022
Di Tubuh Kita Tumbuh Sebatang Pohon
Di tubuh kita tumbuh sebatang pohon,
tiap kali seseorang menghidu harumnya,
ia lahirkan sedetik untuk kita nikmati;
ruang-ruang dengan suasana yang teduh,
hangat matahari, dan ozon dengan dada
busung menangkis emisi karbon
Adakalanya pohon itu rindu zat hara,
bila tanah tandus, katak tak lagi
berdengkang, dan kabut tipis seolah-olah
ujung pisau siap menyayat tiap-tiap detik
yang disuarakan lewat tulisan
di atas kertas, sementara pohon itu
hanya tinggal beberapa saja
Masihkah ada serimbun pohon di dada,
dengan kijang yang berlarian atau burung
yang bersembunyi dari busur pemburu?
atau hanya ada kita dengan tangan panjang
yang melulu terlambat
menyesali sesuatu
2022
Lukisan yang Diterjemahkan oleh Lelaki Patah Hati
Di dinding itu, seekor murai menukik
tepat di wajahku, seolah-olah ia
kehilangan dahan dan udara
seolah-olah tempatnya bukan lagi
pada reranting yang dulu mengguyurkan
tempias dan kepakan sayap yang piawai
menembus cakrawala ia tanggalkan
pada sunyi senyap dedaunan gugur
sebelum musimnya
Di dinding itu, ia kepakkan kepergian
tanpa menoleh ke masa yang sebelumnya
menggeleparkan hasrat ke masa
yang kini ditujunya tanpa rumpang
ruang sendiri
ketika pagi beranjak tiba
2022
Terkenang Usia
Usia memang pendek, tapi ia cukup
panjang untuk mengingat; sejauh mana
kita sekarang?
Mungkin kau akan bertanya-tanya,
ke mana lagi arah tujuan, selain menjadi
langit mendung yang menumpahkan hujan
untuk anak-anak pohon tumbuh tinggi,
menjadi ruang pengap atas ingatan
yang enggan disebut-sebut.
Kelak barangkali hanya tersisa tatapan sayu, senyum yang tak lagi secemerlang
perjaka dan gadis-gadis dusun kala
menyisir rambut
Lalu, kecemasan-kecemasan luruh
pada akhirnya saat berlabuh selepas
menitipkan sajak-sajak pada yang akan
datang kemudian
Usia memang pendek, tapi ia begitu
panjang untuk mengucap syukur dan mengingat-ingat nikmat apa yang
tak pernah Ia beri
Atas Dipan, 4 Augustus 2022
________
Penulis
Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Karya-karyanya dimuat di media cetak dan online.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com