Puisi Winarni Dwi Lestari
Penyeberangan Jalan
harus seberapa banyak bilur
lebam di dadaku
digilas berbagai roda
agar mampu menahan langkahmu
tetap menunggu mata lampu
itu akan memerah?
harus seberapa panjang?
tak henti merengkuh semua jejak
yang selalu tergesa sebelum
habis waktu saat bersamaku.
tatap dan tetaplah pada putih rusukku
-dari mana kaki-kakimu diciptakan-
sebagai batas yang kan menjagamu
dari mara bahaya
dari kendaraan pengangkut amarah dan cemas
sebelum menjauh dan lesap
di hampar trotoar.
lalu aku akan merindukanmu
kembali dengan langkah bergegas
seperti angin melintas
seperti hujan yang buru-buru membilas.
meski kau hanya melihat dadaku
hanya selebar jalan
namun percayalah
ingatan akan diriku
tetap mengiringimu sepanjang jalan
sepanjang tujuan.
Karawang, 2022
Hendak Menyeberang Jalan
trotoar ini menyimpan banyak jejak
dengan satu tujuan: pergi atau kembali
kita takkan pernah bisa menebak
apa yang ada tepat satu langkah di depan
sesaat adalah seberapa nyaman untuk diam
dan sesaat yang lain hanya luapan penasaran.
ketika baru mengangkat setengah langkah
tiba-tiba teriakan klakson dan sumpah serapah
rem yang ugal-ugalan kembali menyurutkanku.
lalu hening.
ada suara ricik
kemudian menderas di aliran aspal jalanan
kendaraan berenang-renang di arus jeram
becak dan bus yang melintas mengingatkanku
pada koki dan koi di kolam depan rumah.
tiba-tiba bebek menyelonong -mirip ibu-ibu
yang tak pernah memakai lampu sein-
hampir menyerempet
reflek kuangkat kaki dan semua lenyap.
menjadi debur yang timbul tenggelam
dari ombak yang menabrak cone pembatas jalan.
beberapa kelomang mencuat di hampar trotoar
sesosok nelayan menebar jala di atas onthel
peselancar telah kembali sambil
menenteng skateboard
hari pun surut.
cahaya merah mercusuar perempatan jalan
tengah menerangi sesosok aku yang lain
yang telah berdiri di seberang.
Tuban, 2022
Naik Angkot
tak ada yang lebih ahli untuk memintamu
berhenti atau pergi kecuali lambaian tangan.
rute makin sepi di jalan yang selalu padat dan macet
sosok tuamu tak lagi dinanti.
kaca mata lamur penuh stiker jaman dulu,
angka trayek dan penanda pulang pergi
bukan lagi pilihan untuk menuju ke mana pun.
pada bangku -yang dulu dipaksa memuat
belasan pantat, kini bernapas lega-
aku memarkir diri menanti pantat lain
yang enggan mampir
sambil memakan jarum-jarum jam
lebih banyak dan makin banyak.
roda terseok tak lagi mampu mengejar waktu
sering terhenti sesaat, melepas dahak
dari sisa napas yang sarat emisi dan asap.
keriput kulit yang kadang hijau, merah atau biru
serupa besi berkarat terkerat asam hingga coklat
engkau mendongak, sebentar lagi hujan
dan aku lupa membawa payung.
Tuban, 2022
Mudik
lautan kardus berjejalan di jalan-jalan
dalam kendaraan pengangkut serapah
tersangkut di persilangan lampu merah.
kardus yang memendam rindu
pada rahim ibu
muasal dari yang lepas akan kembali
pulang menuju riang masa kanak-kanak
pada lembut usap jemari emak
di mana suara isak dan air mata diserap-keringkan.
pulang melepas berbagai kutukan ibukota
mengubah semua anak menjadi batu
namun air mata ibu adalah alir mata air
yang menerima setiap batu
dalam dekapnya yang lembab dan dingin.
lautan kardus lelah berkejaran
sarat menyunggi mimpi dan tali-temali
yang menjerat hingga sekarat.
namun aku,
satu yang tak pernah terisi dan tersesat
di labirin angka merah kalender dinding rumah
bersama debu, gema waktu
dan bayangan harimu.
aku tersesat
di sebuah jalan dalam kepalaku.
Kudus, 2022
Lampu Perempatan Jalan
mata cekung yang suka berkedip
saat ada yang lewat di persimpangan itu
jauh tenggelam dalam pejam.
mungkin lelah terus menjaga dan terjaga
atau jenuh akan pengabaian.
sesosok becak yang bijak
lewat bersijingkat
agar derit kayuh dan denting belnya
tak mengusik dengkur.
angkot yang suka menyerobot
selalu iseng menyorotkan silau matanya
kelopakmu tetap bergeming.
bahkan motor muda yang bengal
sengaja berteriak dengan suara paling pekak
namun mimpi telah membawamu menjelajah
jauh ke negeri entah.
berdiri tepi jalan yang -saling silang
memikul banyak tujuan itu- telah lengang
saat ini satu-satu pelintas
yang tiap pagi selalu berharap lepas
hanya ingin bergegas untuk pulang
meletakkan setiap beban dan berharap
setiap malam menjadi lebih panjang.
Tuban, 2022
________
Penulis
Winarni Dwi Lestari, lahir di Tuban, kini tinggal di Karawang, Jawa Barat. Saat ini menekuni usaha properti. Studi terakhir Sarjana Univ Telkom. Puisinya dimuat di media cetak maupun online. Pecinta puisi dan masih terus belajar menulis puisi.