Puisi Nandy Pratama
Perjalanan Nokturnal
Malam membuka mata pada seratus tahun manusia hanya menjadi airmata
Habis mengalap segala ramai yang gemuruh riang menelusuri belukar
berupaya temukan dan mencari-cari nyawa yang bukan milik.
Ada kala ikhtiar mengkudeta kawasan-kawasan Tuhan; mengerang, berseru dengan harap tak diangkat sebagai kekal.
Batas penghabisannya hadir pada perjalanan nokturnal yang sampai pada demarkasi kehidupan-kematian
Tuhan menjatuhkan warkat dan melahirkan kata bahwa patutnya banyak sesal juga panjatan permohonan elok sebagai fortifikasi kelainan.
Tersengal mereka di antara rapalan doa, kata
dan berita-berita di ujung kaca membusur lelap menuju “simbah“
Rumah-Mu tak layaknya rongsokan bagiku
Sebab ribuan dosa takkan mengenal surga
Sebab selama neraka masih ada arwahku mencoba gila dan liar di atas kepala-Nya
Di seluk luar telak roda dunia adalah aku.
Ternate, 22 Februari 2020
Tatkala Sunyi
Aku malu pada-Mu ya Tuhanku
Pada burung-burung yang bertengger
Menatap langit saat fajar tiba
sedang aku masih bermimpi dengan lelapnya.
Aku malu pada-Mu ya Tuhanku
Pada embun yang menetes di daun-daun
yang memanggil kupu-kupu untuk menghilangkan hausnya
Saat terik matahari mulai menampakkan tubuhnya
Aku malu pada-Mu ya Tuhanku
Pada buku-buku berjejer di perpustakaan
yang kubaca dari pagi hingga larut malam
Sedang pada buku yang kau berikan padaku; masih tertutup dengan debu di sekitarnya.
Aku malu pada-Mu ya Tuhanku
dalam hangat bertemu dengan seorang hamba-Mu
Aku persembahkan wewangian ke penjuru badan
Aku tata rapi busanaku, aku sembahkan yang terbaik untuknya,
Sedangkan pada-Mu malah seadanya
Oh, Tuhanku maafkan aku yang sering melupakanmu
Sungguh tak ada yang bisa kubalas beberapa pesan atas kasih-Mu
Semua sia-sia, semua sia-sia dalam haru ataupun duka
Bagaimana nasibku nanti?
Kala kau jemput paksa nyawa dalam sakitku
atau nafas yang hidup bagai melihat tanah yang haus dan terberingus.
Ternate, 15 Oktober 2019
Patah
Malam ini awan seakan mengadu
Mengadu tentang rindu yang belum terjadi temu
Aku sering mendengar malaikat mendawaikan namamu
Aku sering melihat malaikat menulis namamu pada langit-langit kamarku
Cukuplah, aku yang tersakiti oleh jarak
Ditikam semesta terbujur kaku; lemah!
Tak berdaya di depan kisah asmara
Sungguh kelamnya perjalanan hidupku
Duduk termangu, menatap wajahmu yang diambil oleh waktu
Mengapa kau tak matikan saja nadirku ini?
Hentikan aliran darah yang menuju hati
Aku terlalu naif memujamu di depan tiang agama
Hingga akhirnya aku jua yang disingkirkan
Cerita kau dan aku berujung pada perpisahan
Aku kalah dari saudagar yang kaya raya itu
Kau pilih asmara yang bergelimang harta, kau buang aku
dan kau bilang pada ibumu “ibu aku tak menyukainya, semuanya hanya kepura-puraan”
Aku tak kejam sepertimu, tidak!
Aku berdoa semoga esok Tuhan memberikan sedikit rindunya untukku
Agar kelak kubisa menemukan seseorang yang tulus menyambut tamu.
Ternate, 15 September 2019
Menerobos Takdir-Mu
Di sela-sela jemari malam
atau pada bibir rembulan yang kian suram, aku menatap diksi
yang jauh
Air mata menetes memacu hati yang ranum
Aku tercekat dengan tangan yang masih terlipat
Menyisakan denyut dalam rahasia; suara yang tak lagi berbicara
Kepada warna, kubunuh kepala yang meradang
Menyisakan minuman setengah kosong
Sepi pecah
Perih melirih
Tangis menjadi pecundang, kala kuingat semuanya
Hening mulai terkulai menjadi nanar
Duka-duka luruh
Aku melihat di depan cermin
Lika-liku kehidupan
Berekspresi bagaikan simbol
dan sebuah cara yang paling sederhana adalah menerima takdir-Mu
Surabaya, 28 Oktober 2021
Amorfati
Rintik hujan malam itu
Mengingatkanku pada kenangan masa lalu
Kau memberikan setangkai rindu
Menyiksa candu pada senggama yang mengkudeta rasa takut
Nafsu berotasi bagaikan status di sosial media
dengan elok engkau beradikara
Menyiksa diri sendiri
Mendesah di dalam tempurung
Kau sembunyikan lengkungan pada setiap bibir yang indah itu
Mengkotak-kotakkan rencana pada setiap waktu
Kau berlari-lari di belakang rumah; menggali tanah basah
setelah itu menghilang.
Jemari ini memantik, kepanikan mulai mencekik
Mendesah didalam nadi hingga akhirnya “mati“
Ternate, 11 April 2020
Surga yang Dirindukan
Aku berlari mengejar mimpi atas buruknya kepulangan
Menyemai setiap bunyi
Perca meradang dalam perihnya bahasa
Di kamar kakiku menjelma jangkar, tanganku basah kuyup
dan mataku lepas
Suara bersua dalam waktu
Mengucap kata macam frasa rindu
tanpa melihat rupa-Mu
Aku melipat jarak, menyebutkan asma-Mu di ribuan pengharapan
Dialog ini, bersua dari jeda selepas pergi
Meretas pandang yang panjang menjadi arti
Kurogoh sosok juwita di sebrang jalan yang menanti pelukan
Oh, ibu tiada temu yang paling baik selain cinta
Ibu, aku dan Tuhan ingin ridho-Mu
Ternate, 07 April 2019
Ciuman dan Pelukan
Kelak di waktu yang berkarat
Kita menuju renta. Kita mungkin lupa ciuman-ciuman yang pernah dicuri dari bioskop.
Perhentian lampu merah juga kemacetan; kita menyelipkan pelukan-pelukan saat kau
pamit menuju banyaknya pekerjaan!
Sebelum tiba masa itu, kau kecup bibir lembut
Menyetubuhi seluruh tabah yang ditabuhi waktu
Merayakan segala keintiman sebagai pengingat saat kita tua
dan kita mengingat kesedihan-kesedihan lama
Sambil meletakkan bahasa yang malang
Lalu, kusaksikan kesepian tumbuh makin liar, mencakar riwayat airmata
Meletakkan pundak yang mulai gersang
Hingga akhirnya kusadari,
Hendakmu hanyalah sebuah musim pancaroba
Ternate, 02 Januari 2019
________
Penulis
Nandy Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997. Seorang penyair dengan nama penanya Ternate di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak masih SMP, baik berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang pernah diraih di antaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis terbaik, 100 penulis termuda. Selain itu telah menulis 2 buah buku puisi, salah satunya yang berjudul Terjebak Puisi dan Ina. Pada tahun 2019-2022 berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara online.
Facebook: Pratama Matali
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com