Cerpen A. Djoyo Mulyono
Sudah berlalu satu bulan, keributan dengan adanya rumor Babi Jadi-jadian itu terjadi di Desa Nyupang. Desa yang masih kurang dari sentuhan infrastruktur negara dan pendidikan agama itu, menjadi ladang klenik yang merajalela ketika masalah alam dan perekonomian melanda jiwa-jiwa yang lemah. Maka tak heran, jika musim paceklik tiba, kejahatan serta tipu dayalah yang mewarnai penduduk layaknya kabut serta pohon belukar yang masih banyak dijumpai di desa tersebut.
Selain banyak warga yang merasa kehilangan lembaran uangnya, keberadaan Babi Jadi-jadian itu sangat meresahkan hingga membuat warga menjadi tidak aman. Orang-orang warga Desa Nyupang sudah banyak yang memahami, kalau perbuatan tersebut sebenarnya adalah ulah warga desanya sendiri yang ingin hidup berkecukupan dengan cara instan. Maka beberapa warga yang kesal, bersedia untuk mengusut tuntas siapa pelaku sebenarnya.
***
Sore itu, sore yang wingit, bagi Basir, hidup dan mati akhir-akhir ini seperti tidak ada bedanya, justru sepertinya mati telah menjadi angan yang sangat diimpikan lantaran tampak tenang terbebas dari masalah. Semua ini berawal dari Suti, istrinya yang bermulut seperti kaleng rombeng itu mengoceh setelah melihat tetangganya yang baru membeli kalung emas. Tapi ia sadar betul apa yang kemudian disarankan oleh istrinya tempo hari itu adalah jalan yang sangat dibenci oleh Tuhan. Hal itu ia sadari setelah mendengarkan pengajian Kiai Saduli, kiai pendatang yang konon telah kondang empat kecamatan di daerah asalnya.
Hidup di tengah kampung yang di mana lebih banyak orang mengadili orang lain dengan cara sendiri bukanlah hal mudah untuk dijalani, terlebih lagi Basir hanyalah pekerja serabutan yang pemasukannya datang untung-untungan. Jika musim panen tiba, Basir akan ikut orang untuk menjadi buruh tani, lepas menjadi buruh tani menjadi buruh bangunan, lepas menjadi buruh bangunan menganggur, lepas menganggur, menganggur lagi, dan selamanya menghidupi anak istrinya dengan cara seperti itu.
Di tengah pemasukan yang sempit, Basir malah dibebani pikiran oleh Suti yang merengek kepanasan ketika melihat tetangganya satu-per satu mendapatkan kesenangan yang beragam. Ada yang baru membeli kalung emas, barang perabot baru, atau motor baru. Jika sudah seperti itu, setiap pagi Basir menyaksikan istrinya mengoceh menuntut nasib yang sama seperti yang dialami tetangganya.
Pada mulanya, keinginan Suti untuk menjadi kaya dan mengajak Basir tidaklah terlalu menggebu-gebu seperti sekarang, namun setelah anak keduanya lahir, kehidupan rumah tangga yang dilaluinya bersama Basir mulai mengalami masa sulit –lebih tepatnya sulit dibuat sendiri. Lalu, barangkali karena itulah Suti sering menekan Basir, untuk hidup papak, setara dengan kehidupan tetangga lainnya yang sejahtera.
***
Besoknya, menjelang tengah malam dengan isi kepala yang sama –pusing, entah sedang ditemani setan macam apa, Basir membenarkan ajakan istrinya. Ia telah memikirkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi ketika melakukan cara hina itu, paling yang terjadi mula-mula hanya memanen tuduhan yang sifatnya sulit diungkap jika main rapi. Basir juga telah menimbang baik buruknya dan kemungkinan apa yang paling terburuk ketika ia benar melakoninya. Antara mati sebelum bertobat atau kaya dulu lalu bertobat.
Di bawah langit yang tak begitu mendung, di depan rumahnya, dengan keretek yang masih menyantol di mulut, Basir mengingat banyak peristiwa di masa lalu mengenai riwayat orang-orang yang telah melakukan hal serupa. Mang Suten, ia tidak akan kaya jika dulu tidak melakukannya. Kemudian dua tahun setelah itu, terdengar kabar jika Mang Suten meninggal terkena sengatan listrik bertegangan tinggi. Basir merinding mengingatnya, namun segera ia tepiskan dan menganggap bahwa Mang Suten sendirilah yang tidak berhati-hati dalam bekerja sebagai buruh bangunan di rumah baru.
Setelah mengembuskan asap kereteknya ke udara, Basir kemudian bergeser dengan mengingat Kaji Gofur, orang terkaya yang pernah ada di Desa Nyupang. Basir juga kelak mengetahui Kaji Gofur seperti Mang Suten setelah Kaji Gofur mengidap penyakit stroke, bahwa Kaji Gofur juga menjadi kaya hidup berkecukupan karena telah melakoninya juga, dan konon puluhan dukun di Desa Nyupang mengatakan bahwa penyakitnya itu adalah keberuntungannya karena tidak sampai mati seperti yang sudah-sudah. Basir tiba-tiba lebih mantap untuk terjun melakoni apa yang dulu juga Kaji Gofur lakukan, ia meyakini jika tidak seperti itu mungkin Kaji Gofur tidak akan menjadi orang kaya selama hidupnya.
Pertimbangan panjang itu ia tanggung sendiri di malam yang dingin, serta mulai menyiapkan perkakas yang dibutuhkan sebagai syaratnya, seperti kedupan, nampan kecil, dan beberapa perkakas praktik yang dulu ia miliki. Pada dasarnya orang tua Basir adalah orang yang memiliki elmu yang mampu mendatangkan kebaikan, namun anak cucu keturunannyalah yang sekarang menyalahgunakan pengetahuan tersebut untuk hal yang tidak baik dengan dalih perkembangan zaman yang selalu membuat orang terpepet dengan keadaan ekonomi.
Menurut Basir, hal ini juga ia lakukan atas rasa tanggung jawabnya sebagai suami untuk memenuhi hak anak istri, yaitu menyejahterkannya dengan mencukupi segala kebutuhan sehari-hari, seperti sandang, pangan, dan papan. Dengan lebih mantap lagi, juga mendandani dirinya untuk kemudian menjejakkan kaki memanggil jin yang dikehendaki, Basir mulai mencari target pertama malam ini.
Setelah semua syarat itu telah terpenuhi, serta mantra yang masih teringat betul di dalam kepalanya dirapal, Basir menundukkan diri dengan jubah hitam yang ia miliki dahulu sebagai barang koleksinya. Lantas, tak sampai tiga tarikan napas, Basir mulai menguik perlahan memecah heningnya malam penanggungan itu.
Akan tetapi, tidak sampai fajar menampakkan wujudnya, Basir telah kembali ke kamar dengan dada yang berdegup kencang. Menjadi Babi Jadi-jadian di musim paceklik memanglah bukan keputusan yang tepat, karena di mana-mana baik orang kaya maupun orang susah sedang meningkatkan waspada menjaga hartanya.
Untunglah, Basir tidak tertangkap. Jika tertangkap, selain Basir akan mati dirajam massa, tapi juga identitasnya akan terungkap bahwa dirinya melakukan cara yang paling rendah di antara tipu daya yang pernah dilakukan di desanya.
“Bila saja aku tahu kamu telah mengiyakan saranku, biar aku bantu menjaganya di rumah, Mas,” ujar Suti sedikit kesal.
“Aku berencana hanya untuk sekali dan memberikannya untukmu sebagai kejutan.”
“Kenapa hanya sekali, bukankah itu suatu keputusan yang tanggung?” katanya dengan sedikit menaikkan suaranya. “Lihatlah, dengan hasil yang ragu-ragu kita hanya mendapatkan sedikit uang!”
“Sudahlah, Suti, segitu kiranya cukup untuk menambal mulut tetanggamu itu!”
“Aku tidak mau tahu, nanti malam kau harus berdandan kembali!”
Belum saja ketakutannya pergi dari dadanya, Basir telah mendapatkan tekanan kembali dari Suti karena sudah kepalang diketahui. Dari banyak riwayat, menjadi hewan jadi-jadian, apa pun itu wujudnya, jika selama perjalanan masih memiliki rasa berdosa –ragu, pastilah akan celaka, jika tidak mati di jalan, sudah dipastikan pulang dengan badan yang memar-memar.
Keraguan yang dialami Basir sangatlah besar sampai rasa itu menjadi takut yang berlebihan. Jika bukan demi memenuhi napsu serakah istrinya, mungkin dipaksa dengan alat berat pun Basir tidak akan mau melakoni hal tercela itu. Sebagai mantan dukun muda yang lumayan berbakat, Basir tahu betul risiko apa yang harus ditanggungnya nanti, tidak hanya dirinya yang dipertaruhkan, tapi anak istrinya juga dipertaruhkan jika sedikit saja salah perhitungan.
Selain itu, Basir juga sebenarnya secara nasab, telah terdidik agama meskipun tidaklah terlalu mendalam ilmunya. Bapaknya, yang merupakan terlahir dari kalangan keluarga paranormal terpandang, telah bijaksana dalam setiap mengamalkan elmunya untuk menjadi banyak disegani oleh orang lantaran kebaikan-kebaikannya selalu membantu masyarakat terkena teluh dan dendam yang tidak terlihat. Dengan begitu, Basir banyak menerima nasihat-nasihat baik, kalau orang yang bapaknya sembuhkan adalah orang yang telah mempersekutukan Tuhannya dan berani berurusan dengan bangsa jin.
Melalui kejadian itu semua, Basir juga dinasihati oleh bapaknya, bahwa bapaknya menjadi dukun semata untuk amal. Di saat orang lain menggunakannya untuk menyakiti, namun Bapaknya menggunakan elmunya untuk turut bantu mengobati.
“Kita tidak pernah tahu, Ngger, amal manakah yang diterima oleh Alloh,” katanya sambil mengembuskan asap kereteknya ke udara. “Oleh karena itu, teruslah berbuat baik!”
Basir ingat betul perkataan yang satu itu. Bahkan sampai di napas terakhirnya pun, Bapaknya masih mengingatkan Basir dengan nasihat yang sama.
Apa yang dilakoninya telah jauh menghianati dari nasihat bapaknya untuk hidup tetap di jalan yang benar. Sekarang, boro-boro hidup dengan tetap di jalan yang benar, berbuat baik pun, setelah ia menikah dengan Suti, kehidupannya jauh dari kata baik, segala apa yang didapatkan rasanya tidak pernah puas di mata sang istri, hal itulah yang kemudian membebani Basir hingga saat ini.
***
Malam-malam berikutnya, Basir dan Suti telah bersama menyiapkan beberapa perkakas untuk memulainya kembali. Segala yang sebelumnya dipikirkan seperti menguap setelah istrinya kembali merajuk dengan dalih anak bungsunya membutuhkan susu, hatinya seperti teriris-iris jika sebagai suami Basir tidak dapat membelikan hanya barang susu formula.
Tepat tengah malam, seperti biasa, sebagian warga Desa Nyupang telah tertidur dari segala kecurigaan Basir yang mulai menuai tuduhan menjadi Babi Jadi-jadian. Basir juga masih menunda pertanyaan, mengapa rapalan yang diwariskan oleh bapaknya sebagai dukun bijaksana itu malah berwujud hewan kotor dan berisik semacam babi. Tapi apalah sebuah wujud, yang terpenting aksinya malam ini mulus tanpa hambatan.
“Guik! Guik!”
Suara itu sudah mulai terdengar dari moncong Basir yang mulai memanjang. Sedang istrinya tampak tersenyum dan berharap menikmati hasilnya malam ini.
Mengendus pelan, mulai tercium bau uang dari rumah-rumah warga yang telah disatroni Basir dengan wujudnya yang sudah tak dikenali. Basir menarik napas di depan rumah tersebut dan lembaran uang ratusan ribu lenyap per satu lembar dalam setiap ikatannya.
Tapi tiba-tiba, setelah dua tiga rumah selamat disatroninya, beberapa warga merangsek dan membabi buta dengan tali dan parang yang dibawanya untuk mendapatkan babi itu dalam keadaan hidup atau mati. Lemparan tali serta jaring tak kuasa menahannya, beberapa kali tali-tali itu dirobek dengan taringnya yang mencuat keluar mulut. Hingga pada akhirnya, sebuah lemparan besi runcing tepat mengenai paha babi itu dan terjungkal menguik kesakitan.
“Guik! Guik! Guik!”
Basir tertangkap. Babi Jadi-jadian itu meneteskan air mata di tengah-tengah kerumunan warga yang mulai memukulinya dengan berbagai macam benda tumpul. Basir juga memaki dalam hatinya, kenapa malam pada aksinya ini bisa sampai sial tertangkap oleh warga desanya sendiri. Padahal, sebelum berangkat, Basir dan Suti sudah memperhitungkan hari dengan benar, memadukan hari dan tanggal lahir keduanya sebagai tanda apakah ada rezeki dalam rumah tangga mereka pada malam ini.
Namun, Basir terlupa, bahwa ada satu yang masih belum diperhitungkan, Kitab Naga Dina yang diwarisi bapaknya belum sempat ia buka. Di dalamnya, ada tiga hari pantangan yang tidak dapat dilakukan untuk berbuat, yaitu Boing, Tuge, dan Mawon. Tiga hari itu merupakan hari yang tidak baik untuk berbuat kemungkaran. Basir menyadarinya.
Di tengah-tengah warga yang penuh napsu memukuli Babi Jadi-jadian itu, Kiai Saduli kemudian datang menghentikannya. Babi itu masih menguik keras kesakitan dengan wajahnya yang sudah mulai berwujud manusia. Mengetahuinya siapa, Kiai Saduli menyayangkan;
“Bukankah sudah saya sampaikan padamu, Sir, bahwa menjadi Babi Ngepet adalah jalan yang sangat dibenci oleh Alloh!”
Surabaya, 29 Januari 2023
Catatan:
Naga Dina : Primbon mengenai hari baik dan buruk.
________
Penulis
A. Djoyo Mulyono, kelahiran Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya menulis fiksi dan nonfiksi, menjadi mahasiswa Pascasarjana Unesa, dan Pengajar di SMA Hang Tuah 4 Surabaya. Penulis bisa disapa melalui akun instagramnya di @agungdjoyo.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com