Cerpen Iz Shafura
Syahda menunggu ibunya di ruang tunggu. Dokter memvonis Sunarti kalau umurnya tidak lama lagi. Sunarti tidak serta merta menjadi gelisah. Dia berusaha untuk terus tegar. Dia tidak ingin kalau anak-anaknya tahu tentang vonis yang diberikan dokter itu.
Keluar dari ruang dokter, Syahda menyambut cemas. Narti mengatur napasnya yang mulai sesak. Kadang berhenti sejenak, lalu kembali menapak perlahan. Terngiang vonis dokter di telinganya, namun tidak membuatnya lemah. Syahda yang beranjak remaja, anaknya penurut. Baginya surganya dia ada di bawah ketaatan dan kepatuhan pada ibunya. Syah memilih diam walau dia mulai mengetahui sesuatu.
Narti terus menyusuri lorong-lorong waktu. Dia selalu bertanya dalam doa kepada Sang Pemilik Waktu di sepertiga malam, saat anak-anaknya terlelap tidur dalam mimpi dan harapannya.
Bukan dia tidak percaya dengan vonis dokter. Yang dia tahu dokter mengatakan itu sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Namun, tetap saja dokter bukanlah Sang Pemilik waktu. Begitulah Narti menguatkan hatinya dengan membayangkan kekuasaan Sang Penentu Ajal.
Saat derai air matanya tumpah, salah satu anaknya, Galuh, yang baru berumur 7 tahun, menyentuh pundaknya. Lalu, Galuh menghapus air mata ibunya.
"Bunda kenapa menangis? Bunda sedih ya?”
"Gak, Sayang. Bunda gak sedih. Bunda sedang merayu Allah untuk memohon ampunan-Nya."
"Emang Bunda dosa apa sama Allah?"
"Bunda takut berdosa sama kalian, Sayang ... karena selama sehat Bunda selalu sibuk."
"Tapi, Bunda kan gak dosa sama kita kok. Bunda sibuk kan karena harus mengurus dan membiayai kita."
"Hanya Allah yang tahu dosa Bunda, Sayang. Makanya Allah suruh Bunda istirahat dengan memberikan Bunda nikmat sakit ini."
"Lho, sakit kok dibilang nikmat Bun?"
"Sayang ... nikmat Allah itu bukan hanya sehat saja, sakit pun adalah bagian dari nikmat-Nya."
"Ya udah, kalo Bunda udah selesai ngobrol dengan Allah, bunda istirahat ya."
"Ya, Sayang. Sekarang kamu tidur lagi ya...."
Setelah anaknya kembali ke kamar, Narti kembali menumpahkan air matanya sambil tiada henti beristighfar. Di kamar yang lain Syahda pun khusyuk memanjatkan doa. Dia berniat sedekah setiap hari, menyisihkan uang jajannya. Syahda bahkan bernazar, jika ibunya sembuh, ia akan bersedekah walaupun ia tidak bisa jajan satu bulan. Baginya nazar yang paling berat adalah yang berkaitan dengan uang.
***
Narti merasa umurnya tidak lama lagi. Sambil terus memohon ampunan kepada Sang Pencipta, Narti terbayang wajah anaknya satu per satu yang akan menjadi yatim piatu. Narti sudah lima tahun ditinggal almarhum suami yang sangat dicintainya.
Narti hanya meneruskan usaha suaminya sebagai penjahit. Selama ini pelanggan suaminya-lah yang selalu berbaik hati memberikan pekerjaan. Padahal mereka sebenarnya lebih suka berbelanja online.
“Syahda, sini Nak,” Sunarti memanggil putri sulungnya. “Tolong Bunda, mandikan Chaca ya,” kata Narti lagi.
“Siap Bun, pokoknya apa pun pekerjaan yang biasa Bunda lakukan, Syahda harus bisa,” kata Syahda, membuat ibunya terharu.
Dalam kondisi sakit pun Narti tetap terus bekerja karena anak-anak masih kecil. Syahda, anaknya yang paling besar berumur 13 tahun, Galuh yang nomor 2 berumur 7 tahun. Sementara anak perempuan paling kecil, Salsabila baru berumur 4 tahun.
***
Memasuki bulan kedua sejak menerima vonis dokter, yang mengatakan Narti hanya bisa hidup kurang lebih 3 bulan lagi. Pada sisa waktu yang dirasakannya semakin dekat, Narti tidak henti-henti memohon ampunannya. Syahda juga tak henti-henti berdoa dan bersedekah. Tapi dia pura-pura seolah tidak mengetahui apa pun. Karena dia tahu informasi menyedihkan vonis kematian itu saat dia mengintip ke bilik pemeriksaan.
Narti tidaklah pasrah begitu saja menerima vonis tersebut. Keceriaan anak-anaknya selalu membuat semangat untuk terus hidup semakin kuat. Narti merahasiakan vonis yang diberikan dokter. Di depan anak-anaknya dia berusaha untuk terlihat tetap tegar.
Narti tidak pernah berhenti untuk beristighfar, dan bangun pada sepertiga malam untuk melaksanakan salat Tahajud, meminta petunjuk dan ampunan kepada Sang Pemilik waktu. Syahda pun pada setiap tarikan dan embusan napasnya, dia isi dengan istighfar. Sunarti mencontohkan penghambaan menuju surga itu dengan cara pasrah. Syahda semakin yakin bahwa keajaiban itu pasti ada.
Begitulah wirid yang terus berulang-ulang dia lakukan, dengan penuh penyerahan diri, namun tetap dengan keyakinan adanya mukjizat-Nya.
***
Menginjak bulan ketiga, Narti semakin tegar. Tingkat kepasrahannya sudah sampai pada penyerahan diri secara ikhlas, siap menerima kenyataan pahit sekalipun kalau memang itu sudah menjadi kehendak-Nya. Dan dia pun merasa semakin segar. Entah mengapa Syahda pun merasa berbesar hati bahwa ia akan mendapatkan sebuah miracle.
Antara pasrah dan ikhlas dalam menanti ajal, Narti terus berharap akan mukjizat Tuhan, karena dia sangat yakin hanya Tuhan yang paling berhak atas segala ketentuan. Dia bisa segerakan apa yang seharusnya Dia Tunda, dan Dia pun bisa menunda apa yang seharusnya Dia segerakan.
Di saat semangat hidupnya sedang dipuncak-puncaknya, Narti yang divonis kanker Rahim stadium 4, tiba-tiba ambruk saat ia sedang menjahit pakaian seragam, pesanan dari pelanggan almarhum suaminya. Memang Narti memaksakan dirinya yang dianggapnya mulai segar untuk menyelesaikan jahitan sampai menjelang pagi.
Saat itu jam 6 pagi, Syahda yang baru bangun ingin menuju ke kamar mandi, dia melihat ibunya sudah terjatuh di lantai. Syahda minta tolong kepada tetangga sebelah rumah, yang kebetulan pemilik rumah yang mereka tempati. Semua sibuk mencoba menyadarkan Narti, namun Narti tetap tidak siuman. Betapa Syahda sedih dan bimbang. Dia titipkan Chaca ke tetangga. Lalu dia berikan uang jajan yang dikumpulkan setiap subuh, dia berikan pada Pak RT untuk diberikan pada anak yatim korban gempa di kotanya.
Narti dibawa ke rumah sakit, baru saja masuk keruang IGD, Narti siuman. Dokter periksa Narti, namun Narti terlihat sehat-sehat saja.
"Apa yang dikeluhkan Bu?" tanya dokter.
"Tadi Ibu saya temukan sudah terjatuh dilantai Dok. Ibu pingsan, makanya buru-buru dibawa ke sini. Dok saya mohon lakukan yang terbaik. Insyaallah akan ada orang baik yang akan menolong kami urusan keuangan pengobatan,” jelas Syahda.
"Saya gak apa-apa Dok. Saya cuma kelelahan,” tutur Sunarti.
"Ya sudah, saya periksa dulu ya Bu. Nanti kalau memang gak apa-apa, Ibu boleh pulang."
Narti dibolehkan pulang karena memang tidak ada gangguan kesehatannya. Narti begitu senang kalau rahasia penyakitnya tidak diketahui oleh anak-anaknya. Narti melakukan aktivitas seperti biasanya. Dia sudah tidak hirau dengan bonus bulan ketiga yang dikemukakan dokter. Syahda pun bahagia dan semakin punya harapan besar. Dia merasakan keajaiban dari Allah pasti ada.
***
Narti mencoba mendatangi dokter yang sudah memvonisnya. Ia minta dokter kembali memeriksa penyakitnya. Dokter agak kaget begitu bertemu Narti karena Narti terlihat sangat segar. Tidak ada tanda-tanda seperti orang yang sedang mengidap penyakit kanker rahim.
Dokter langsung memeriksa Narti. Selesai memeriksa Narti, Dokter itu termenung di hadapan Narti.
"Dokter kenapa? Waktu saya sudah semakin dekat ya? Saya sudah pasrahkan kok pada Tuhan. Dialah yang memiliki saya dan Dialah yang berhak mengambil saya kembali."
"Bukan Bu. Saya termenung karena saya takjub dengan semua ini."
"Maksud Dokter? Apa karena saya terlihat ceria ya sehingga Dokter takjub?"
"Saya takjub dengan kebesaran Tuhan Bu, karena Tuhan sudah mengangkat penyakit Ibu. Subhanallah...."
"Alhamdulillah ya Allah ... ternyata Engkau Maha Mengetahui dan Engkau Maha Bijaksana. Engkau dengar Doaku dan Doa anak-anakku."
"Ternyata Tuhan sangat menyayangi Ibu karena Ibu sangat menyayangi anak-anak yang dititipkan-Nya."
________
Penulis
Iz Shafura adalah nama pena dari Iis Shafuroh, M.Pd.I., seorang guru di Yayasan Madrasah Tanwiriyyah, Cianjur.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com