Oleh Encep Abdullah
Saya sudah menulis beberapa paragraf. Setelah itu saya hapus lagi. Saya menggerutu, "Saya ini lagi nulis apa sih? Saya nulis ini buat apa?"
Setelah menjadi penulis beken, saya makin bingung mau menulis apa. Haha. Ini salah. Itu salah. Begini bakal klise. Begitu juga klise. Cerita begini tak berkelas. Cerita begitu tak layak.
Kalau ditanya kapan saya merdeka jadi penulis? Saya jawab, saat saya pertama kali "belajar" menulis, yakni zaman seragam abu-abu. Saya bebas menunjukkan kebodohan saya. Saya merasa tak punya beban dan "dosa". Ilmu yang saya tahu sebatas itu. Yang saya lakukan pun sebatas itu. Sekarang, setelah saya tahu ilmu EYD dan sebagainya, setelah saya punya rasa malu ketika menghasilkan karya yang buruk, ringan dan nggak nyastra banget, apa-apa jadi batasan dan pertimbangan. Saya tak boleh menulis kayak begini. Saya tak boleh menulis kayak begitu. Woi, apa-apaan ini?
Saya selalu bilang kepada si Juned bahwa tulisan saya harus selalu tampak bagus dan inovatif. Antimainstream. Alah, taik kucing! Buktinya, setelah saya menulis banyak paragraf, saya hapus lagi, padahal menurut batin saya, itu bagus. Harusnya saya lanjutkan, eh malah saya hapus. Setelah saya hapus, saya kecewa. Kenapa tulisan tadi dihapus? Anjiiir!
Akhirnya, saya perlu ngecas lagi iman saya dengan membaca ulang buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Nah, saya pun sedikit mendapat pencerahan. Tapi, sayangnya cuma sebentar. Selebihnya kumat lagi. Saya tidak bisa begitu saja bersikap bodo amat. Saya kepengin bersikap pintar amat. Itu susah sekali.
Saya selalu menganggap bahwa pembaca tulisan saya adalah orang-orang cerdas. Mereka harus mencerna tulisan saya dengan banyak pendekatan, dengan banyak interpretasi. Mereka adalah kalangan-kalangan terdidik dan akademisi. Tak lupa juga bahwa mereka itu intelektual tingkat tinggi yang melek literasi.
Saya sudah lupa bahwa saya juga punya pembaca yang tak pintar-pintar amat. Pembaca yang biasa-biasa saja. Bahkan, bodoh saja tak punya. Sori bercanda. Haha. Maka, seharusnya saya tak perlu risau kalau tulisan saya encer. Yang penting jangan encer-encer amat. Itu mencret namanya. Usahakan selalu ada nilai moralnya. Ceile nilai moral!
Kalau saya terus-terusan begini, saya bisa "mampus" jadi penulis. Bisa jadi, dalam waktu dekat saya ambil keputusan untuk pensiun dini, gantung pena. Bedebah sekali jadi penulis yang konon mengerti bagaimana seharusnya menulis, kok malah ruwet dan mumet sendiri.
Duh, sebentar, sampai bagian ini perut saya mules. Kepala saya sudah puyeng. Saya ke toilet dulu. Kebiasaan saya kalau buntu menulis, ya begini. Tunggu!
(Sepuluh menit kemudian)
Baik, saya lanjutkan lagi. Saat saya sudah mengerti bagaimana seharusnya saya menulis, saya malah makin tidak mengerti dengan diri saya. Daripada saya makin bingung, lebih baik saya sudahi saja catatan ini. Tapi, apa iya sekelas Encep Abdullah cuma menulis segini. Saya harus tambahkan lagi. Satu paragraf lagi saja. Gengsi dong kalau tulisan saya terlalu pendek.
Ternyata ribet juga ya jadi penulis seperti saya. Atau sebenarnya saya yang ribet dengan pikiran saya sendiri? Toh, yang lain santuy-santuy saja. Malah ada teman saya yang sudah sepuh, peyot, tapi enjoy berkarya, produktif pula. Ada pula teman saya yang baru akil-balig, anak kemarin sore, lagi senang-senangnya menulis, semangatnya bukan main karena karyanya sudah mejeng di media nasional. Ia kelihatan tak seribet saya. Menulis ya menulis saja. Begitu. Atau itu pun sebenarnya asumsi saya. Mungkin mereka juga sama seperti saya.
Di akhir tulisan ini, saya merenungi diri. Sepertinya saya harus rajin merukiah diri supaya waras kembali.
Kiara, 6 Mei 2021--6 Maret 2023
_________
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). Bisa dipesan via WA penulis, 087771480255.