Cerpen Lintang Alit Wetan
Dan, biaya bahan bakar untuk melaut setinggi gunung menjulang, berkebalikan 180 derajat, alias njomplang dibanding dengan ikan-ikan hasil tangkapan. Maka, nelayan-nelayan di kotamu ini akan terus menjerit. Lolong. Nelayan itu manusia, seperti aku, kamu, dia, atau mereka. Tak beda jauh sama kita. Mereka bekerja berkeringat-keringat, berdarah-darah. Tentu dilambari doa-doa beterbangan ke angkasa, doa-doa yang baik. Dari rumah-rumah nelayan yang diijabah Sang Pencipta, mencegah jasad kelelep ke kedalaman laut, bisa saja sampai menganak sungai linangan air mata. Air mata laut. Mereka, para nelayan itu punya hati nurani. Mental setegar karang. Debur ombak. Nelayan tak mau mati sia-sia, lagian cuma ditelan gelombang.
Hidup nelayan, sungguh jungkir balik, salto, koprol dan dongo. Memang nelayan punya empang seluas lautan. Aku sering bertanya-tanya dalam hati kecilku, kenapa ya, nelayan tetap nelayan. Kapan jadi juragan? Padahal nelayan tak gentar dalam mencari ikan-ikan, menerjang debur ombak dan alunan gelombang, panas terik, hujan badai dan topan. Cuaca buruk menjadi teman. Cuaca baik dijadikannya sahabat.
“Para nelayan maju tak gentar, rawe-rawe rantas malang-malang tuntas dalam menjalankan darmanya bagi mereka yang membutuhkan pangan, lauk bergizi, lezat dirasakan lidah, protein tercukupi, ikan-ikan tersaji di meja makan,” seloroh seorang teman nelayan perempuanku. Tidak masalah. Semua adalah sahabat. Tak ada musuh, tiada lawan. Cuma, rentenir, cukong dan juragan itu yang sering membuat pusing tujuh keliling!
Sungguh! Nelayan sebagai pelayan ini masih mendingan. Keterlaluan banget, bila juragannya justru para tengkulak, cukung-cukong. Teman-teman nelayanku sering menangis karena bahan bakar. “Harganya menjekik leher membuat hati menjerit. Sangat berat dan memberatkan. Butuh empati sekecil apa pun agar nelayan tidak menangis-menjerit, melolong. Dibutuhkan kepedulian orang-orang yang mengubah tangisan mereka berganti senyuman. Empati sekecil apa pun sangat berarti. Harus.
“Izinkan aku pergi meninggalkanmu untuk waktu yang tak bisa ditentukan kapan aku akan pulang. Ini kepergianku yang ke sekian kali, entah ke mana aku kan pergi dari rumah panggung ini. Kau tak perlu ikut, atau menyusul ke mana kupergi,” pesan Sukilah kepada suaminya, Trondol.
Sukilah bergegas menjinjing kopernya yang berisi baju-baju ganti dan perlengkapan pribadi seorang perempuan yang biasa ia kenakan sehari-hari. Di lehernya berlilit sal warna hitam, tas kecil melintang tubuh bagian depannya. Tidak ketinggalan sandal jepit lili ukuran 40, juga jarik berbahan bagor, kutunya banyak pula. Jarang dicuci. Itu pun beruntung bila satu bulan satu kali, jarik sempat di-laundry. Jorok. Sukilah super hemat menyangkut urusan pengeluaran duit. Ia terhitung sangat pelit. Sebenarnya, ia sedang berhemat agar cita-cita di masa kecilnya dulu sebagai orang kaya tercapai.
Orang kaya hasil kerja keras banting tulang, artinya ia tidak merepotkan orang lain. Dan, ia akan di-wongke. Dianggap orang oleh sanak saudaranya, dimanusiakan oleh teman-teman pergaulan di lingkungan rumah-rumah elite ini. Ya, zaman sudah berubah. Perubahan memang tidak dapat dihindari, siapa yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan pesatnya perubahan zaman, maka ia akan tergerus oleh waktu, tertinggal zaman, dan ditinggalkan. Ia menjadi wong jadul, bahan olok-olokan, menjadi seonggok sampah dan prasasti di monumen manusia purba di zaman now. Begitulah.
***
Kutinggalkan Jatinegara. Dengan haru biru. Dengan jantung berdegup kencang. Riuh bergemuruh. Kepergianku ini ibarat sebuah perpisahan dari orang-orang yang sangat aku kasihi, amat kusayangi: suami, anak-anak, dan sanak kerabat, tetangga handai taulan.
Ya, bagiku, Jatinegara adalah satu tempat yang aku yakin, jarang dilirik orang dalam peta. Di sini aku lahir, dibesarkan dan berumah tangga. Beranak pinak.
Tanah perbukitan, hutan-hutan jati, hamparan perkebunan, tumbuh subur beraneka pohon buah: nanas, nangka, pete, dan durian. Nanas dan durian paling banyak ditanam orang, selain menahan lahan agar tidak gampang longsor pada musim penghujan, juga bernilai ekonomis tinggi, menambah ekonomi keluarga di masa berbuah, pada waktu panen. Sedangkan, ketika paceklik, musim kemarau datang. Ini masa kami bermetamorfosis, beralih pekerjaan sebagai buruh pemecah batu-batu padas, dari penambangan batu-batu kapur dan bebatuan cadas di bukit-bukit yang memanjang dari ujung barat hingga ujung timur Jatinegara.
Di sebelah selatan Jatinegara, berdiri kokoh tegar Gunung Slamet. Gunung dengan puncak tertinggi di Pulau Jawa. Jangan heran, karena letaknya yang berdekatan dengan gunung, di dataran tinggi, maka Jatinegara berhawa dingin. Kabut-kabut tebal menyelimuti tanah kelahiranku. Kabut yang mirip sarung khas yang dipakai oleh orang-orang gunung. Bukan hanya berguna sebagai busana penutup aurat, sekaligus melindungi badan dari kedinginan.
***
Aku terdampar di Pelabuhan Tegal. Aku tinggal di sini, di sekitar kompleks pelabuhan. Hidup bermata pencaharian menangkap ikan di lautan, ternyata tak kunjung mengubah takdir hidupku. Hidup yang terus kencang melaju, seperti mengejek padaku hingga aku sering kali baper.
Di masa senggang tidak melaut, aku menyambi mengais rejeki dengan memulung sampah. Rongsokan. Lumayan untuk menyambung hidup sehari-hari, dapur terus mengebul. Kemiskinan ini, teramat mencekik leher, seperti lolong dan air mata yang membasahi lautan. Air mata yang tak berarti apa-apa bagi laut. Bagai hidupku yang bukan siapa-siapa, aku pun bukan apa-apa.
Seorang wartawan yang mewawancaraiku, untuk liputan korannya. Setelah ia mengetahui kisah hidupku dari teman-teman di media sosialku, menutup reportase yang siar di rubrik "Wanita-Wanita Berjiwa Kartini" dengan sebuah tulisan indah berbunyi demikian:
INGIN KUTANAM POHONPOHON CEMARA JADI PRASASTI
Kepada SR
kini pohonpohon cemara di Jalan Cemara kotamu tiada. diantar angin timur yang menerbangkan
kabar juga setangkup harapan mekar. kutinggalkan bau menyengat di sana
di kota hunian lama. lalu kuhirup harum bungabunga kehidupan baru
kotamu berselimut kabut seperti lapisan es krim di luaran roti
selai, disibak cahaya matahari laksana tiraitirai beku hatimu
mirip lelehan es krim yang cair dikulum bibir dan jilatjilat lidahmu
ngalir ke rongga darahmu. kau berkabar tentang ini itu
dari lingkungan baru dengan segudang pilihan, citacita, dan mimpimimpimu
di kotamu yang dingin. ingin kutanam pohonpohon
cemara jadi prasasti. menutup rapatrapat jejakjejak hidupmu dengan telepong dan bajigur
kuda. kujadikan adonan pupuk tanaman. kusaring dan kubuang
apa yang kautanam, yang kautinggalkan tumbuh subur dan berbuah lebat
siap dipanen, menjadi senyum sumringah. sedih ataupun gembira, tangis atau tawa
datang dan pergi demikian cepatnya
aku setia hingga akhir cerita. aku tamu yang mengetuk pintu rumah
mengantarmu masuk, menitipkanmu, berpamitan pada tuan. pulang menuju kota lamamu
bukakan pintupintu hatimu! sambil kupunguti puingpuing permata masa lalu
berserakan dan tertinggal di aspal jalan
yakinlah! pada kurus kerempeng tubuhku
pada dada bidangku masih tersemai kuncupkuncup pengharapan
Tegal, 2023
________
Penulis
Ag Andoyo Sulyantoro, sering menulis dengan memakai nama pena Lintang Alit Wetan, atau Niluh B Suliyati ini, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 13 Mei. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (UNY), tahun 1997, menulis fiksi dan nonfiksi yang diterbitkan media massa baik cetak, elektronik maupun online, lokal, dan nasional serta berbagai buku kumpulan bersama berbayar dan tak berbayar, sejak tahun 1990-an di Yogyakarta.
Puisi-puisinya dipublikasikan di Commit, Warta IKIP Yogya, Kuntum, RRI Purwokerto, Hidup, Ceria Remaja, Bernas, Suara Gerilya, Gloria, Permata, Derap Serayu, Radar Banyumas, Elipsis, Rembukan.com, Bimolukar.com, Sastra Krajan, Idestra, Captwapri.id, Bali Politika, dan lain-lain.
Cerpen-cerpennya tersiar di Radar Banyumas, Solo Pos, Suara Merdeka, Derap Serayu, Commit, Sastra Krajan, Captwapri.id, Elipsis, Bimolukar.com, Mbludus.com, Litera.co.id, Apajake.id, Tiras Times.com, dan sebagainya.
Publikasi tulisan pertamanya, puisi berjudul "Lagu Rumput" dimuat SKH Bernas Yogya, Januari 1995, sedangkan "Sajak Rumput" disiarkan pertama kali oleh RRI Purwokerto, dalam acara Gelora Remaja, tahun 1995. Cerpen perdananya berjudul "Bisikan Rembulan" tayang di SKH Radar Banyumas, April 2004. Artikel pertamanya berjudul "Perlu Regenerasi: Di Purbalingga dan Banyumas Pentas Tari ‘Ebeg’ Kian Langka" dipublis di SKH Kedaulatan Rakyat Yogya, April 1993.
Sekarang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara Provinsi di Provinsi Jateng. Domisili: Bendungan RT 02/RW 02 No. 48, Desa Simbarejo, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jateng.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com