Cerpen Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Punggungnya melengkung saat ia menyilakan kaki sembari melinting tembakau. Sebelumnya, ia telah meloloskan satu per satu helai-helai tembakau dari sebuah kotak kayu jati. Ia memisahkan tembakau yang agak lengket dan kuning keemasan kemudian menghidu aromanya dalam-dalam. Punggungnya sedikit menegak saat wangi tembakau menerobos penciumannya, kemudian punggung itu mengendur bersamaan embusan napas dan ketenangan. Ya, lintingan tembakau yang akan ia isap, tentu tembakau pilihan. Sebuah aib bagiku terlahir dari keluarga petani tembakau jika tidak mengetahui hal itu.
"Jamaah sudah menunggu, Tuan Guru," kalimat pertama keluar dari mulutku setelah tiga puluh menit berlalu.
Tatapan Guru Seneng berpindah menghadapku. Rupanya ucapan lirih yang kulontarkan berhasil mengalihkan perhatiannya dari aroma tembakau. Sejenak ia memerhatikanku. Lamat-lamat perhatian itu menghilang. Kembali ia bermain dengan tembakau yang telah disulap menjadi lintingan rokok. Siap diisap.
Tiba-tiba aku merasa seperti makhluk kasat mata. Ia seperti tidak mengindahkan kehadiranku.
Tapi tak mengapa. Tatapan Guru Seneng membuatku merasa betah dan tenang. Perasaan itu aku rasakan sejak pertama kali bertemu dengannya. Waktu itu, sepulang membakar tembakau, aku menyaksikan bapak sedang menjamu seseorang yang memakai baju serba putih. Sebuah surban hinggap di pundaknya. Jauh terlihat dari pelataran gubuk, tatapan tamu itu sungguh meredakan. Kulitnya bersinar, berbeda dengan bapak yang sedang bercengkrama dengannya. Kulit bapak legam akibat paparan sinar matahari dan efek asap pembakaran tembakau.
Tamu itulah Guru Seneng. Sosok yang sedang kutemui saat ini. Sosok yang sedang mengisap lintingan tembakau. Aku yang duduk di antara dua sujud di hadapannya, memberanikan diri untuk sedikit maju. Tangan kiri aku sandingkan di paha yang menumpu tubuhku; tubuh yang menunduk ke depan dan tangan kananku terselip antara kedua paha.
"Mohon maaf Tuan Guru, Jamaah sudah menunggu," ucapku ragu dan mengulangi lagi.
Meskipun sangsi, kalimat tersebut harus kuucapkan. Alasannya, sedari tadi jamaah di langgar telah menunggu Guru Seneng untuk memimpin salat Magrib. Kalau aku pribadi, sih, tidak apa-apa menunggu dalam waktu yang lama. Sebagai khadim, aku telah mendedikasikan waktuku untuk Guru Seneng. Aku hanya khawatir kepada para jamaah, takut mereka akan bosan menunggu Guru Seneng. Menunggu Guru Seneng dalam benakku tidaklah membosankan sebagaimana menunggu urusan lain. Menunggu orang bayar utang misalnya, atau menunggu azan Magrib ketika bulan puasa. Tidak. Karena aku seorang khadim. Menunggu Guru Seneng tidak seperti itu. Sosok yang memiliki rambut putih seputih kapur itu terlalu mulia untuk disandingkan dengan kata bosan. Ia memiliki senyuman yang sayup. Ucapan yang keluar dari mulutnya selalu mengenai kebaikan. Itu yang membuat nyaman melihat dan mendengarkannya.
Laki-laki berumur setengah abad itu menurutku sangat andal memainkan peran sebagai bapak, khususnya bagi kami; masyarakat dusun. Ia dengan senang hati berangkat meninggalkan gubuknya yang beraroma balsam ini jika ada undangan untuk mengisi pengajian. Ia sudah melakukan hal serupa sejak pulang mesantren dari luar pulau. Selain merupakan sosok yang bersahaja, ia juga dikenal sebagai penceramah dengan penyampaian yang sangat bagus.
Suatu hari aku berkesempatan mengiringi Guru Seneng ke suatu pengajian. Ia memberikan ceramah kepada para jamaah dengan semangat dan suara menggelegar, persis suara Bung Tomo yang sering aku dengar di radio rumah. Iya, sangat mirip. Saat itu aku sempat menanyai bapak mengenai pemilik suara itu. Bapak menjawab itu adalah suara Bung Tomo ketika menyeru masyarakat Surabaya untuk berperang. Saat itu aku terkesima, suara bisa membuat orang berperang.
Ketika berceramah, Guru Seneng ibarat pesulap yang sedang menghipnotis penonton. Semakin menggelegar intonasi pengajian Guru Seneng maka semakin dalam para jamaah terhipnotis. Kadang ketika Guru Seneng memasukkan cerita-cerita jenaka dalam pengajiannya, gemuruh gelak tawa memenuhi langgar. Tak hanya itu, sering juga aku menyaksikan para jamaah menangis sejadi-jadinya jikalau Guru Seneng memberikan peringatan akan siksa kubur, malaikat Munkar-Nakir, api neraka, dan sakratul maut.
Aku mampu bercerita seperti ini, karena sebagai khadim, aku sudah hafal isi pengajian Guru Seneng. Sangat mudah bagiku, karena di beberapa tempat, Guru Seneng terbiasa menggunakan materi yang sama dan ia ulang terus menerus. Dalil-dalil yang ia sampaikan pun sudah di luar kepala. Cerita-cerita? Jangan tanya. Aku ingat kisah Abu Nawas membokongi Harun al-Rasyid. Aku tahu tempat Qarun menyembunyikan hartanya. Bahkan aku ingat adegan ketika Nabi Adam dilempar oleh Allah Swt. ke dunia selepas makan buah Khuldi. Buah Khuldinya di mana katamu? Aku ingat. Kalau laki-laki jadi jakun, kalau perempuan jadi gunung kembar.
"Tuan Guru, ya, tugasnya seperti ini. Ngasi ceramah. Ndak ada lain," ucapnya kepadaku ketika aku mengawalnya pada suatu pengajian di dusun sebelah.
Selain memerhatikan isi ceramah, diam-diam aku sering membaca materi pengajian Guru Seneng sebelum ia memulai aksinya.
"Darmaji, coba kamu ambil kertas isi pengajian Maulid, seingat saya, saya taruh di tas bagian kecilnya," perintah Guru Seneng.
"Oh, isi tulisan Arab itu, ya, Guru? Ndak ada Guru, terakhir saya lihatnya di bale, sepulang dari dusun kemarin malam."
"Wah, saya kayaknya lupa. Ndak apa-apa, mudah lah, mereka juga bakal senang kok lihat saya."
Guru Seneng berjalan ke mimbar, surban putihnya menggantung menutup punggung lekungnya. Tatapan mata itu menyapu langgar.
"Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah. Kira-kira satu tahun sebelum keluar dari mesantren, Tuan Guru saya pernah bercerita kepada saya. Sepulang beliau menunaikan haji, beliau bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad dan para sahabatnya di depan Kakbah. Kata Tuan Guru saya, wajah Nabi Muhammad lebih cerah dibandingkan dengan seluruh cahaya."
Saat itu, tidak ada suara. Hanya suara helaan napas Guru Seneng saja yang terdengar. Aku pernah berpikir tatapan Guru Seneng lah yang menyebabkan suasana demikian. Kalian tahu? Seperti tatapan bapak kepada anaknya. Meneduhkan. Tapi rasanya, tanpa menatap pun, Jamaah tetap terkesima dengan hanya mendengar suara Guru Seneng.
"Setelah Tuan Guru saya mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad memperkenalkan sahabat-sahabat yang ikut dengan beliau. Ada Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Nabi Muhammad memeluk Tuan Guru saya dan membisikan sebuah doa. Iya, Tuan Guru saya telah diijazahi doa oleh Nabi Muhammad!"
Jamaah makin terpana mendengar pengajian Guru Seneng. Mata dan telinga mereka seolah tak ingin lepas dari ceramah Guru Seneng. Sosok yang menyelempangkan surban putih itu telah memberikan rangsangan secara batin kepada para jamaah, seperti dokter yang memberikan obat kepada pasien yang sedang sakit parah.
"Apa doanya Tuan Guru?" sahut bapak yang duduk di barisan paling depan.
Sepintas lalu alis Guru Seneng mengerut, menambah jelas kerutan-kerutan di wajahnya. Ia tersenyum "Nantilah di bulan datang, di acara Isra Mikraj saya sampaikan, ya."
Beberapa jamaah kendur hatinya mendengar Guru Seneng menunda ijazah doa. Tapi cerita singkat sebelumnya cukup membuat jamaah terkesan juga geregetan untuk kembali mendengarkan lanjutan ceritanya.
Sampai saat ini, gaya dan materi ceramah Guru Seneng sangat mengesankan. Ia selalu menjadi pembicaraan seantero dusun. Sebab itulah ia sering diundang, bahkan tiada hari tanpa mengisi pengajian. Guru Seneng tidak pergi ke sawah karena ia tak sempat membawa sebilah celurit dan berjalan di petak-petak. Jamaah lebih membutuhkannya. Manusia-manusia suka tersesat, makanya Allah mengutus nabi pada suatu kaum, demikian isi pengajian yang ia sampaikan dan juga tertulis di kertasnya.
Jamaah ramai berdiri membuka jalan untuk Guru Seneng agar bisa keluar selepas pengajian. Hal itu biasa mereka lakukan agar bisa bersalaman dengan Guru Seneng. Sebagai bentuk pelayananku, aku sudah menunggu di depan pintu Masjid. Biasanya, aku merapikan posisi sandal Guru Seneng. Tangan kananku menggenggam tasnya, sedang tangan kiri membawa sebuah payung. Kadang ia berguna. Sewaktu-waktu, aku kibaskan payung untuk melindungi tubuh Guru Seneng dari butiran-butiran kecil langit jika ia turun. Di pelataran masjid, mobil antar jemput yang disiapkan masyarakat sudah anteng menuggu. Aku duduk di kursi tengah dan Guru Seneng di samping sopir. Saat-saat seperti ini, aku merasa bangga dengan diriku, jika yang lain berebut salaman dengan Guru Seneng, aku? Aku malah bisa duduk di belakangnya, membawakan tas, bahkan memijat kakinya selepas pengajian. Dulu Guru Seneng pernah bilang aku akan dapat pahala saat membuat orang alim senang.
"Darmaji, amplopnya, di mana? Sudah ditaruh di tas?" tanya Guru Seneng.
"Sudah Guru," jawabku spontan. Guru Seneng selalu menanyai hal itu kepadaku. Kertas-kertas berwarna merah dan biru mengintip dari dalam amplop.
"Nanti Isra Mikraj, kamu ikut saya lagi, ya, ke tempat yang tadi. Biasanya mereka tetap mengundang saya."
"Iya, Tuan Guru," jawabku menimpali ajakan Guru Seneng saat itu.
Kini, punggung itu melengkung semakin dalam. Aku sempat menangkap kecemasan di wajahnya. Siapa pula mengira wajah teduh itu bisa termakan usia. Guru mengeluarkan tembakau lagi dari kotak kayu jati, memilah, melinting, meletakkan rokok itu di antara dua bibir yang gelap. Guru tidak mengeluarkan kata apa pun. Mengisap lintingan selanjutnya dan terdiam lama.
Aku ingat, diam itu seperti diamnya Guru Seneng saat melihat Guru-Guru Muda di perayaan Isra Mikraj minggu lalu. Beberapa Guru Muda diundang masyarakat untuk mengisi pengajian. Biasanya Guru Seneng seorang. Mereka lebih muda sehingga kelihatan segar dibanding Guru Seneng.
Acara dibuka dengan grup hadrah yang melantunkan selawat dan Guru Seneng duduk di panggung sembari merapikan sorbannya. Jamaah kasak-kusuk menunggu ceramah. Barangkali mereka ingat janji Guru Seneng untuk memberikan ijazah beberapa bulan lalu atau mungkin mereka lebih penasaran pesona guru muda. Ah, tidak mungkin. Aku rasa mereka masih penasaran doa yang dijanjikan Guru Seneng. Mereka menebak doa yang akan diijazahkan berisi doa agar cepat kaya atau agar kebal. Aku pun tidak tahu. Karena kertas kemarin tidak sempat aku baca, makanya aku juga sangat semangat menunggu momen ini. Ceramah berjalan lancar, jamaah terkesima, tapi gemuruh tepuk tangan lebih riuh saat guru-guru muda mulai mengeluarkan suaranya.
Sebelum berangkat, Guru Seneng menyinggung perihal jumlah Guru yang sudah banyak bermunculan di masyarakat. Jadinya aku tidak terkejut, kurasa Guru juga tidak terkejut, siapa pula yang mengira di malam Isra Mikraj apa yang dikatakan Guru betul terjadi,"Sudah empat acara saya ndak diundang ini, ndak seperti biasanya. Cepat siapkan tas saya Darmaji, jangan sampai telat. Sekarang tambah banyak pembeli, ya tambah banyak juga penjualnya," ucapnya sebelum kami bertolak ke lokasi pengajian.
Aku hanya salah menangkap makna guratan wajah Guru Seneng. Ia tentu tahu bahwa Guru-Guru Muda itu memiliki cara baru yang lebih disenangi oleh masyarakat. Materi mereka telah mengikuti perkembangan zaman dan lebih beragam. Bahkan karena mesantren di tempat yang lebih jauh dan dengan waktu yang lama, mereka barangkali menguasai ilmu agama lebih dalam dibanding dirinya. Guru Seneng merasa posisinya bisa saja tergantikan.
"Sesuai janji saya. Saya akan memberikan doa yang Nabi Muhammad berikan kepada guru saya ketika beliau bertemu dengan Nabi di dalam mimpi."
"Doanya adalah …."
Kini jamaah terdiam.
Apa? Doanya kalian bilang? Tentunya tidak akan aku ceritakan kepada kalian. Guru Seneng mengatakan jika ada orang yang menginginkan doa itu, maka harus datang dahulu ke pengajian-pengajian selanjutnya. Kalau mau, datang saja kepadanya. Begitu pesan Guru saat menutup ceramahnya di peringatan Isra Mikraj. Aku pastikan kalian mendapat doa itu. Kalau tidak dapat, mungkin kalian harus mengundang Guru Seneng mengisi pengajian dulu.
"Bagaimana menurutmu ceramah saya, masih bagusan saya kan?" ucap Guru Seneng meyakinkan diri sendiri. "Sekarang satu dusun saya perhatiin sudah punya masing-masing guru. Bahkan bisa memiliki lebih dari satu guru. Bisa-bisa sawah di kebun yang ngerjain bukan petani lagi ini," ucap Guru sambil menyandarkan punggung di dinding gubuknya. Kakinya ia luruskan karena akan kuoleskan balsam. Sebagai khadim, aku tidak begitu memahami apa yang sebenarnya Guru Seneng cemaskan. Kepalaku mengangguk-angguk saja seperti kepala burung kakaktua. Padahal, aku tadi sempat terkesima saat seorang Guru Muda melantunkan selawat di tengah ceramahnya. Suara selawat bergemuruh memenuhi lapangan. Guru Seneng tidak demikian.
Itu ceritaku minggu lalu. Cerita yang lain, aku ceritakan nanti malam kalau ada undangan lagi. Sekarang aku masih menunggu Guru Seneng menghabiskan rokoknya. Bau khas balsam sedari tadi masuk sela-sela rongga hidungku. Guru Seneng belum juga tampak bersiap-siap, padahal malam sudah mulai menampakkan punggungnya dan bulan akan mengulum matahari yang masih nyantol di waktu Magrib. Terus saja ia mengisap rokok tembakau yang dilintingnya. Kini, gerakannya disambi dengan membaca kertas berisi ceramah yang sering ia sampaikan. Aku tahu itu teks ceramah, karena aku yang bertugas menyimpan kertasnya di tas kalau ia akan mengisi pengajian. Tidak mungkin aku salah lihat. Kertasnya sudah menguning seperti warna kulit jagung yang ia jadikan bungkus lintingan rokok.
Guru senang terus saja membolak-balik kertas itu. Memerhatikannya. Kemudian membaca ulang. Memerhatikan. Membaca lagi. Dalam beberapa saat, ia terus saja melakukan itu. Seperti ada sesuatu yang mengepung matanya untuk memandang sekitarnya. Termasuk memandangku. Lagi-lagi, aku seperti makhluk kasat mata. Seperti ada sekelabat bayangan menakutkan yang menghantui pikiran Guru Seneng. Itu nampak dari air muka dan matanya yang sayup.
Aku tidak enak dengan jamaah yang sudah menunggu kabar dariku. Namun, sekarang aku lebih tidak enak ke Guru Seneng. Aku tidak enak jika harus berkata sesuatu lagi kepadanya. Apalagi meninggalkannya. Apa perlu aku bilang "Guru, saya balik dulu, mau ngasih tahu jamaah kalau Guru sedang tidak enak badan." Aduh, aku tidak bisa.
"Undangan pengajian hari ini dari dusun-dusun sebelah, belum datang lagi?" tiba-tiba pertanyaan itu menusuk ke ingatanku. Aku tidak bisa menghindar.
"Sudah datang belum?" tanya Guru Seneng sekali lagi. Seolah-olah ia menginginkan undangan itu datang.
"Oh, tidak ada, ya. Ya sudah biarin saja. Mungkin guru yang lebih muda sudah mengisi di sana," Guru Seneng mematikan bara rokok tembakaunya, "Kalau gitu saya istirahat, ya, kamu saja yang jadi imam salat Magrib."
Aku terkejut mendengar hal itu. Tidak biasanya Guru Seneng bersikap seperti ini. Apa dia lupa lagi, ya. Padahal aku kan tidak hafal ayat pendek, malah disuruh jadi imam.
________
Penulis
Lalu Azmil Azizul Muttaqin, lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sedang menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar, Kairo, Jurusan Linguistik Umum. Aktif berkegiatan di Komunitas Art Theis de Cairo.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com