Puisi Maya Wulan
Kampungmu, Muara Baru Rinduku
Aku ingin mengenal kampungmu
seperti aku hafal jejak riwayat
tiap jalan setapak kampungku.
Aku ingin merindukan kampungmu
seperti aku jadikan kampung halamanku
bahan lamunan rindu perantau
sebagai menu
tiap lebaran tiba.
Aku ingin kampungmu memberiku cinta ibumu
sepekat cinta ibuku di tanah lahirku. Cinta ayahmu
sekental cinta ayahku menjagaku.
Aku ingin menggali sejarah tanah kampungmu dan menanaminya
dengan cita-cita kita.
Aku ingin menangkap deret kenangan lawas
di rumah masa kecilmu. Merekam benak
seluk-beluk jejak tawa mudamu satu persatu,
seperti aku tahu semua letak
tahi lalat di tubuhmu.
Feb 2023
Tahanan Rantau
Bagaimana caraku mencintai kampungmu?
Jika deru kota ini adalah
pakaian sehari-hari kita. Gaduh. Rindu
sunyi kampungmu.
"Tak berdebu tubuh,
takkan kampung sampai dijenguk," katamu.
Sedang tidurku, telah sesak
bayang lika-liku lereng gunung kampungmu.
Samar, mekar gambar riuh pasar yang
tiap Rabu kian kau rindu. Jadi
kisah seru berulang di mulutmu. Mataku telah tak sabar menanti waktu
bertemu Rabu di kampungmu. Kau
menyebut tahu bunting, lontong pecel, juga
anak-anak sekolah mencuri waktu ke sana.
Bagaimana caraku membaca sapa ayah ibumu?
Untuk kuterjemah lalu kuceritakan pada
ayah ibuku di kampungku.
Di rumputan rumah, kau ajak aku rebah.
Kau kenakan langit malam kota
sebagai selimut lelapmu, lelapku.
Malam-malam kita.
Aku bermimpi
kita adalah bintang, ayah ibu bulannya. Kita
berjauhan tapi saling melihat.
"Tak luruh cinta orangtua
di badan jarak yang tercipta," katamu.
Feb 2023
Melawan dengan Benar
Apakah ini kita?
Mental yang terpental pental
Terjungkal di sandungan kaki sendiri
Apakah jiwa kita jiwa pendendam
yang jika terluka
maka semuanya harus ikut merana
Apakah marah kita marah yang kerap salah arah
berang pada yang satu
namun mengamuk pada segala
Hancurkan!
Otot melawan otot
Teriakan bersambung jeritan
Batu menyusul batu
Sepi menjelma api
Panas hati kita
begitu sangar membakar
toko toko, rumah rumah
menghanguskan banyak harapan
Apakah kita kumpulan luka yang lupa
pada genangan air mata serupa
pada wajah wajah ketakutan
membaca kenangan kehancuran
dari setiap sejarah perlawanan
Otot kita untuk melawan keangkuhan
Teriakan kita menyerang kecurangan
Batu adalah kerasnya keteguhan kita
memperjuangkan kebenaran
Api adalah tekad di dada
semangat keberanian yang menyala nyala
dan terus menyala
sebagai cahaya
di dalam jiwa
dan juga kepala
di dalam otak kita
Kita harus bertahan
bergenggaman tangan
bersuara lantang
tanpa harus membakar dan terbakar
yang tak layak tersambar
Melawan dengan benar.
Apakah kita bisa?
2020
_________
Penulis
Maya Wulan, penulis kelahiran Bontang, Kaltim, kini berdomisili di Yogya. Menulis cerpen, novel, dan puisi. Buku tunggalnya novel Swastika (Grasindo 200), Kumcer Membaca Perempuanku (CWI JKT 2003). Karyanya tersebar di media lokal dan nasional, dan berbagai antologi bersama.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com