Cerpen Dimas Bima Shofyanto
Umpatan tak sengaja keluar dari mulut saya, karena tiba-tiba saja berembus angin kencang yang sangat kuat. Begitu kuatnya hingga saya tak berkeberatan untuk menyebutnya sebagai badai. Yang entah karena alasan apa, terasa seperti hendak menerbangkan saya yang sedari tadi hanya duduk di atas kursi kayu di tengah-tengah taman kota ini.
Daun-daun terlepas dan berhamburan dari genggaman tangkai. Bulatan-bulatan kaca yang mengandung bohlam kuning di atas tiang besi juga bergemeretukan seperti hendak tercerabut dari tempatnya. Saya tetap berpegangan erat pada kursi kayu taman yang saya duduki, yang anehnya masih kokoh sekali berdiri dengan lantang di atas tanah.
Keanehan juga terjadi pada beberapa lembar uang yang tergeletak beberapa meter di hadapan saya. Beberapa lembar uang ini hanya berkibar-kibar sudutnya tanpa terbang ke udara, padahal angin badai yang menerpanya adalah angin sama yang hampir menerbangkan saya.
Cukup lama angin badai ini menerjang saya, sampai-sampai cengkeraman tangan saya kepada pinggiran kursi taman mulai meregang. Untunglah sesaat sebelum saya melepaskan tangan saya, angin sudah terlebih dahulu berhenti berembus. Setelahnya, saya hanya bisa tertegun lama memandangi tanah sambil mencoba memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Saya mencoba mengangkat kursi kayu taman yang saya duduki, barangkali tiap kakinya memang dipasak jauh ke dalam tanah, sehingga angin badai yang tiba-tiba menghantam itu tak bisa dengan mudah menerbangkannya. Akan tetapi, baru saja saya angkat dengan satu tangan, kursi kayu taman yang ternyata sudah keropos di beberapa bagian ini langsung terangkat ke udara. Sedangkan saat saya letakkan kursi itu kembali ke tempat semula, setiap bagian dari kursi itu langsung rontok satu per satu. Menyisakan sebatang kayu yang masih saya pegang sambil terbengong.
Alhasil pikiran saya yang sudah berantakan, berubah menjadi semakin amburadul. Bagaimana mungkin kursi taman yang begitu ringkih bisa menahan desauan angin yang kencangnya setara badai?
Kalau saja angin yang bertiup itu adalah angin biasa, maka keanehan yang menimpa kursi ini adalah kejadian yang benar-benar mustahil. Akan jadi berbeda ceritanya bila ada makhluk atau entitas entah apa yang bisa mengendalikan angin. Yang bisa memilih serta memilah, objek mana kiranya yang ingin diterbangkan dan mana yang lebih baik duduk manis di tempat semula saja. Meski hal tidak masuk akal semacam itu saya rasa, hanya ada di kartun tontonan anak-anak yang berlatar belakang dunia dongeng, atau tertulis pada kisah nabi-nabi terdahulu yang dianugerahi mukjizat saja. Hal ajaib semacam itu tidak mungkin terjadi bila tidak disebabkan oleh dua alasan ini. Saya sadar saat ini sedang berada di dunia nyata dan bukan dunia dongeng, maka yang tersisa hanyalah alasan yang kedua. Bagaimana kalau ternyata saya adalah seorang nabi baru karena diperlihatkan keajaiban seperti ini?
Namun, saya segera merasa bodoh dan menepis pertanyaan yang muncul dari kepala saya. Sebab nabi terakhir sudah menyempurnakan agama dahulu sekali, bahkan sebelum saya dilahirkan di dunia. Tidak mungkin Tuhan tetiba tidak konsisten dengan firman-Nya dan mengutus nabi baru, meski keadaan zaman sekarang memang sudah terlampau bejatnya.
Lalu apa? Apakah hal ini terjadi dikarenakan ada Malaikat iseng yang sekadar ingin bermain-main dan mengerjai saya? Apakah ada Jibril di atas pohon, yang sedang tertawa terbahak-bahak melihat kebodohan sekaligus kebingungan saya?
Toh, saya pernah mendengar bahwa Jibril tidak lantas pensiun ketika tugasnya menyampaikan wahyu kepada nabi terakhir selesai dilaksanakan. Kabarnya beliau masih berputar-putar di dunia untuk mengamati dan sesekali nimbrung dengan kehidupan manusia yang terkadang konyol ini.
Terlepas dari asumsi liar saya yang barangkali kejauhan, pandangan saya kini jadi teralihkan kepada berlembar-lembar uang kertas yang tergeletak di hadapan saya. Saya menaruh kecurigaan yang besar pula terhadap uang ini. Karena selain kursi yang saya duduki, uang ini juga tidak bergeming seinci pun dari tempatnya.
Anehnya, sekalipun banyak keanehan yang meliputi, saya tetap berhasrat untuk menyambar berlembar-lembar uang yang tergeletak ini. Hidup sebagai pengangguran tidak membiarkan saya memegang uang sepeser pun, oleh karena itu rezeki yang tiba-tiba menghampiri saya alangkah baiknya tidak saya sia-siakan. Saya sudah terlebih dahulu mengitari seluruh sisi taman ini, dan tidak mendapati satupun orang berwajah cemberut yang mencari-cari uangnya. Meski saya masih sedikit terganggu oleh pikiran saya mengenai Jibril tadi.
Saya menjadi takut apabila uang ini ternyata adalah bentuk ujian keimanan dari Allah kepada saya. Karena akan menjadi sangat masuk akal bila Allah ingin menguji saya dengan godaan yang sebegininya melalui Jibril. Lantas nanti bila saya tidak tergoda untuk mengambil uang yang tak jelas milik siapa ini, maka Jibril akan menyamar menjadi seorang nenek tua atau pengemis lusuh yang mengetuk pintu rumah saya, yang kemudian memberkati saya dengan kekayaan yang nauzubillah.
Sayangnya bayangan saya ini sama sekali belum pasti. Tidak ada hal yang bisa dijadikan indikator untuk memastikan kebenaran dari bayangan ngawur saya. Saya tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk melihat hal-hal ghaib, apalagi sampai memergoki Jibril yang barangkali nangkring di atas pohon beringin sambil tertawa menunggu umpannya saya ambil.
Semakin saya pikirkan, semakin saya merasa pikiran saya sejak tadi adalah pikiran yang sudah menuju tak waras. Toh, sekalipun Jibril belum pensiun, tidak mungkin malaikat seagung dirinya menghabiskan waktu berharganya untuk menguji seorang hamba seperti saya, yang salat lima waktu saja belum dapat saya lakukan dengan sempurna.
Kebuntuan pikiran saya akhirnya mendorong saya untuk pulang terlebih dahulu dan coba mendiskusikan permasalahan ini dengan istri saya. Karena tentu saja dia lebih berpengetahuan mengenai agama ketimbang saya. Dia pasti mengetahui apa yang harus saya lakukan terhadap uang yang saya temukan ini.
“Kenapa tidak diambil saja, Pak. Jumlahnya memang berapa?”
Saya terkejut dengan reaksi istri saya yang malah mengamini untuk mengambil uang itu. Wajahnya malah berbinar seperti matahari ingin mencuat dari kilau matanya. Rambutnya yang bergelombang berkibar-kibar sedikit sebab tubuhnya bergoyang kegirangan. Keterkejutan saya akhirnya saya tanyakan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, “Bukannya dulu Ibu pernah bilang kalau barang temuan itu hukumnya tidak jelas, dan mendekati keharaman ya?”
“Ya karena tidak jelas hukumnya, maka hukum barang temuan itu menjadi bergantung dengan kondisi kita saat menemukan, Pak. Kan Bapak sudah dua tahun ini menganggur, setiap hari kerjaannya hanya tidur-bangun dan pergi ke taman. Barangkali itu memang rezeki yang diberikan Allah kepada kita. Lumayan untuk tambah-tambah belanja besok, uang yang Ibu dapat dari mengajar sudah benar-benar mau ludes.”
Saya tercenung memikirkan betapa menderitanya istri saya. Rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi kewajiban saya sebagai kepala keluarga serta-merta menyerbu hati saya. Maka setelahnya saya benar-benar tak ingin beromong banyak. Saya segera berlari tergopoh-gopoh ke taman untuk mengambil uang tersebut.
Beruntung uang itu masih tergeletak di sana, berkibar-kibar tapi tak beranjak sedikit pun dari tempatnya semula, seperti memang sudah tertancap pada tanah itu dan membaur jadi satu dengan bumi. Maka uang itu saya ambil dengan segera. Saya berlari kembali ke rumah untuk memberikan uang itu kepada istri agar dapat dihitung bersama.
“Loh, diambil lagi, Pak?” raut wajah istri saya terlihat bercahaya. Tangan saya dan tangan istri sudah bergemetaran tidak sabar untuk segera membolak-balik lembaran uang yang saya temukan itu, yang sayangnya terhalang oleh ketukan lirih yang terdengar dari arah pintu.
Di balik pintu, saya temukan Paimin berdiri dengan map kertas berwarna krem yang diselipkan di antara ketiaknya. Peci hitam yang dikenakannya miring ke sebelah kanan seperti biasa. Sepotong sarung lusuh juga tersampir dengan rapi melintangi dadanya.
“Ada apa, Min? Tumben siang-siang begini. Ayo silahkan masuk dulu.”
“Aduh, Pak, tidak usah repot-repot. Saya cuman mau menyampaikan pesan Pak Lurah.”
Paimin adalah orang yang bisa dianggap sebagai tangan kanan Pak Lurah. Setiap urusan yang Pak Lurah enggan mengurusinya langsung, maka yang terjun adalah Paimin. Seperti juga pada saat masa-masa kampanye dahulu. Pagi buta Paimin sudah mengetuk pintu warga dan berdiri dengan senyum, peci hitam yang dimiringkan, juga sarung kotak-kotak yang melintang di dadanya. Menawarkan satu-dua lembar uang, agar warga bersedia memilih orang yang menyuruhnya di pemilihan yang akan datang.
“Pak Lurah meminta para warga untuk berkontribusi menyumbang iuran proyek pembangunan jalan, Pak.”
“Loh, bukannya sudah ada anggarannya sendiri dari Pemerintah Kecamatan terkait pembangunan jalan?”
“Iya, memang sudah Pak. Tapi …”
“Tapi?”
Paimin menggaruk-garuk peci hitam miring yang bertengger di kepalanya, seakan gatal bisa menghinggapi peci yang pinggirannya sudah menguning itu.
“Uangnya sudah habis dipakai Pak Lurah untuk pelesir sekeluarga, Pak.”
“Hah? Jadi sekarang warga yang bertanggung jawab atas tindakan korupsi Pak Lurah?”
“Saya cuman menyampaikan mandat, Pak. Pemerintah Kecamatan sudah memperingatkan melalui Pak Lurah, kalau dalam waktu seminggu perbaikan jalan tidak segera diproses, maka seluruh warga desa ini akan mendapatkan sanksi dan dipersulit birokrasi administratifnya.”
“Innalillahi.”
Istri saya yang sedari tadi hanya menyimak di belakang, kini ikut mengernyitkan dahi dan bertanya kepada Paimin, “Memang Pak Lurah minta berapa untuk iuran, Min?”
“Tujuh puluh ribu, Bu.”
Saya dengan segera menyabet lembaran uang yang saya temukan itu dari meja. Istri saya dan juga Paimin mendekat penasaran. Saya berkali-kali menelan ludah karena suasana tiba-tiba saja terasa menjadi begitu menegangkan.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Beberapa lembar uang yang tadinya terlihat banyak sekali, saat saya hitung ternyata hanya berjumlah tujuh puluh ribu. Istri saya memandangi uang yang saya pegang dengan pandangan sayu, kepalanya perlahan mengangguk mencoba mengikhlaskan rezeki sesaat yang sudah di anugerahkan Allah kepada kami. Lantas dengan berat hati saya memberikan keseluruhan uang temuan itu kepada Paimin.
“Maaf, Pak,” Paimin meminta maaf dengan tatapan yang begitu iba, wajahnya seperti hendak mengatakan juga bahwa dirinya tak tega. Dia seperti dapat merasakan betapa berharga uang yang sebenarnya uang temuan itu bagi kami. Paimin pun mengangguk takzim lantas berbalik badan dan melengang pergi.
Sampai tiba-tiba saja terdengar lengkingan tawa yang begitu nyaring dan bergemuruh dari arah Paimin. Tubuh Paimin menjadi besar, semakin besar, dan pada akhirnya meledak menjadi gumpalan cahaya. Gumpalan cahaya itu bergetar-getar di udara dan menciptakan angin kencang, yang tetiba saja berembus menghantam saya beserta istri yang tertegun sambil melongo.
Yogyakarta, 30 Januari 2023
________
Penulis
Dhimas Bima Shofyanto, mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com