Cerpen Santama
Di
pantai, sebelum mendapat pesan celaka yang dikirim seseorang yang nomornya tak
ia simpan, tokoh kita tengah duduk santai bersama teman-teman lelakinya, tak
pernah bisa menduga bahwa di hari itu ia akan mengalami peristiwa luar biasa
yang mengguncang jiwanya.
Minggu
sore itu adalah kebersamaan penghabisan bagi mereka. Hanya saja, tentu, tak
seorang pun dapat menebak atau menangkap firasat. Tokoh kita dan teman-temannya
asyik bernyanyi diiringi petikan gitar bermerek Yamaha sambil mengagumi kepak
burung camar, meski agak kurang konsentrasi menyanyikan lagu-lagu indie
karena kerap saling tunjuk awan, sibuk menebak bentuk apa yang kiranya disusun
awan dalam semburat merah itu di cakrawala.
Angin
berbau ganggang bercampur asap rokok Surya16 selalu berubah agak harum manakala
membentur tubuh dan mengibaskan rambut hitam panjang tokoh kita. Sesekali ia
mencuri pandang ke arah satu lelaki di antara ketiga temannya itu. Lelaki yang
mengenakan kaus bergambar Soe Hok Gie itu, dengan pesonanya, telah membuat tokoh
kita diam-diam memendam cinta, entah sejak kapan rasa itu tumbuh liar di
hatinya, tokoh kita tak tahu pasti.
Seperti
seseorang yang sadar dirinya dikuntit, lelaki yang tengah memetik gitar itu
lalu tiba-tiba tersenyum saat tokoh kita telat mengalihkan pandang darinya,
suatu senyuman sebagai bagian dari sekian pesona lelaki itu yang membuat ombak
berdebur seakan-akan seirama dengan dada tokoh kita yang mulai berdebar
(penyebab pertama dari peristiwa). Seperti seorang penguntit yang ketahuan,
perasaan tokoh kita benar-benar tak karuan, pipinya lantas semerah langit
senja, senja terakhir yang bisa ia lihat, potret, dan unggah ke media
sosialnya.
Merasa
tak nyaman (penyebab kedua dari peristiwa), kegugupan itu hendak dilarikannya
dengan berbohong ingin mencari toilet, dan toilet di pantai itu berada cukup
jauh dari tempat mereka duduk tanpa alas di atas pasir putih. Tokoh kita saat
itu benar-benar mencari lalu memasuki toilet padahal tak hendak melakukan apa
pun di sana, kecuali hanya demi teman-temannya tak melihatnya salah tingkah
lalu menaruh curiga yang akan membuatnya merasa malu. Percayalah, salah tingkah
adalah gejala spontan yang runyam, mendekatkan penderitanya ke
tindakan-tindakan menggelikan, bahkan kadang jauh lebih buruk dari itu. Kalau
saja teman-temannya saat itu tahu bahwa mereka akan kehilangan ia, sudah tentu
akan mereka cegah kepergiannya itu, dan seandainya tokoh kita pun tahu bahwa
ketidaknyamanannya itu justru mengundang bencana, tentu ia akan lebih memilih
menanggung malu, betapa pun menyiksanya.
Di
dalam toilet, selepas bingung hendak melakukan apa dan pada akhirnya berpikir
bahwa ia harus membasuh wajah berharap semu di pipinya itu musnah, entah kenapa
tokoh kita merasa ingin memeriksa ponselnya. Selanjutnya ia melihat pesan dari
seseorang yang selalu tak ia balas pesan-pesannya (penyebab ketiga dari
peristiwa, tapi sesungguhnya yang paling pokok). Itulah pesan celakanya.
Seakan-akan
kejatuhan rasa penasaran dari langit di balik asbes toilet yang berlubang, saat
itu tokoh kita tergerak ingin membuka dan membaca apa kiranya isi pesan yang
dikirim empat jam lalu itu, dan tak ada yang bisa menghentikan tokoh kita untuk
tak membacanya. Dibukanya pesan terbaru dari nomor yang tak sudi disimpannya
itu.
Selepas
melihat isi pesan itu tokoh kita mengernyitkan dahi dan sebentar memaki-maki,
ternyata isinya hanya sederet kalimat atau entah apa dengan kosakata yang entah
dari bahasa mana yang sulit diartikan dan bunyinya begitu asing. (Tanpa
bermaksud main-main, isi pesannya sengaja tak ditampilkan demi keselamatan para
pembaca).
Akan
tetapi, celakanya, tokoh kita coba melafalkan pesan aneh itu, dan serampung
membacanya, yang nanti akan membuatnya sangat menyesal. Tak ada yang dapat
menduga sebelumnya, sungguh tak ada yang dapat menduga, ia tak akan pernah
dapat lagi menjumpai teman-temannya di pantai itu, juga di mana pun.
Teman-temannya
lama menunggu, tetapi tokoh kita tak juga kembali sehingga mereka mulai
kelimpungan mencari-cari. Mereka tak akan pernah bisa tahu, bahwa sehabis
membaca pesan aneh itu tokoh kita tak lagi berada di toilet, bahkan tak lagi
berada di pantai, dinding toilet itu (percaya atau tidak) tiba-tiba mengangakan
sebuah lubang gelap-gaib yang menarik-narik, menyerap suara-suara, menghisap
penuh kekuatan, membuat tubuh tokoh kita dan segala yang ada di toilet
sepenuhnya terseret pusarannya.
***
Tokoh
kita perlahan terjaga dan membuka mata, lalu benar-benar terperanjat menyadari
dirinya sedang duduk memeluk lutut di ruang tengah entah rumah siapa, ia tak
tahu. Selain sekujur tubuh tokoh kita, lantai ruang tengah itu juga basah oleh
air yang tumpah, dan di sampingnya ada sebuah gayung berbentuk love dan
daun-daun kering. Bagaimana bisa aku tiba-tiba berada di tempat asing dalam
keadaan kuyup seperti ini. Tokoh kita akhirnya teringat kepada lubang
gelap-gaib yang tiba-tiba muncul di dinding toilet pantai yang menghisap tubuh
dan gayung dan daun-daun kering di sekitarnya, termasuk air yang tumpah
membikin lantai basah.
Tokoh
kita meragukan peristiwa aneh yang dialaminya dan bersikeras membuktikan bahwa
segalanya tak nyata, tapi gagal tentu saja, lalu jadi panik membayangkan
sesuatu yang buruk dan jahat. Ia menghadap tepat ke utara, saat sesuatu tak
kasatmata memalingkan secara kasar kepalanya ke arah timur, hingga pada jarak kira-kira
sepuluh jengkal kera dewasa tokoh kita dapat melihat: sebuah kamar milik
seseorang yang mengiriminya pesan aneh itu, hanya saja tokoh kita tak tahu ia
siapa.
Di
malam-malamnya yang sunyi dan muram, sehabis dibikin patah hati berkali-kali,
seseorang itu mengenyahkan kepedihan dengan coba memahami segala, membaca apa
saja, baik yang gelap-terang, mulia-terkutuk, baik-buruk, segala yang mistis
dan berangsur-angsur dilupakan, naskah-naskah kuno yang ditemukannya di almari
tua milik sang kakek yang telah tiada.
Seseorang
itu kerap terlempar ke absurd imajinasi tak bertepi, terdampar ke suatu
perasaan yang entah, kemudian seringkali tersungkur berakhir pada pertanyaan
berulang tentang hidup, nasib, dan takdir: tiga serangkai yang menurutnya
teramat keparat dan sungguh patut dikutuk itu.
Menit
berselang, energi aneh sepenuhnya memelintir tubuh tokoh kita, disertai sebuah
sentakan yang membuatnya seketika dibikin bangkit dari duduk untuk kemudian
diseret masuk. Astaga, ada apa denganku? Tokoh kita menangis dan makin merasa kacau.
Mematung di hadapan muka pintu, tokoh kita berusaha menjerit, sadar bahwa jiwa
dan raga sedang dikendalikan oleh semacam kekuatan beraura kematian, tapi
mulutnya tak mengeluarkan suara sama sekali. Kengerian perlahan merundungnya.
Bibir tokoh kita sebisanya melafalkan ayat kursi yang tak terlalu dihafalnya
itu, sementara isi kepala gaduh bertanya-tanya. Kumohon, siapa pun, berhenti
melakukan ini.
Tatkala
mulut mengatup dan teriakan ketakutan tanpa suara itu sebentar mereda,
tiba-tiba tanpa diniatkannya tangan halusnya mendorong pintu tanpa kenop yang
terdapat poster Joker tengah menyeringai, lalu kaki mulus tokoh kita melangkah
masuk meski tak digerakkannya sama sekali, kendati ditahannya agar berhenti,
tetapi sia-sia belaka.
Setelahnya,
dalam ruang temaram oleh cahaya lampu bohlam, tokoh kita melihat ada tirai
semerah darah, dinding yang pucat tanpa cat, kasur telanjang tanpa ranjang. Di
luar kehendaknya sendiri, pikiran tokoh kita membayangkan Iqbal Ramadhan
seandainya berbaring di kasur butut itu dengan ubun-ubun mengarah selatan,
dapat dipastikan bahwa letak jendela berada tepat satu uluran tangan di atas
sebelah kanan dada Iqbal Ramadhan.
Tak
tokoh kita lihat benda lain semisal ilustrasi Jack The Ripper sang pembunuh
berantai dalam bingkai, majalah yang niscaya membikin bocah SMP sibuk
membetulkan kancut apabila melihat gambar-gambar di dalamnya, televisi jadul
kembung bikinan orang-orang Asia Timur, patung tujuh kurcaci sedang murung,
toples berisi air keruh beraroma anyir ikan, gitar yang senarnya putus dua,
remahan rengginang bekas tikus kotor rakus seperti koruptor, bercak tahi cecak,
buku-buku penuh debu atau apa pun itu, selain sebuah asbak kayu berbentuk
lutung yang menduduki selembar kertas.
Tokoh
kita memang sudah tak memiliki kuasa atas raganya, sehingga kembali kaki
bersepatu itu melangkah sendiri mendekati selembar kertas tersebut, kemudian
gemetar tangan kanannya meraih paksa. Sungguh ironi, sekuat apa pun tokoh kita
memejamkannya, nyatanya mata sembapnya itu malah memelotot dan, perlahan tanpa
ingin, tokoh kita mulai membaca tulisan di kertas itu.
[Terima
kasih, ya, atas pengabaiannya. Biar tidak mati penasaran, akan kuberi tahu,
bahwa pesan yang pasti cuma kamu baca seperti biasanya, yang tak kamu pahami
artinya, tapi pasti kamu lafalkan itu, adalah penyebab kamu bisa terseret ke
sini dan mengalami semua ini. Siap-siap, ya, sebentar lagi kejutan akan
datang!]
Seperti
tahu bahwa tokoh kita sudah membacanya, kertas itu tiba-tiba terbakar sehingga
dilepas oleh tokoh kita, lantas melayang jatuh ke lantai, hangus dan mengasap
hitam. Ketakutan tokoh kita makin menjadi-jadi, saat daun jendela di balik
tirai merah itu berdentam-dentam, lalu angin menyebabkan tirai itu sontak
tersibak dan lampu bohlam pun padam!
________
Penulis
Santama lahir dan besar di Kab. Pandeglang. Pemula kelas berat yang sedang belajar menulis.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com