Puisi Anindita Buyung
Musim
Musim apa hari ini?
Seorang pemuda berjalan dari entah
mendekatkan muka pada kuali yang kosong dan lumrah.
Lengangnya jalur-jalur pedestrian
hanya dihinggapi debu sepanjang pandang.
Mata-mata yang nelangsa.
Di sana ia temui popok dan susu anaknya
serta beberapa harapan guna melunasi gaya.
Di bawah sayapnya terbingkis mantra:
rapi juga manis, layaknya potret para artis.
Sementara beberapa pasang mata
sembunyi di rerumputan; merekam peristiwa-peristiwa.
Apa kabar hari ini?
Seorang lelaki baya meratapi nasib
seluruh barang dagangannya raib
bersulih segepok rupiah yang lebih tebal dari biasa.
Sebab terkadang peluh dan kantung celana
hanya menjelma keluh di raut wajahnya.
Seorang pemuda datang tebar pesona.
Dengan tabir seumpama para malaikat,
dibacakanlah mantra pengenyang perut istri dan anaknya.
Di rumah, sembari merapalkan munajat,
ia tak pernah tahu bahwa esok akan diabai masa,
dan waktu yang dicatat lesap diburai udara.
(Magelang, 2023)
Yang Mengabaikan Waktu
Yang mengabaikan waktu
adalah kopi yang lupa kau seduh.
Aroma yang menyelusup;
pintu yang masih tertutup.
Sudikah kau buka,
sekadar duduk dan berbagi aroma?
Kepada diksi yang membirai mata,
ternyata kata-kata amat lantang.
Bahkan, teramat kencang di telinga.
Henti di sana; urung ke jiwa.
Dikau dan debat semantik di ujung hari,
memantik makna yang terperi arti.
Barangkali nyaris mustahil
membuka hatimu dengan kata-kata.
Hati terasuk oleh rasa,
sedang kata tak jelas inderanya.
Buatmu menanti terlalu lama
adalah kebodohanku selanjutnya.
Yang melalaikan waktu
adalah senja yang lupa kau bingkai.
Nuansa yang menghampar;
jendela yang berpendar
Maukah kau nikmati,
sekadar rebah dan berbagi memori?
(Magelang, 2023)
Di Lorong-Lorong Gelap Kutemui Kau Kembali
Di lorong-lorong kutemui jalan yang gelap.
Lampu-lampu tak pernah kunyalakan.
Begitulah, supaya aku tak pernah lagi menempuhnya.
Karena di sana, di balik kegelapan
banyak pasang mata yang menyayangkan
langkah kakiku yang kembali datang.
Di balik tudung saji pernah bersembunyi kemauan:
rencana yang basi tak sempat dihangatkan.
Sementara meja mulai keropos digigit usia,
meski perbincangan masih terlampau belia.
Pada sepiring nasi dan sesuap harapan.
Di sana pernah ada perbincangan tentang mimpi.
Yang pernah membentur keras hati Bapak.
Yang pernah meleleh basah di pipi Mamak.
Yang bergeming, lalu menepi dari pulang.
Jauh pergi, berkeras merawat mimpi.
(Magelang, 2023)
Tempat Bersemayamnya Ingatan
"Pulanglah dengan membawa cerita
kepada adik-adik serta Bapak-Mamak
tentang jalan menuju pulang
dan kisah-kisah di tualang"
Di belakang sini kepingan kenangan menumpuk.
Kupungut ketika cuaca sedang buruk.
Hanya ada mimpi yang terhenti
dan kehendak Tuhan yang tak menawan.
Sisa-sisa residu nasib dan ampas kopi
seakan terbelenggu jadi tawanan.
Manusia adalah tempat bersemayamnya ingatan
yang urung pulang ke langit
menemui burung-burung yang memeluk luka
di bawah sayapnya.
Bagaimana aku bisa sampai
sementara perjalanan semakin jauh
dan kenangan hidup semakin utuh?
(Magelang, 2023)
________
Penulis
Anindita Buyung, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com