Oleh Encep Abdullah
"Kalau saja bukan karena semangat para penulis ..., tak seorang pun akan maju untuk menulis ... " (Dr. Jawwad Ali).
Pekerjaan menulis bagi sebagian orang adalah pekerjaan berat. Terlepas apa pun karya yang dihasilkan. Tidak pandang bulu apakah ia yang masih belajar maupun ia yang sudah profesional. Ia yang masih belajar tertatih dalam menyusun kata-kata, sedangkan ia yang sudah profesional bertarung dengan ideologi, materi, inovasi, mood, dan keterjagaan diri agar tetap istikamah menulis melawan segala distraksi kehidupan dan mental.
Salah satu yang paling memengaruhi adalah bahan bacaan. Kemarin, saya dan kawan-kawan di komunitas merasa saling payah akhir-akhir ini dalam bacaan, lemah syahwat membaca. Efeknya adalah ghirah menulis jadi berkurang. Seorang kawan bilang bahwa penyebabnya adalah kurang guru. Saya menyangkalnya bahwa bukan itu penyebabnya. Ia mengira bahwa guru harus manusia. Padahal berguru bisa dengan banyak membaca buku.
”Begini saja. Coba bandingkan dirimu dengan si Juned yang sudah menulis dan melanglang buana di media dan selalu menang dalam perhelatan lomba sastra dan sebagainya. Apa perbedaan dirimu dengan Juned? Bacaan! Kalau kau ingin melawannya, ya minimal bacaan dan referensinya harus jauh lebih banyak dari si Juned. Ya minimal sama!” ujar Kamad yang tampaknya kesal sekali dengan anak ini, sebut saja namanya Kediman.
Saya dan yang lain yang sedang duduk bersama di situ mendadak hening. Ya, semangat menulis yang dulu itu mendadak kering saat kami lama sekali tidak mendiskusikan bacaan. Tidak saling memantik sudah dan habis baca buku apa dan apa. Tidak seperti dulu, ada yang pamer buku filsafatnya, ada yang pamer buku sejarahnya, ada yang pakar buku sastranya. Itu sangat menarik. Semangat kami membara karena semangat membaca, semangat yang hadir dari semangat para penulis buku itu sendiri.
Setelah semangat menulis itu ada, muncul masalah kedua: malu dan takut disodorkan ke publik. Tidak hanya penulis pemula, ini juga berlaku bagi para penulis senior. Bedanya, penulis pemula beralasan malu, penulis senior takut dirundung rekan satu generasinya yang sudah mapan. Padahal menurut Dr. Jawwad Ali "… sebuah buku yang dipublikasikan—meskipun mengandung cacat dan kekurangan—tetaplah lebih baik daripada tidak memublikasikan apa-apa". Dengan catatan, penulis menyodorkan sesuatu yang memang sudah maksimal ia kerjakan sesuai kadarnya dan ia memang tidak tahu pada bagian mana cacat dan kurangnya.
Dulu, mungkin saat kita pertama kali belajar menulis, kita menganggap bahwa apa yang kita tulis itu terbaik. Setelah melewati fase demi fase, waktu, bacaan, dan pemikiran, kita malah menganggap bahwa karya yang sudah kita tulis itu sangatlah buruk, bahkan menjijikkan. Namun, barangkali berbeda cerita bila si penulis sengaja menunjukkan atau memaksa menyodorkan kecacatan dan kekurangannya, seperti penulis tetangga itu loh, iya dia. Di lain hal, saya yakin setiap buku—buku apa pun, dengan catatan sudah diperiksa, baik dari segi isi, pasar, dan sebagainya—tentu punya pembacanya masing-masing. Menurut saya, bila sudah dipertimbangkan dengan baik dan matang, lalu tunggu apa lagi, segera kirim ke penerbit, atau bisa juga cetak dan distribusikan sendiri. Yok, bisa, yok! Kalaupun nanti banyak cacat, ya anggap saja itu buku pemanasan atau apalah Anda menyebutnya.
Nah, nanti, babak berikutnya, muncul masalah ketiga: ekspektasi. Sebagian penulis terjebak pada berlebihan dalam ekspektasi. Berharap semua orang suka. Saat ada pembaca yang muak dengan karya Anda, Anda sakit hati. Anda merasa gagal tidak memuaskan pembaca Anda dan tidak puas dengan apa yang Anda tulis. Saat setiap penulis berharap semacam itu, bersiaplah kecewa. Saat menulis karya, Anda harus siap dengan segala hal yang datang di luar ekspektasi Anda.
Barangkali kita bisa berkaca dari kutipan Dr. Jawwad Ali yang terakhir dalam tulisan ini: ”... saya menulis bukan untuk menyenangkan semua orang. Saya menulis bukan untuk membeli perasaan. Saya menulis untuk sesuatu yang saya yakini”.
Selamat menulis!
Catatan: Dr. Jawwad Ali adalah sejarawan besar Arab, kutipan diambil dari pengantar bukunya, Sejarah Arab sebelum Islam.
Kiara, 11 Juli 2023
_________
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).