Cerpen Anindita Buyung
Tangan Agus menyikut sikuku. Mataku langsung melihat ke arah yang ditunjuk bibirnya. Tepat di samping bendera kuning, pada bilah bambu yang tertancap di batang pohon pisang, bersandar sebuah bunga papan. Agus, kawanku, berkata, "Begitu seharusnya yang ditulis". Sedang aku masih kukuh dengan pendapatku bahwa itu hanya salah ketik tulisan. Bagaimana mungkin seseorang mengirim bunga papan kematian bertuliskan “Turut Bersukacita”. Sudah pasti itu salah ketik.
Sepanjang jalan menuju pemakaman hingga sepulang dari pemakaman, aku tak melihat dan merasakan nuansa sukacita. Bagiku, manusia normal akan merasakan kesedihan jika ada seseorang yang meninggal dunia. Atau paling tidak wajah-wajah mereka menampilkan kesedihan sehingga nuansa duka nan sakral ini tetap terasa.
Ini sebenarnya obrolan lama. Tepatnya saat aku dan Agus masih mahasiswa. Dia berpendapat bahwa kematian adalah kebebasan. Manusia yang mati tidak berduka, melainkan meraih kebahagiaan hakiki. Seharusnya yang ditinggal mati pun tidak bersedih. Ah, mungkin si pengirim bunga papan ini satu frekuensi dengan Agus.
“Al, mendiang Pak Gono ini seorang pengusaha sukses. Usaha konveksinya jadi langganan perusahaan-perusahaan besar. Belum lagi usaha rumah makan ayam gepreknya. Minggu lalu baru saja buka cabang kelima di kota kita.”
Agus kini melanjutkan pembahasan tentang usaha Pak Gono. Padahal tadi kami masih membahas tulisan “Turut Bersukacita” yang nyleneh itu. Dan jujur, aku jadi penasaran. Bunga papan itu tidak menuliskan nama pengirimnya. Hanya bertuliskan nama si mendiang. Sedang di bagian pengirim hanya tertulis titik-titik tak bermakna. Atau jangan-jangan titik-titik itu adalah sandi morse yang harus dipecahkan terlebih dahulu agar kita bisa membaca nama pemiliknya? Ah, apa pula pikiran konyolku ini.
“Anaknya cuma satu, perempuan. Kamu juga kenal, kan? Kalau kamu ingin kaya raya tanpa dituduh babi ngepet oleh mulut-mulut tetangga, nikahi sajalah perempuan itu.”
Aku masih mendengar celoteh Agus di sela obrolanku dengan diriku sendiri. Barangkali aku terlalu serius menanggapi salah ketik di bunga papan itu. Tetapi sepertinya bukan hanya aku. Kulihat ibu-ibu dan bapak-bapak pelayat memberikan ekspresi yang berbeda-beda perihal tulisan itu. Ada sekelompok ibu yang jika kulihat dari gerak bibir dan ekspresinya aku yakin mereka sedang menggibahi si pengirim bunga papan tersebut. Sedang sekelompok bapak yang datang setelahnya hanya sedikit berkomentar sembari tersenyum di sela asap rokok yang keluar.
“Hah! Gila kamu!”
Responku terlambat. Gegara sekelompok pelayat itu aku sampai baru sadar kalau kawanku mengucapkan kata-kata tentang pernikahan. Aku masih sedikit sensitif tentang pernikahan. Pernikahanku yang seharusnya berlangsung tahun ini terpaksa harus gagal. Calon istriku meninggal karena kecelakaan pesawat yang menghebohkan awal tahun ini. Jasadnya tak pernah ditemukan. Kejadian itu meruntuhkan mentalku. Usaha kafe yang baru kurintis jarang aku perhatikan. Alhasil, sekarang kembang kempis. Benar kata orang, jika kita berlarut-larut dalam merasakan kehilangan pada suatu hal, kita akan kehilangan hal-hal lain dalam hidup kita.
“Lho. Apa salahnya? Perempuan itu cantik. Sudah bekerja. Mapan. Orang tuanya pun mapan. Siapa coba yang tidak suka?”
Aku terdiam. Kami melangkah ke dalam rumah. Aku mengenal Wina, perempuan yang kami bicarakan barusan. Kantor tempat dia bekerja berada di sebelah kantor kecilku yang kembang kempis itu. Akhir-akhir ini kami sering makan bersama saat jam makan siang. Beberapa kali aku juga mengantarnya pulang. Sempat tebersit di pikiranku untuk kembali membuka hati untuk wanita lain. Namun, hatiku berpikir sebaliknya.
“Turut berdukacita nggih, Bu.”
Aku bertelut dan menjulurkan tangan begitu sampai di depan Bu Gono. Dengan mata sembab dan bibir bergetar, Bu Gono menyambut uluran tanganku. Tangannya dingin. Tak ada lain yang kurasakan selain kesedihan yang mendalam.
“Terima kasih ya, Mas.”
Aku mengangguk. Lututku bergeser ke kanan. Mataku dan mata Wina bertemu. Perempuan ini memang cantik sekali.
“Turut berdukacita ya, Win. Sekarang Bapak sudah tenang, damai, sudah tidak merasakan sakit lagi, sudah diangkat penyakitnya. Beliau sudah bahagia di sisi Tuhan.”
“Terima kasih Mas Al.”
Perempuan itu kembali tersenyum. Cantik sekali. Meski matanya sedikit sembab, aura kecantikan khas Jawa yang dimilikinya tetap tidak luntur. Aku kini benar-benar berpikir untuk kembali membuka hati. Kurasa tidak ada yang salah. Mungkin juga ini jadi jalan agar kafeku jaya kembali. Aku undur diri setelah membalas senyum Wina. Tepat di halaman rumah ini Agus tetiba berhenti. Aku yang berada dua langkah di depannya pun reflek berhenti. Seluruh tubuhku menoleh ke belakang. Matanya menatapku lamat-lamat sembari tersenyum.
“Sekarang kamu tahu kenapa seharusnya tertulis ‘Turut Bersukacita’, kan?”
Aku terkejut. Lalu segera balik kanan dan berjalan menuju motorku dengan langkah yang lebih lebar. Agus di belakang mengikutiku entah sambil tersenyum atau tertawa.
_______
Penulis
Anindita Buyung, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah atas di Kota Magelang. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com