Oleh Encep Abdullah
Assalamualaikum Pak Encep. Ini saya Bu Anu, saya guru sekolah Anu. Tiba-tiba saya ditunjuk jadi pembina ekskul yang berkaitan dengan bahasa dan sastra karena kebetulan saya guru Bahasa Indonesia. Saya mau tanya-tanya, gimana ya cara mengajar anak/siswa/i agar bisa menulis cerpen dan sejenisnya?
Begitulah WA seorang kawan nan jauh di sana. Kalau ditanya begitu, barangkali saya bisa jawab begini.
Pertama. Salah satu contoh terbaik anak-anak bisa menulis mula-mulanya adalah membaca. Terus-menerus mereka membaca, secara tidak langsung mereka sedang mengamati bagaimana cara menulis yang baik, tentu saja dari buku-buku yang baik dan layak baca—dari segi ejaan, isi, dsb. Siswa diajak membaca buku sastra (mingguan) dan mengulasnya dalam jurnal membaca. Ulasan bisa berupa resensi atau esai ringan. Setorkan setiap pertemuan dan mereka suruh menceritakannya. Masalahnya, dari mana buku-buku yang mereka baca, sedangkan sekolah tidak menyediakan buku-buku sastra yang layak, bahkan sekolah tidak punya perpustakaan (nauzubillah!)? Salah satu cara menurut saya adalah setiap anak diwajibkan beli buku sastra. Terserah mereka beli di mana. Beli yang asli bukan bajakan. Konfirmasi kepada orang tua mereka bahwa wajib beli dan punya buku. Lebih baik lagi orang tua mengajak anaknya ke toko buku langsung. Mereka cukup beli satu atau dua buku sastra dalam satu atau dua semester. Nah, dari satu buku inilah modalnya. Kalau peserta ekskul menulis katakanlah ada 20 orang, bisa dihitung itu modal buku dari 20 orang itu, 1 orang satu buku, berarti ada 20 buku, bisa jadi stok 20 minggu ke depan atau 5 bulan. Jadi, siswa setiap minggu bisa tukar bacaan—dengan catatan selesai membacanya. Ini sangat menghemat biaya (bagi mereka yang tidak punya uang, bahkan bagi yang tidak punya uang sekali pun bisa pinjam). Lebih baik lagi, buku-bukunya, memang sekolah yang menyediakan semuanya. Tapi, tahulah, tidak semua sekolah punya fasilitas yang sama, kepala sekolah yang sama, guru yang sama, siswa yang sama, dan semangat yang sama. Mungkin, Bapak/Ibu bisa mulai dari sini dulu, kalau bisa semua siswa—tidak hanya siswa yang ikut ekskul. Jangan lupa, di sini orang tua harus terlibat!
Kedua. Guru dan siswa melakukan kajian/bedah karya. Bisa dimulai dari karya-karya para sastrawan terlebih dahulu, bagaimana tekniknya, dsb. sembari diberi materi sedikit demi sedikit. Atau kalau memang anak-anak sudah banyak bacaannya, langsung gas bedah karya anak-anak saja. Bisa anak-anak menulis di tempat saat masuk ekskul atau menulis di rumah di luar kelas ekskul—jadi masuk ekskul tinggal bedah karya, ini mengingat kadang waktu ekskul yang sangat sempit maka ini alternatif agar waktunya efektif dan efisien. Dalam pertemuan ini, jadwal bedah karya anak-anak juga bisa bergiliran kalau memang waktunya tidak cukup. Misal minggu ini punya si A, B, C. Minggu depan si D, E, F, dst. Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana kalau pesertanya minatnya bermacam-macam, ada yang puisi, cerpen, esai, novel, bahkan baca puisi, baca cerpen, atau musikalisasi puisi. Ini masalah teknis, terserah gurunya. Apakah siswa memilih sesuai minat mereka dan apakah gurunya sanggup mengkaji satu pertemuan dengan banyak minat begitu? Atau bisa juga dibagi waktunya, misalnya satu bulan pertama anak-anak menulis puisi, bulan kedua cerpen, bulan ketiga esai, dst. Atau bisa juga dipukul rata, satu semester fokus satu kajian, misal menulis dan membedah puisi. Ini hanya teknis, bisa diatur dan disesuaikan.
Ketiga. Ekskul ini harus punya target akhir. Mau apa? Ada tiga hal yang perlu dijelaskan kepada anak-anak bahwa menulis tidak hanya sekadar iseng-iseng. Tulisan mereka bisa dikirim ke media online, seperti NGEWIYAK.com (redaksingewiyak@gmail.com) yang menerima karya guru dan siswa atau dikirim ke media cetak (koran/majalah) seperti koran harian Banten Raya (komunitasmenulis.banten@gmail.com) atau majalah sastra Kandaga (majalah.kandaga@gmail.com) yang keduanya diinisiasi oleh Kantor Bahasa Provinsi Banten—ini media khusus Banten, media di luar Banten bisa dicek alamatnya di Grup FB Sastra Minggu. Kabarkan kepada anak-anak juga bahwa tulisan mereka bisa dikirim ke lomba-lomba menulis (kalau temanya memang sesuai atau gurunya yang sudah mendesain agar anak-anak ikut lomba tsb., tentu gurunya harus tahu info-info terkait lomba menulis ini, bisa cari sendiri di internet). Kasih tahu anak-anak juga bahwa karya-karya mereka yang sudah mereka tulis tiap minggu itu bisa jadi buku. Makanya, guru harus rapi menyimpan karya anak-anak, terutama karya-karya yang bagus. Dalam hal ini, ekskul menulis tidak cuma sekadar seremonial atau menggugurkan kewajiban saja. Di sana ada sesuatu yang penting. Ada sumbangsih karya, ada semangat anak-anak dan gurunya di sana. Bukankah semua itu juga membawa nama baik sekolah? Selain itu, karya anak-anak juga dibikin jurnal atau buletin atau majalah mingguan/bulanan/tahunan sekolah atau ekskul tsb. Kadang anak-anak itu butuh eksistensi di sekolah. Sebagaimana ekskul lain yang ingin terlihat bakatnya oleh orang lain. Bisa juga di akhir semester karya anak-anak bisa diterbitkan jadi buku. Oh, iya, kalau mau cetak buku, boleh hubungi Penerbit #Komentar, insyaallah siap membantu. Silakan kontak WA saya: 087771480255 (Encep Abdullah).
Keempat. Adakan launching atau bedah buku karya anak-anak yang sudah dicetak itu (baik antologi atau buku tunggal). Bisa juga dengan mengundang pembicara dari luar atau sastrawan nasional. Undang juga sekolah-sekolah dari luar sebagai ajang promosi sekolah dalam peluncuran buku ini. Sekalian juga adakan pameran buku, bisa buku karya anak-anak atau karya guru-gurunya kalau ada, juga bisa juga mengundang penerbit dari luar (bazar buku dsb.). Tentu, bila bikin program serius macam ini, guru tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada tim khusus dan program yang jelas, terutama anggaran. Yups, anggaran! Untuk melakukan sesuatu yang hebat tanpa anggaran itu tidak bisa. Anggaran wajib ada, sedikit atau banyak.
Kelima. Kalau guru-guru di sekolah tidak mampu melakukan satu atau dua hal di atas, yo, jangan memaksakan diri. Misal, guru tidak kompeten atau para siswa tidak ada yang berminat sama sekali dalam menulis, jangan dipaksakan ada ekskul menulis. Saya pernah mengisi ekskul menulis di salah satu sekolah, gurunya semangat, anak-anaknya yang ratusan itu, tidak tertarik ikut ekskul ini, entah kenapa. Maka, dibubarkanlah ekskul ini karena tidak bisa bertahan lama. Saya tidak memaksakan dan memang jangan dipaksakan. Penjaringan anak-anak dalam setiap ekskul harus ketat. Pekerjaan menulis bukan pekerjaan leha-leha. Ini pekerjaan berpikir. Oleh sebab itu, hanya mereka yang kuat berpikir yang bisa bertahan. Oh, iya, kalau guru tidak sanggup atau tidak kompeten di bidang menulis, bisa undang penulis dari luar untuk mengisinya. Atau bisa juga sebulan/dua bulan sekali, sekolah mengundang penulis dari luar itu mengisi pelatihan menulis di kelas biar ekskul punya warna. Tidak monoton. Itu pernah saya lakukan. Misal saya tidak kompeten dalam baca puisi, saya mengundang rekan saya yang memang itu bidangnya. Perkara sastra akan rusak oleh guru-guru dan anak-anak yang memang jiwa mereka tidak ada di sana. Begitu sebaliknya, di tangan guru-guru kompeten (atau punya semangat berkarya) dan anak-anak yang punya semangat tinggi dalam membaca dan menulis, nasib sastra dan nasib bangsa ini insyaallah akan baik-baik saja.
Terakhir. Tinggal dioprek-oprek saja program dan anggarannya, sesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Oh, iya, pliss, setelah baca ini, jangan minta saya jadi pembimbing ekskul menulis di sekolah Anda. Haha. Tapi, mungkin saya bisa bantu carikan kawan yang bisa datang ke sekolah Anda!
Barangkali sederhananya begitu. Kalau Anda punya pengalaman lain, barangkali boleh dibagikan!
Pipitan, 22 Agustus 2023
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com