Oleh Encep Abdullah
Saya sudah siap menulis sejak pagi. Amunisi apa yang mau saya tulis sudah ada di dalam kepala saya. Ada jeda waktu dua jam untuk (memulai) menulis sebelum saya jemput anak saya pulang sekolah.
Sebelum menuju meja kerja, saya ke masjid dulu, bermunajat kepada Tuhan. Selepas itu, saya langsung ke meja kerja saya di ruang perpustakaan sekolah. Saya lupa, masih ada tumpukan buku yang sebagiannya belum selesai saya koreksi—tulisan anak-anak ekskul menulis kemarin. Saya baca dan ternyata cukup menghabiskan waktu. Rasanya saya baru antar anak sekolah, ternyata sudah pukul 09.30, saya jemput anak saya—ya, sekolahnya hanya dua jam—saya antarkan dulu ke rumah. Rumah saya tidak jauh, hanya tujuh menit dari sekolah. Hari ini saya mulai ngajar agak siang, pukul 10.30. Saya sampai di rumah kurang dari pukul 10.00. Saya ngopi dulu sebentar. Sekitar lima belas menit sebelum masuk, saya berangkat ke sekolah lagi.
Sampai sekolah langsung masuk kelas. Belajar hinggal pukul 12.00. Bada salat, saya makan siang, dan kembali ke perpustakaan. Saya berniat mau memulai menulis. Tapi, kepala saya berat, ngantuk bukan main karena saya begadang dan tidur pukul 03.00. Saya tidak kuat. Saya tiduran dulu sejenak. Masuk kelas lagi pukul 14.00 hingga menjelang Asar. Tubuh saya tak bisa bersahabat, susah diajak tiduran sejenak. Waktu sudah pukul 13.30. Saya persiapkan Infokus dan perangkat ajar sebelum masuk kelas. Namun, setengah jam ngotrek-ngotrek Infokus, tidak nyala-nyala. Duh, repot kalau materi ini tidak pakai layar. Akhirnya, saya tulis saja materi di papan tulis dan cukup menghabiskan waktu. Jam KBM selesai. Salat Asar. Usai salat, niatnya mau mulai menulis. Tapi, saya malas. Saya langsung pulang ke rumah. Di rumah saja barangkali bisa. Sampai rumah, saya malah capek dan ngantuk. Sore hari yang bagi saya pantangan sekali tidur, malah tidur walau tidur ayam.
Saya meniatkan lagi menulis bada Magrib. Anak-anak saya malah minta nyalain laptop. Laptop saya dipakai mereka. Anak-anak lumayan sewot, termasuk emaknya. Anak-anak minta inilah, itulah, muntah di kasurlah karena kekenyangan makan. Kepala saya makin nyut-nyutan. Pukul 20.30, baru bisa tenang, anak-anak sudah tak berdaya alias tidur. Saya gantian ambil alih memegang laptop. Di hadapan laptop, saya mendadak bengong. Lama sekali. Saya bingung mau menulis apa. Padahal saat saya makan malam barusan, di kepala saya penuh dengan sesuatu yang mau saya tulis, "iya itu, itu yang akan saya tulis". Dan, nyatanya susahnya minta ampun untuk memulai kalimat pertama dan mau menulis apa. Biar saya tidak stagnan, saya buka buku esai Budi Darma dan Eka Kurniawan. Saya malah makin nge-blank. Saya jauhkan dulu dua buku itu.
Sejak pagi tadi, sebenarnya saya sudah siap menulis sesuatu yang serius. Kok, saya malah lupa apa yang mau saya tulis itu. Kepala saya mendadak migrain saat hendak mulai menuliskannya. Saya memulai saja apa yang di kepala saya untuk ditulis. Efek banyak membaca juga ternyata tak mampu mengundang napsu menulis. Padahal saya sedang ingin menulis yang berat-berat—tentu saja ini relatif dan tentu berat menurut takaran saya. Dan, apakah tulisan ini berat? Tentu saja tidak. Ini receh sekali. Saya ingin menuangkan banyak gagasan. Oh Tuhan, kenapa sulit sekali! Untuk menulis receh seminggu sekali begini saja, saya banyak alpanya. Bagaimana menulis yang berat-berat kayak Narudin Pituin--eh, gimana ya kabarnya?
Saya merasa punya banyak waktu luang. Tapi, saya merasa tidak punya waktu. Kenapa bisa begini?
Sebenarnya saya benar-benar tidak ada mood menulis catatan ini. Jujur, ini saya paksakan. Dan, pekerjaan menulis memang harus dipaksakan. Menyoal ringan atau sulit, ya sama saja. Menulis sepanjang ini, di tengah pikiran yang tak kondusif, tubuh yang letih kurang tidur, tubuh agak meriang. Saya benar-benar melawan badmood saya. Saya merasa punya banyak utang tidak menulis kolom mingguan yang tayang per pekan. Alih-alih proses kreatif, nyatanya ini malah kejar setoran. Dapat duit juga kagak. Wong Eka Kurniawan yang dapat duit kejar setoran menulis saja minta berhenti kok. Dalam buku esai terbarunya berjudul Tragedimu Komediku, ia mengatakan bahwa sebagian besar tulisan dalam buku itu adalah esai pesanan Jawa Pos. Sehebat-hebatnya penulis, tiba waktunya pula ingin berhenti menulis "kolom" pesanan macam itu. Ia berhenti karena perlu memulai proyek menulis yang lain—barangkali jenuh kayak saya, tapi anehnya tetap dikerjakan juga di ruang lain yang kadang pola bahkan porsinya sama. Barangkali Eka merasa terbebani dengan "aturan main"--tema, jumlah kata, dsb.-- dalam media tersebut.
Saat menulis catatan ini, saya teringat kata-kata Eka di awal buku esainya itu.
”Dalam hal ini, saya harus mengangkat topi untuk para penulis yang memiliki stamina menulis sekali seminggu. Menulis tak pernah merupakan pekerjaan ringan, setidaknya untuk saya.”
Saya kira Eka Kurniawan termasuk pengarang yang kuat dalam menulis harian. Nyatanya tidak begitu. Ya, tahu sendirilah kapasitas beliau. Ini sebuah kejujuran yang harus diapresiasi dari penulis kondang bangsa ini. Sekondang-kondangnya Eka ternyata tak sehebat kamu, iya kamu, yang bisa bikin puisi, cerpen, esai setiap hari, bahkan menulis novel dalam satu hari.
Kiara, 15 Agustus 2023
______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com