Esai Sul Ikhsan
Belum lama ini, saya hijrah ke Jakarta, menjadi guru di sekolah Islam lumayan elite. Ada cerita menarik—terutama bagi saya—saat pertama kali menginjakkan kaki di pintu gerbang sekolah itu. Seorang satpam laki-laki mencegat saya dan katanya tidak menerima bentuk penawaran produk apa pun yang bakal saya jual. Mulanya saya bingung. Namun, setelah melirik dandanan saya waktu itu—kemeja biru polos, celana bahan, dan sepatu pantofel yang kebesaran—saya jadi sadar. Alih-alih dipandang sebagai seorang guru, saya agaknya lebih mirip sales yang menjual barang-barang sekolahan. Saat saya menyebutkan maksud, barulah ia meminta maaf dan bercerita bahwa belakangan ini sering datang sales yang dandannya tak jauh beda dengan saya memaksa menawarkan perabotan sekolah.
Aktivitas simpul-menyimpul itu ternyata lumrah kita temui di banyak hal setiap hari. Laki-laki dianggap gagah kalau ia merokok. Remaja dikira gaul kalau memakai baju bermerek. Perempuan dicap bengal kalau berpakaian kurang bahan. Atau orang menganggap saleh orang lain yang berpiama, berpeci, berjanggut panjang, bercelana cingkrang, berjidat hitam, bercadar, berkerudung hingga mata kaki, dan status WA penuh selebaran Islami.
Oleh karena persoalan itu, kebanyakan manusia kini berbondong-bondong mencitrakan diri menjadi sesuatu yang telah didefinisikan masyarakat. Bodo amat hati semulia apa, kepala secerdas apa, karakter sebijak apa, iman sekuat apa, ibadah serajin apa. Selama ini berjalan-jalan di muka bumi ini dengan jubah dan kopiah dengan sedikit ceramah di media sosial mereka, ia tak sulit untuk dijuluki sebagai orang-orang bertakwa. Lebay sih, tapi begitulah kenyataanya bukan?
Sialnya, fenomena di atas kadang kala dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sesuatu yang memang begitulah seharusnya, begitulah kenyataannya. Kalau kita tak mau disebut urakan, berdandanlah yang rapi. Kalau kita mau ganteng, putihkanlah wajah kita dan pakailah garnier! Kalaulah kita punya waktu untuk menelisik secara saksama, kondisi demikian pada akhirnya melahirkan dunia yang melampaui kenyataan, jauh dari apa yang terjadi sebenarnya, meminjam istilah Jean Bouldiard, hiperreality.
Hiperreality oleh Bouldiard katanya disebabkan oleh produksi terus-menerus pikiran imajiner terhadap sebuah realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Sederhananya, kalau kita pakai permisalan orang saleh ini, ia akan dianggap begitu karena pakaian yang dikenakan mengarah pada definisi kesalehan, bukan menyoal hal yang esensial, yakni keimanan dan ketakwaannya yang asli. Orang yang tak memakai pakaian saleh itu, tak masuk kategori saleh meskipun ibadahnya ulet, sedekahnya rajin, lisannya baik, pikirannya bersih, hatinya mulia. Yang esensial-esensial itu lama-lama disingkirkan ke pinggir dan diangkatlah ke permukaan sebentuk simbol-simbol imajiner. Itulah yang oleh Bouldiard disebut sebagai "simulakra" alias dunia simulasi.
Dalam dunia simulasi terkandung tiga komponen yang kemudian membentuk dunia yang melampaui kenyataan itu. Tiga komponen itu ialah tanda, penanda, dan petanda. Tanda ialah sesuatu yang membentuk dan mengandung makna, penanda yakni media, dan petanda merupakan makna itu sendiri. Untuk membentuk tanda saleh, kita menggunakan kopiah, jubah, dan semodelnya sebagai penanda. Maka, jika kita mengenakan penanda-penanda itu dalam keseharian kita, kita tak dipelak dijuluki sebagai orang saleh sebagai petandanya. Dalam kasus ini, terdapat manipulasi tanda di mana pakaian-pakaian sebagai penanda kesalehan dipelintir sebagai petanda, makna saleh itu sendiri.
Akhirnya, pertanyaan pentingnya, mengapa Bouldiard kemudian mempermasalahkan itu? Bukankah bagi kita hal semacam itu ialah biasa, sesuatu yang seharusnya memang begitu?
Di titik itu masalahnya. Simulasi tanda kemudian membawa masyarakat pada ketidaksadaran akan adanya simulasi dan kontrol makna. "Simulakra" mengontrol kita dengan cara menjebak kita untuk percaya bahwa simulasi itu nyata. Yang terjadi, kita kemudian terus-menerus mengonsumsi simbol yang semula ditujukkan bagi sesuatu yang esensial, kebutuhan hidup, menjadi gaya hidup. Kita membeli simbol untuk bisa ikut dalam definisi masyarakat lantaran masyarakat lebih fokus pada konsumsi simbol ketimbang penggunaanya.
Masyarakat lebih memilih produk bermerek untuk disebut gaul ketimbang kegunaannya. Memilih bekerja jadi PNS untuk disebut terhormat ketimbang esensi pekerjaannya. Membeli banyak hal untuk dianggap “sesuatu yang menakjubkan” alih-alih kebermanfaatannya.
Oleh kapitalisme, fenomena ini kemudian difasilitasi dengan kehadiran drugstore alias pasar bebas yang buka 24 jam, dengan seperangkat kemudahannya, dengan gegap-gempitanya, yang terus-menerus menarik kita pada konsumerisme. Menggenjot kita untuk terus membeli, membeli, membeli, check out tanpa berpikir lebih jauh untuk apa kita membeli barang itu.
Seperti Tuan Crab yang mencintai Nyonya Puff dalam Spongebob Squarepants episode "Krusty Love". Tuan Crab terus-menerus menyuruh Spongebob untuk membeli barang yang menurutnya dibutuhkan oleh Nyonya Puff. Crab menganggap bahwa barang-barang yang dibelinya itu ialah sebagai sebuah simbol cintanya. Perilaku Tuan Crab dalam episode itu amatlah mirip dengan kita setiap hari. Kita terus membeli untuk membuktikan sesuatu dengan simbol-simbol yang kita beli.
Akhirnya, berbagai spanduk dan tampilan berkilau yang tak mengedepankan hal-hal esensial itu mendistorsi alam pikiran kita dan yang paling mengerikan, membangun jarak sosial dalam kehidupan masyarakat kita. Kita bakal berbondong-bondong membeli simbol-simbol untuk memenuhi pengakuan masyarakat sebagai kelompok tertentu. Oleh karenanya, mereka yang tak mampu membeli simbol-simbol itu bakal berada di luar definisi, di luar pengakuan masyarakat kita.
Intinya ialah, sudahkah Anda ngiler dengan sarung BHS di Shopee hari ini?
______
Penulis
Sul Ikhsan, Pemred NGEWIYAK.