Oleh Encep Abdullah
Beberapa tahun lalu saya pernah belajar menulis skenario film pendek. Di sana, sang mentor, Mbak Achi, mengatakan bahwa hal paling penting menulis skenario adalah menulis premis. Menurutnya, premis yang menarik bisa mencuri perhatian produser. Hanya dengan premis, seseorang bisa dikontrak dan berlanjut menulis skenario film utuh.
Namanya orang awam, saya hanya melongo mendengar itu. Sejak pertama kali belajar menulis, saya tidak kepikiran bikin premis—secara tertulis. Ada juga, saya pernah mengajari para murid tentang premis mayor, premis minor, dan simpulan dalam materi silogisme kategoris. Namun, saya tidak gunakan itu dalam konsep menulis cerita—dalam hal ini menulis cerpen.
Saya pernah mencoba menulis novel remaja. Nah, ini beda lagi. Setiap bab, saya bikin catatan, bisa berupa subjudul atau catatan kecil yang nanti akan dikembangkan. Saya tidak melabelinya dengan premis. Saya tulis, ya tulis saja. Sampai akhirnya cerita itu tak kunjung kelar. Sepertinya saya memang tidak cocok jadi penulis yang terkonsep premisnya secara tertulis. Saya sadar dan hal itu benar-benar tidak saya lakukan dalam menulis cerpen.
Dalam menulis cerpen, saya kerahkan seluruhnya pada imajinasi saya dari kalimat pertama yang saya tulis. Saya tidak tahu ceritanya seperti apa. Saya tidak memberikan batas atau benang merahnya karena memang tidak saya desain premisnya dari awal. Semua bergerak begitu saja. Bagi saya, dalam hal ini, menulis premis sebelum menulis cerpen itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana mengolah bahasa, memilih sudut pandang, dan membangun konflik. Untuk penjelasan ini, Anda bisa baca tulisan saya Cara Sederhana Menulis Cerpen.
Kadang-kadang, meski menulis tanpa premis, benang merah cerita tiba-tiba muncul saat pertengahan cerita. Saya sering kali tidak tahu mau ke mana alurnya. Ending-nya seperti apa. Seperti yang disampaikan Ahmad Fuadi, dulu waktu bertemu di Jakarta, bahwa menulis adalah seni menjawab pertanyaan. Barangkali bisa dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, atau kalau kata Sunlie Thomas Alexander, bisa juga dengan jika.
Saya punya teman, namanya Durohim. Dia pakar premis. Setiap kali menulis cerpen, wajib diawali premis. Saat saya baca, cerpennya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang lain, Durahman. Dia bukan penulis yang gemar menulis premis bahkan tidak tahu apa itu premis, tapi cerpennya oke.
Barangkali untuk penulis cerpen seperti saya, barangkali juga Aveus Har, sang penulis novel, menulis sebuah premis bukan perkara penting dan butuh. Saya, Aveus Har, atau mungkin kawan lain yang tidak menulis premis, bukan berarti kepalanya kosong. Mungkin bedanya, isi kepalanya lebih ngacak, tidak terstruktur layaknya penulis yang mengawalinya dengan menulis premis terlebih dahulu yang mereka punya batasan cerita.
Pertanyaannya, mana yang lebih hebat, penulis yang menulis tanpa premis atau penulis yang menulis dengan menulis premis terlebih dahulu?
Penulis hebat tentu saja bisa menulis tanpa harus menulis premis. Penulis ”premis” juga hebat bila bisa membangun ceritanya dengan baik. Jadi, bukan masalah premisnya, itu hanya teknis, intinya ada pada eksekusinya. Kalau kamu, iya kamu, sudah menulis banyak premis, ceritanya kagak jadi-jadi pula. Biar ada manfaat, mending dibukukan saja: Kumpulan Premis Cerpen yang Gagal Menjadi Cerpen.
Karena bukan penganut "mazhab" penulis premis, saya memang kurang begitu merasakan faedahnya. Namun, belakangan ini, saya sedang mencoba menerapkannya. Bukan karena apa-apa. Dulu saya punya waktu luang, saya bisa mengerahkan segala pikiran saya dalam cerita. Sejak menikah dan punya anak, saya harus bagi-bagi waktu. Bagaimana bisa pikiran saya dibagi kalau tidak terkonsep. Kepala saya penuh dengan suara token, rengekan anak minta jajan, ocehan istri. Saya perlu catatan khusus untuk menulis agar pikiran saya terpusat dan bisa konsen ke sana. Nanti, hasilnya seperti apa, Wallahu a'lam.
Jadi, apa itu premis?
Kiara, 19 September 2022
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).