Oleh Encep Abdullah
Suatu hari seorang redaktur sastra mengirim pesan WA—tidak saya sebutkan namanya—bahwa cerpen saya terlalu panjang dan harus direvisi. Di media yang digawanginya, cerita pendek yang sesuai kriteria itu maksimal 1000 kata, sedangkan cerpen saya terdapat 1986 kata. Saya memang tidak baca aturan main media tersebut. Saya kirim saja.
Saya penuhi saja tantangan Mas Redaktur. Saya membuang bagian yang bisa saya buang. Sebenarnya berat sekali membuang kata demi kata. Namun, sekali lagi, ini tantangan. Lalu, saya sudah mentok pada 1060 kata. Sudah nge-blank dan bingung harus membuang bagian mana lagi. Saya baca ulang, sudah tak bisa.
”Mas, saya sudah mentok,” balas saya.
“Tidak bisa. Harus menghargai kebijakan redaksi.”
”Baik, Mas, saya coba kurangi lagi,” ujar saya.
”Cerpenmu bagus, tapi apa tidak sayang dikurang-kurangi? Bikin baru lagi aja,” katanya.
Waduh, justru saya lagi mandek bikin cerita lagi, malah disuruh bikin yang baru. Saya lebih memilih merevisi kalau memang layak muat. Bagi saya, ini adalah ruang belajar saya. Bagaimana caranya saya bisa memangkas tanpa mengurangi esensi cerita. Kalau dibilang sayang, pasti sayang. Bayangkan saja dari lima halaman menjadi tiga halaman. Namun, apa boleh buat. Pertama, saya pengin cerpen saya dimuat (lagi—setelah sekian lama tidak menulis di media) dan tentu saja dapat honor, haha. Kedua, ini yang lebih penting, menghargai kebijakan redaksi dan menerima tantangannya.
Saya menyadari bahwa pekerjaan menulis sepatutnya begitu. Kalau tidak memangkas, ya menambah. Itu risiko mengirim karya ke media dengan segala regulasinya. Penulis perlu membaca aturan media tersebut dengan baik. Bisa jadi cerpenmu memang bagus, tapi tidak memenuhi ruang media tersebut—karena sedikit atau terlalu banyak kata. Masih mending redaksi mengabari penulis untuk merevisi, artinya masih ada peluang. Maka, peluang ini bisa dijadikan tantangan. Kecuali, penulis memang idealis, tetap keukeuh bahwa cerita tak bisa diotak-atik lagi.
Begini saja, sebenarnya tak perlu juga penulis harus menunggu koreksian redaktur atau siapa pun. Selepas kita menulis, sepatutnya kita baca lagi. Sekiranya bagian (kata/kalimat) dalam cerita itu dibuang/diubah dan cerita masih utuh, berarti bagian itu penting. Begitu sebaliknya, bila bagian itu dibuang/diubah dan mengubah cerita bahkan menghancurkan cerita, ya jangan dipangkas. Wayahnya jangan malas membaca ulang cerita sendiri. Kita bukan Putu Wijaya yang sekali menulis tidak dibaca ulang. Beliau punya seorang istri yang setia mengeditori tulisan-tulisannya sebelum tulisan itu dikirim ke media. Putu Wijaya punya prinsip ”daripada membaca ulang, lebih baik (waktunya buat) bikin cerita lagi”. Saya mengerti maksud beliau. Ketika beliau mengedit cerita, sama saja beliau bikin cerita baru, belum lagi kalau pengin diedit sana-sini yang pada akhirnya hanya menghabiskan waktu untuk membuat satu cerita yang sebenarnya waktu itu bisa digunakan bikin cerita yang lain.
Pekerjaan memangkas ini bagi sebagian penulis mungkin dianggap pekerjaan yang melelahkan. Namun, merevisi untuk menambahi kata atau kalimat atau paragraf, menurut saya jauh lebih melelahkan. Menambahi berarti membangun cerita baru. Bila bagian baru itu berdiri sendiri dan tidak berhubungan, alur cerita malah makin kabur. Oleh sebab itu, sebagian penulis menjaga alur itu dengan menggunakan jurus kembali kepada ”premis” agar cerita tetap dalam benang merahnya-- walau tidak semua penulis mengawali adonan cerita dengan premis.
Yang menjadi pertanyaan sebenarnya, mengapa beberapa media online itu membatasi jumlah kata/karakter cerita pendek? Bukankah media online bisa lebih fleksibel karena tidak dibatasi ruang layaknya media cetak?
Saya yakin mereka punya alasan tersendiri. Bisa jadi untuk menjaga marwah Edgar Allan Poe bahwa cerpen adalah cerita yang dibaca sekali duduk. Bisa jadi juga karena menyesuaikan diri dengan zaman. Saat ini, siapa sih yang betah berlama-lama membaca tulisan panjang? Paling cuma kamu, iya kamu, yang notabene memang suka baca. Lebih-lebih saat ini kita hidup dan disuguhkan segala sesuatu dalam porsi yang serbasingkat dan instan. YouTube dan Instagram menyediakan fitur video pendek (Short/Reel) yang mungkin terinspirasi dari TikTok. Sebagian orang juga malas menonton film secara utuh. Mereka lebih senang mencari video reaksi atau ringkasan film tersebut yang bisa ditonton dalam sekali duduk. Namun, tidak segala yang pendek dan instan berarti buruk. Justru pekerjaan memendekkan sesuatu dengan tetap menjaga koridor dan esensi adalah tantangan berat. Itu bukanlah pekerjaan mudah.
Dalam alur kehidupan ini juga sejatinya banyak hal yang lewah, yang sebenarnya bisa kita pangkas, seperti apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita pikirkan, apa yang kita tulis, apa yang kita bicarakan, dst. Namun, memangkas sesuatu yang lewah itu butuh ilmu dan kerelaan, serta harus tahu esensinya seperti halnya kita memangkas yang tak perlu dalam cerita kita.
Judul tulisan saya ini, setelah saya baca ulang, kok rasa-rasanya mirip judul buku puisi penyair berkebangsaan Jerman Hans Magnus Enzensberger yang berjudul "Coret yang Tidak Perlu" (diterjemahkan Agus R. Sarjono dan Berthold Damshauser, 2010). Tapi tidak apa-apa. Namanya juga penulis. Kadang-kadang suka begitu. Saya kutip saja salah satu puisi Mang Hans--walau entah apa hubungannya dengan tulisan di atas.
Rondeau
Bicara itu gampang
Tapi kata-kata tak bisa dimakan
Maka buatlah roti
Membuat roti itu sulit
Maka jadilah tukang roti
Tapi roti tak bisa dihuni
Maka bangunlah rumah
Membangun rumah itu sulit
Maka jadilah tukang bangunan
Tapi di atas gunung tak bisa dibangun rumah
Maka pindahkanlah gunung
Memindahkan gunung itu sulit
Maka jadilah nabi
Tapi pikiran tak bisa didengar
Maka bicaralah
Bicara itu sulit
Maka jadilah engkau seperti kau adanya
dan teruslah bergumam sendirian,
wahai makhluk tak berguna.
Rondeau: bentuk puisi abad pertengahan, di mana larik tertentu diulang-ulang pada masing-masing bait.
Pipitan, 9 September 2023
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (#Komentar, 2023).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com