Puisi Sulaiman Djaya
Palagan Karbala
[1] Ali Akbar
Disimaknya dengan khidmat pesan sang ayah,
Penghulu para syuhada itu,
“Putraku, Ali Akbar, ucapkan salam perpisahan
Kepada bibimu, ibumu dan saudara-saudara
Perempuanmu, kemudian pergilah
menuju medan laga.”
Ia yang wajah, gerak tubuh, dan tutur bicaranya
Paling mirip Muhammad Al-Mustafa itu
Segera menghadapi ribuan musuh
Sementara kaum wanita di tenda-tenda
Meratap: “Aduhai kenangan Rasulullah,
Kasihanilah keterasingan dan kehormatan kami,
Kami tak akan mampu hidup tanpamu.”
Disongsongnya bala tentara yang mengibarkan
Bendera kekhalifahan dengan menghalalkan
Jualan agama demi istana-istana megah
Para tiran dan pejabat-pejabat korup.
Dihantamnya barisan musuh
Hingga mereka terhambur dan tersungkur.
“Akulah Ali Akbar bin Husain bin Ali
Dari nasab bangsawan Quraysi
Yang dianugerahi wahyu, nubuwwah,
Dan imamah oleh Tuhan ytang Maha Tinggi.”
Setelah ia obrak-abrik ribuan pasukan musuh
Panah-panah menancap di dada dan perutnya
Dan ia pun gugur menjadi syuhada.
(2018)
[2] Muslim bin Aqil
Aku Muslim bin Aqil utusan dari Madinah
Untuk orang-orang Kufah.
Ketika orang-orang Yaman dan Madinah
Dibantai di Padang Karbala
Oleh anak-anak zina dan para durjana
Yang tumbuh dari syazaratul mal’un.
Akulah syuhada pertama
Sebelum Husain dan kafilahnya
Bermandi darah demi membela risalah
Yang didustakan kaum zalim dan munafik
Berbaju Islam
Dan mengenakan mahkota kekhalifahan.
Setelah aku menjadi syuhada
Dua anakku: Ibrahim dan Muhammad
Dipenggal di waktu fajar selepas sholat subuh
Oleh lelaki paruh baya
Yang mengharapkan hadiah
Dari anak terkutuk bin ayah yang terkutuk.
Ketahuilah, wahai mukmin pengikut sejati
Apa yang kualami
Dan apa yang menimpa
Kafilah Husain bin Ali
Akan senantiasa terulang lagi
Selagi agama dibajak kaum munafik.
(2018)
[3] Aubul Fadhl Abbas
Lelaki perkasa dan rupawan itu bernama Abul Fadhl Abbas
Yang terpangkas lengan tangannya demi sekantong qirbah
Untuk anak-anak dan wanita di tenda-tenda
Keluarga Muhammad Al-Mustafa
Di gurun gersang Nainawa.
Di semak-semak belukar Sungai Eufrat itu
Ia tumbangkan banyak musuh
Meski sendirian
Sebelum akhirnya sekantung qirbah yang ia genggam
Tumpah di tanah bersama tangannya yang jatuh
Karena putus oleh pedang musuh.
Telah berhari-hari kafilah pimpinan kakaknya
Kehausan, dan ia tak sempat meminum air meski seteguk
Dari sungai itu hingga akhirnya
Menjadi martir
Demi menyalakan cahaya iman
Yang dipadamkan kaum munafik dan para tiran
Berbaju Islam. Di hari itu, kaum lelaki
Yang berjuang mempertahankan Risalah Muhammad
Telah menjadi kurban
Terpenggal dalam kemuliaan:
Menyerahkan jasad demi jiwa yang merdeka.
(2018)
[4] Maktam Asyura
Di sebuah majlis, seorang lelaki berkata:
Aku akan bercerita kepada kalian
Tentang pengorbanan agung
Tentang ia yang menggantikan Ismail.
Tentang mereka yang membunuh imannya
Dengan menggunakan baju agama
Di sebuah tempat
Bernama Shati Al-Furat
Beberapa abad silam.
Sebuah jaman ketika agama
Hanya jualan kelaliman belaka
Di tangan tiran dan mereka
Yang menukar kesadaran
Dengan hiasan kemunafikan.
Di panggung sejarah yang kelam itu
Husain pewaris Muhammad
Mengorbankan darahnya
Demi menyelamatkan risalah
Dan pencerahan ummat manusia.
“Tahukah kalian?” Ujar lelaki itu,
Mereka yang mengaku muslim
Dapat menjadi yang paling zalim
Dan memadamkan cahaya iman
Seperti yang mereka lakukan
Di padang tandus Karbala.
Dan kisah yang telah terjadi berabad-abad itu
Akan selalu ada di setiap jaman.
Ketika para pencuri mengenakan jubah
Dan agama tak lebih
Hanya komoditas dagangan belaka.
“Asyura adalah hikmah yang kekal,”
Si lelaki itu memungkas ceramahnya
Bagi mukmin yang mengambil pelajaran
Dan senantiasa membaca.
(2018)
[5] Maqtal Asyura
Darah yang dilemparkan ke langit
Oleh penghulu para syuhada
Yang tak kembali ke bumi
Sebab diterima Tuhan yang Esa
Adalah luka kemanusiaan
Mereka yang ditindas,
Mereka yang diasingkan,
Mereka yang terusir,
Mereka yang hanya memiliki
Doa sebagai senjata pamungkas.
Di padang gersang
Yang teramat menyengat
Permata Zahra
Dan kesayangan Al-Mustafa
Berjuang sendirian
Dalam kehausan
Di medan laga Nainawa
Tempat para durjana,
Para penjual agama,
Anak-anak zinah,
Tiran gila kuasa
Bahu membahu menumpahkan darah
Manusia-manusia merdeka.
Dan di abad ini
Yazid-Yazid baru muncul kembali
Menyerukan jihad palsu
Demi korporasi dan hipokrisi.
Di Suriah, di Libya, di Yaman, para tiran
Berkedok demokrasi
Mengumbar tekhnologi persenjataan
Menjarah nyawa, menyebar senjata kimia
Ternyata memang
Asyura senantiasa ada
Dan Karbala ada di mana saja
Selagi ada penindasan
Selagi ada kezaliman
Selagi ada aniaya
Oleh mereka yang menjual agama
Dan politik kaum munafik
Yang membunuh martabat manusia.
(2018)
________
Penulis
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), antologi puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, dan lain-lain.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com