Cerpen Ruben Kenzo
Telur-telur indah berkilau layaknya berlian tertumpuk pada suatu ruangan kosong dan gelap. Di sanalah aku melihat tepat di hadapanku gerombolan makhluk kecil, imut, dan menggemaskan yang rupa dan bentuknya tampak seperti goblin berkerumun mengelilingi telur-telur cantik itu. Aku menyaksikan kejadian aneh itu.
Namaku Mino Ai seorang bocah berumur 17 tahun yang biasa ayah dan ibuku panggil dengan sebutan Ai. Keseharianku dengan orang tua bisa dibilang kurang hangat dengan sikap mereka yang dingin.
Aku memiliki kondisi heterochromia yang membuat warna bola mataku berbeda seperti kucing. Karena warna mataku yang aneh, aku kemudian dirundung oleh teman-temanku di sekolah dan menjadi penyendiri. Kesendirian ini yang membuat diriku berambisi untuk membuat "seorang teman" hasil buatanku sendiri sehingga kesepian ini dapat terobati. Namun, keinginanku inilah yang mendatangkan bencana bagiku.
Kepala terasa pusing, perut mual tidak karuan. Tak jarang aku muntah mengeluarkan cairan kuning berbau busuk. Hal ini sudah biasa bagiku sejak lima tahun terakhir. Tetapi, ayah dan ibu masih belum tahu apa yang aku rasakan selama lima tahun ini.
"Yah, ini sudah hari Rabu, ya?"
Ini hari buruk bagiku. Setiap minggu, tepatnya pada hari Rabu, aku selalu berada di alam bawah sadarku, dengan gejala yang menyakitkan.
Hari mulai gelap. Aku sudah pasrah atas apa yang akan terjadi. Namun perasaan kali ini sedikit berbeda dengan hawa yang mencekam dan menyeramkan. Aku tak terlalu memikirkannya. Hingga saat itu pun tiba. Aku merasakan sengatan nyeri pada di kepala dan rasa perih diperut. Aku gegas berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan apa yang biasa kumuntahkan. Dan ya, aku pingsan di tempat dan berada di bawah alam sadar diriku.
"Arrrhhh!" teriakku histeris ketika aku membuka mataku. Aku menyaksikan hal yang benar-benar tidak layak kulihat.
"Aaai," teriak ayah.
Aku menatap tajam, jelas di hadapanku. Aku melihat ayah dan ibuku berada di atas telur berkilau dengan putaran koloni makhluk goblin yang penuh dengan darah dan muka hancur. Berbeda dengan wajah saat biasaku lihat. Mereka menggerogoti tubuh ayah dan ibuku dengan pucuk kapak tertancap di perut dan organ vital mereka. Lemas tubuhku, hancur jiwa ragaku melihat kedua orang tuaku. Gelap. Hilang.
Pagi telah tiba, aku sadar dari mimpiku. Aku masih bingung dan beranjak bergegas pergi menuju kamar ayah dan ibu. Kosong, sepi tak seperti kondisi kamar yang berpenghuni. Masih tak terima, aku mencoba memejamkan mataku untuk kembali ke alam saat itu.
"Hei, ayolaaaah," kesalku saat itu. Cukup. Aku tak kunjung diam seperti biasanya.
Aku akan menghentikan ini semua.
Kini semua sudah berbeda. Aku akan mengubah semua kepribadian maupun penampilanku untuk bergaul. Tidak bisa terus bersendiri. Saatnya mulai berdiri. Dengan langkah ceria, aku datang menuju gerbang sekolah. Semuanya heran. Tapi ini baru permulaan.
"Hei, siapa namamu," ujarku kepada anak cantik berambut pirang lurus di hadapanku dengan sepotong roti yang menggoda.
Namanya Zena Ino. Kupanggil Ino. Aku mengajak ia berbicara layaknya teman dekat yang erat. Aku suka respons Ino kepadaku. Ia menjawab semua perkataanku dengan riang. Kesenangannya berlebihan, membuatku heran.
"Kenapa?" ucapku.
"Apa? Ada apa? Aku senang kau mengajakku berbicara hari ini, karena aku belum punya teman di sini," aku tak menghiraukannya.
Semakin hari, aku dan Ino semakin dekat dan bersahabat.
"Hei, mau pesta piyama di rumahku?" tanyaku pada Ino.
"Wah, boleeeh," jawab Ino dengan riang.
Sepulang sekolah, kami bergegas menuju ke rumah. Ino bingung, rumahku sepi. Hingga hari mulai gelap. Aku lupa bahwa sekarang adalah hari Rabu, di mana aku akan merasakan hal "itu" kembali.
"Ah sial, kepalaku mulai pusing," aku bergegas pergi ke kamar mandi. Aku pun pingsan.
Lorong gelap. berbeda dengan minggu kemarin, kini aku berada di lorong gedung yang gelap dengan lampu yang hampir redup. Bingung, seperti biasanya. Aku berjalan tanpa arah mengelilingi tempat ini. Sampai aku berada di lorong paling pojok, tempat yang sedikit lebih terang dibanding sebelumnya. Heran diriku, saat melihat seseorang di ujung lorong dengan tampang yang mirip seperti Zena Ino.
"Heeei," aku bergegas menghampiri Ino di ujung lorong.
Raut wajah gembira sekejap hilang saat aku melihat Ino berbalik badan. Tubuh Ino sangat memprihatinkan dengan luka gores tipis di bagian wajah indahnya dan poni rambutnya yang kacau-balau tanpa raut wajah ceria seperti biasanya. Ino meminta tolong kepadaku untuk bergegas lari berbalik arah tanpa merisaukan dirinya. Keukeuh diriku untuk meninggalkan Ino dengan kondisi yang tak biasa saja, sampai akhirnya aku menerima kenyataan untuk meninggalkan Ino. Dia datang. Koloni makhluk sial datang menghampiri Ino.
"Ino, come on! Lari! Cepaaat!" ucapku gelisah. Tak sesuai seperti yang diharapkan, Ino pasrah dan digeromboli makhluk tersebut. Penuh darah, warna merah.
"Inooo, arrrghh!" teriakku histeris.
Bangun, aku bangun dari posisiku di kamar mandi tadi. Bergegas pergi menuju Ino. Ya, ia hilang. Cukup sampai di sini, aku harus menghentikan semuanya. Hingga menemukan diary-nya lima tahun yang lalu.
Lima Tahun yang Lalu
Aku menduduki sekolah dasar kelas enam. Karena kekurangan, aku tak punya teman. Kesepian, rasa hampa, dan hambar kulalui setiap harinya. Tak kuat, tak sanggupku rasa terlalu lama.
Hingga aku memutuskan untuk membuat temanku sendiri, entah dari mana aku akan memulainya hingga pada saat aku berulang tahun di umur yang ke-11, aku mendapati mimpi di mana aku berhadapan pada suatu hal yang cemerlang indah di hadapanku. Yaitu desa "Hloops" dengan warga yang ramah dan terlihat baik menurutku saat itu. Mereka berbicara denganku dengan bahasa yang lembut dan santun di telinga. Hingga aku memutuskan untuk bercerita tentang kisah hidupku yang menyedihkan. Kepala Desa "Hloops" merasa prihatin padaku, kemudian memberiku pilihan untuk memiliki teman dan hidup yang lebih berwarna seperti meses.
Tentu aku sangat senang hati dan menerima permintaan itu. Namun saat ini, aku menyesal menerima pilihan tersebut. Karena mereka meminta perjanjian padaku untuk selalu berkunjung ke Desa "Hloops". Mereka merasa diriku memiliki potensi kuat untuk membantu dan menjaga mereka dari gangguan sang pembunuh berantai di desa itu yang mencoba merebut telur berharga sang anak kepala desa. Sebab aku mempunyai tubuh yang gagah dan besar bagi mereka yang berukuran setengah dari tubuhku saat itu, mereka yakin atas kemampuanku.
Namun hari demi hari setelah aku menerima perjanjian itu. Aku merasa bahwa tidak ada yang berubah dari kehidupanku yang sekarang. Acuh tak acuh aku mengabaikan mimpi hari itu. Hingga saat ini semua penghuni Desa "Hloops" habis terbantai oleh sang pembunuh berantai. Sampai hari ini, setiap hari Rabu yakni sebagai hari ulang tahunku yang ke-12 waktu itu, aku selalu ditarik menuju dunia mereka.
"HAIIIKK AKU TAHU CARA MENYELESAIKAN INI SEMUA!" ujarku setelah membaca diary-ku.
Jadi, aku harus menghancurkan semua telur yang dijaga oleh makhluk goblin waktu itu supaya mereka bisa pergi untuk selamanya dan memisahkan perjanjian warga "Hloops" denganku.
Hingga saatnya tiba, hari Rabu, 24 Oktober 2023 aku akan melaksanakan misi terakhirnya untuk membebaskan ayah, ibu, Ino, bahkan kesengsaraannya pada saat ini. Malam tiba dan hari mulai gelap. Kali ini hawa benar-benar mencekam. Dingin, pusing, mual sudah biasa bagiku. Namun kali ini perutku benar-benar seperti makhluk itu menusuk perutku dari dalam. Hingga aku memejamkan mataku.
Aku bangun di lorong dingin ini.
"Ayah, Ibu, kebahagiaanku aku datang," tak sempat berdiri, aku tak sadar bahwa gerombolan makhluk tersebut sudah berada tepat di belakangnya. Tertancap, kepalaku terasa sakit. kapak ini masuk hingga ke dalam dengan rasa nyeri yang tak karuan. Mati rasa, aku mati?
Selesai semua, kini mereka semua berada pada lorong dengan telur cantik yang bersinar terang indah, seindah sinar rembulan.
_______
Penulis
Ruben Kenzo, siswa SMPN 1 Kota Serang kelas IX D.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com