Esai Puspita Sari
Dimulai dari tempat tidur, awal munculnya problematika yang membuat saya berpikir, kemudian lahir berbagai asumsi yang agak keras kepala ini. Sebenarnya tidur tidak hanya sebagai upaya istirahat dari aktivitas fisik ataupun pikiran, ternyata tidur juga bisa menjadi perantara timbulnya perkara. Tidur setelah subuh dari pandangan Islam maupun medis memang kurang baik. Apalagi perempuan, kata ibu saya. Di lain sisi pernah dibahas juga dalam kajian kitab Ta'limul-Muta’allim oleh kiai, sejak saya masih mondok dulu, bahwa tidur setelah subuh menyebabkan fakir. Tapi, lambat laun saya abai menerapkan ilmu tersebut dalam keseharian karena beberapa alasan.
Saat kuliah memasuki semester tua, saya baru tinggal di kos, dan inilah awal dari kebiasaan tidur di waktu-waktu yang sangat diharamkan oleh ibu saya itu. Alasan pertama karena teman kamar yang membudayakan tidur selepas subuh sehingga saya ikut-ikutan kemudian menjadi kebiasaan. Alasan kedua, kalau pagi tidak tidur, pasti selalu terganggu dengan reaksi asam lambung, jadi harus makan sesuatu. Karena jarang ada sesuatu untuk dimakan, penanggulangannya adalah dengan cara tidur--kalaupun masak nasi mesti siang agak mepet zuhur. Bagi saya, tidur adalah hal paling ampuh untuk meminimalisisasi pengeluaran karena tidak hanya menjadi abai terhadap perkara fakir saja, tetapi juga akan abai terhadap rasa lapar dan asam lambung yang kurang ajar. Lebih-lebih bisa hemat uang.
Akhirnya, kebiasaan buruk itu dibawa ke rumah, ketika tengah menjalani proses skripsian yang kebetulan teori feminisme radikal menjadi pilihan sebagai pembidik sasaran objek penelitian saya. Tentu saja buku feminisme banyak dikonsumsi pada saat itu. Padahal sebelumnya senior saya sudah berpesan bahwa jangan membaca buku-buku itu selama di rumah, bahaya, bisa-bisa kamu dikeluarkan dari KK, ujarnya sambil tertawa. Saya menanggapinya dengan bercandaan pula.
Kemudian tidak lama dari itu, saya merasakan pengaruh dari bacaan tersebut, akibat kontra dengan pernyataan ibu yang pada saat itu tengah marah mendapati saya tidur setelah subuh. Saya jengkel karena ada bahasa yang pada intinya mengatakan bahwa perempuan tidak pantas tidur pagi, kalau laki-laki boleh dan sah-sah saja. Loh ... loh ... kan .... Ditangkap dengan Pemikiran rasional saja tentu tidak bisa diterima, kecuali pemikiran yang memang dibonsai dari akar patriarki.
Jelas saya tidak mau menggantikan peran Jora dalam sebuah novel Geni Jora, perempuan diletakkan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki oleh neneknya sebagai tokoh patriarki. Sehingga pengarang mempertanyakan kembali ikhwal ideologi patriarki yang justru membuat laki-laki tak lebih dari sekadar parasit dan menempatkan perempuan pada posisi sebagai pembantu bagi laki-laki (dalam Yulianeta, 2021:87). Tapi saya tidak mau jauh-jauh membawa lari ke konsep itu karena saya telah menyisakan seperempat pemakluman di hati dalam menyikapi hal tersebut. Mengingat saya memang lahir dan tumbuh dalam kubu budaya patriarki, dan akan sangat sulit menyangkal kontradiksi setiap pendapat atau pemikiran hanya dengan satu nyawa.
Yang suka saya bantah juga soal pemaksaan tengka di lingkungan, ketika seringnya dipaksa untuk abhithek (membantu keberlangsungan acara di dapur tetangga). Saya sering menolak dengan alasan karena masih muda dan belum berkeluarga, jadi masih bukan waktunya. Mengingat tradisi seperti itu dilakukan secara balas-membalas antartetangga, artinya kalau si A membantu di acara si B maka jika si B menggelar acara, juga wajib dibantu oleh si A. Begitu pun sebaliknya. Dan semestinya beberapa orang yang terdapat dalam satu keluarga cukup perwakilan 1--2 orang saja yang datang. Kecuali kalau seluruhnya diundang. Tapi sekalipun seluruhnya diundang, tetap saja rasanya sangat terganggu atas pemaksaan itu. Lagi-lagi saya masih muda dan belum berkeluarga, tentu ada banyak aktivitas menarik yang bisa dilakukan selain harus abhithek.
Abhithek dalam pandangan saya adalah keharusan membantu dalam urusan dapur tetangga setiap menjelang hingga berlangsungnya acara, terutama bagi perempuan dewasa yang sudah berkeluarga. Karena perempuan yang sudah berkeluarga merupakan awal dari melekatnya tengka. Tapi interaksi dengan tetangga dan interaksi dengan aroma dapur beserta pengenalan terhadap kegiatan di dalamnya, justru harus dilatih dari sekarang, kata ibu. "Ta' kera jhung burungan" artinya dalam hemat saya yaitu, mau tidak mau kita (sebagai perempuan) tidak akan terlepas dari itu. Makanya harus dimulai dari sekarang.
Setelah persoalan abhithek, saya akan kembali ke tempat tidur lagi. Tetap berawal dari kebiasaan buruk tadi. Akan tetapi terjadi dalam waktu dan masalah yang berbeda. Dari dulu setiap pagi tugas saya hanya bersih-bersih di rumah. Tapi sebelum melaksanakan tugas paten itu, biasanya diawali dari tempat tidur-ke meja makan-ke meja belajar. Bersih-bersih belakangan. Saya harus sarapan pagi-pagi banget untuk menetralisasi asam lambung, beda dengan di kos, kalau di rumah harus lekas-lekas bangun karena punya tugas wajib. Pun kalau di rumah bisa langsung siap makan. Dari meja makan langsung beralih ke meja belajar karena suasana pagi sangat mendukung bagi otak yang masih fresh untuk dibawa jalan-jalan ke dalam bacaan. Baru setelah itu bersih-bersih.
Karena setiap hari berlangsung demikian, ibu saya tiba-tiba ada rasa jengkel. Mungkin karena melihat usia saya yang semakin matang, tapi belum juga ada kesadaran untuk membantu melakukan aktivitas di dapur. Sampai suatu waktu, ia membangunkan saya dari tidur sambil marah, dengan melontarkan kata-kata yang membekas selama dua hari di hati saya. Sumpah. "Pas bile se semma'a ka depor?" sulit menemukan bahasa yang sifat dan pengertiannya sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena hanya lebih tajam dan ngena diungkapkan dengan bahasa Madura. Jika diterjemah secara gamblang ke dalam bahasa Indonesia tentu tidak sesuai dengan maksud pernyataannya. Pada intinya, bahasa tersebut bersifat teguran berbalut sindiran, kapan bisa memenuhi kodrat wanita seutuhnya? Yang menurut perspektif patriarki tempat wanita salah satunya adalah di dapur. Padahal sebenarnya kodrat wanita di luar itu.
Sebenarnya ini persoalan bahasa--yang jika dipandang dari segi hermeneutik merupakan kalimat yang sifatnya sarkasme, dan saya rasa tidak cukup jika hanya paham soal makna dari kalimat itu saja, akan tetapi juga perlu menelusuri sebab-akibat munculnya kalimat tersebut, terutama dari konteks sosiokulturalnya, atau pengaruh lain di luar dirinya. Kemudian saya akan menarik benang dekonstruksi sebagai upaya untuk tidak mencari pembenaran sepihak.
Jika problematika di awal tadi saya larikan ke feminis, saat ini saya juga akan bawa lari ke psikoanalisis. Awalnya Id saya yang bekerja, karena sempat merespons dengan jengkel juga. Kemudian beralih pada superego yang bekerja, mengingat posisi saya sebagai anak, rasanya harus mengaku salah atas ketidaksadaran tadi, pilihannya yaitu diam meski bahasa tersebut cukup membekas. Di sisi lain karena mungkin perasaan lagi cenderung sensitif maka diam dan membatasi interaksi dengan ibu menjadi sedikit penawar untuk meredam goresan kalimat itu. Yang terakhir, seharusnya gantian ego bekerja, (solusinya apa?) Sekalipun saya tahu bagaimana menghubungkan cara kerja keduanya sehingga akan ketemu titik terang solusinya, tentu sangat tidak mudah mengaplikasikan selama bekas-bekas itu tidak hilang.
Bisa jadi saya memiliki masalah psikis sehingga jembatan neurotik terbangun, memberi jalan dan kemudahan pada hati untuk menerima sesuatu yang buruk. Seandainya ibu saya menegur dengan kalimat yang sedikit lebih pengertian, tentu tidak akan membekas apa-apa, pun tidak akan memperkokoh neurosis dalam diri saya. Jadi, keadaan mental akan sedikit terganggu ketika menangkap perkataan-perkataan yang tanpa dipikir itu. Meski Carl Gustav Jung (2022:125) mengatakan bahwa makna dan rancangan suatu masalah sepertinya memang tidak terletak pada pemecahannya, melainkan pada upaya kita menghadapinya tanpa henti. Tetap saja kita harus melalui tahap penyembuhan diri dengan cara menangkap cahaya kesadaran sepanjang jalan gelap nan lengang, demi mengembalikan damai keadaan semula.
Maka alangkah bersyukur di era sekarang berkembang pesat pendidikan, utamanya parenting. Orang tua harus siap belajar sebelum siap punya anak. Karena pembentukan karakter anak tergantung dari bagaimana cara orang tua mendidik. Pengaruh lingkungan mungkin hanya 25%. "Kalau cuma ngomong siapa pun bisa", barangkali begitu kata orang tua yang suka meledak-ledak sejauh pengalamannya mengurus anak. Saya tahu itu tidak mudah.
Soal pengendalian emosional, saya sendiri sangat kurang. Barusan saya meletakkan nasi goreng di meja belajar. Jelas bukan tempatnya. Tak lama kemudian nasi goreng tersebut dikerumuni semut, malah semutnya yang saya marahi. Nah, bisa jadi sikap saya ini terbentuk ketika alam bawah sadar merekam saat betapa seringnya melihat tetangga memarahi ayam yang buang kotoran di terasnya, atau bisa jadi karena sebelum itu saya bertengkar dengan pacar, sehingga semut mendapat tampiasnya. Jadi, belum tentu saya sebaik asumsi yang tertulis di atas. Toh ini cuma berbagi. Intinya ada kesadaran dulu, karena sadar akan memicu perubahan. Pastinya apa yang saya katakan it can be right, it can be wrong (Bisa benar bisa salah).
Eh, tapi bukan berarti ibu saya setidakpengertian itu. Ibu saya pengertian banget kok, buktinya sering membelikan makanan kesukaan saya, campor. Hanya saja kalau dibilang minim pengetahuan soal sebab-akibat rusaknya psikologis anak, mungkin iya. karena selama ini penerapannya sesuai dengan apa yang ia dapat dari sejauh pengalaman yang terlihat dan terjadi di zamannya. Dari awal saya hanya mengkaji tentang bahasa ibu ketika marah, cenderung blak-lakan, tanpa disadari hal itu rentan mengganggu keadaan psikis saya.
_______
Penulis
Ita Puspita Sari, lahir di Sumenep, 01 Januari 2002. Tulisannya dimuat di beberapa media. Aktif di Sanggar Seni Damar Mesem. Dan Aktif sebagai petani KALENTENG (Kompolan Kesenian Lenteng). Bisa disapa melalui WA: 081998429468, ig: @ipuspitata, e-mail: itapuspitasariii01@gmail.com.