Cerpen Maria Valentine
Deburan ombak menerjang sang tebing curam di bawah langit malam itu. Seorang gadis berumur 16 tahun berdiri tegak di pinggir tebing sambil menatap kosong sang lautan terjal dibawahnya. Ia sudah berada di tempat itu selama 6 jam bersama dengan lamunan kosongnya. Esok adalah hari ulang tahunnya yang ke-17. Walau umurnya belum genap 17 tahun, ia ingin meminta sesuatu kepada Tuhan sebagai hadiah ulang tahun. Tepat pukul 23.59, ia memohon kepada Tuhan, dengan keras ia berteriak,
“Tuhan sang penguasa, jikalau kau masih menyayangiku, izinkan aku untuk bertemu ayah dan ibuku kembali.”
Ombak dan lautan adalah saksi bisu dari teriakan terakhirnya. Tepat pukul 00.00, tubuh seorang gadis bernama Alea Alinka jatuh ke dalam pelukan perairan asin di bawah tebing curam itu. Minggu, 16 Juli 2023, pukul 00.00, sang bumi kehilangan salah satu penduduknya, sang kakak kehilangan adik perempuannya, sang teman kehilangan tempat berceritanya, mirisnya, sang ayah dan ibu mendapatkan kembali pelukan putri kecil mereka.
Seorang pria berumur 23 tahun dengan bahu tegap memasuki pekarangan rumah besar, ia mengetuk pintu sambil memanggil nama Alea, adik kecilnya, namun tak ada jawaban dari dalam rumah itu. Ia berpikir, "apa dia belum bangun?" Akhirnya pria bernama Noeh Khiaro itu mencari kunci rumah di tempat yang biasa Alea taruh kunci itu, apabila ia pulang telat dan tidak ada orang di rumah. Ia mendapat kunci itu dan membuka pintu rumahnya. Kosong, batinnya. Ia meletakkan tas dan memanggil nama Alea, namun tetap tidak ada jawaban dari adiknya. Akhirnya ia mengecek semua ruangan yang ada di rumah itu, namun nihil, tak ada adiknya, padahal ia sudah mengecek seluruh sudut rumah itu. Mungkin dia lagi ngambek dan merayakan ulang tahun dengan temannya. Ya, salahku juga meninggalkannya selama satu minggu tanpa kabar apa pun, pikir Noeh.
Akhirnya ia membersihkan tubuhnya dan merapikan barang bawaannya. Saat mulai membongkar isi tasnya, ia menemukan suatu kotak musik yang ia beli dari perjalanan kerjanya selama satu minggu itu, benda itu ingin ia berikan sebagai hadiah ulang tahun ke-17 adiknya. Karena Alea sedang tak di rumah, ia akan memberi kotak musik itu nanti. Ketika ia sudah selesai merapikan barang bawaannya, ia merasa lelah dan tertidur di atas kasur empuk di dalam kamarnya. Ia tidak tahu bahwa tubuh sang adik sekarang sudah tertidur di dalam pelukan laut yang ganas.
Sudah 5 jam terlewat semenjak ia pulang ke rumah. Sekarang jarum pendek jam menunjuk ke angka 3 menuju 4. Noeh terbangun dari tidur dengan keringat di tubuhnya, padahal pendingin ruangan saat itu masih menyala.
“Hanya mimpi buruk,” ucap Noeh. Ternyata ia telah mengalami mimpi buruk di tidurnya. Di mimpi itu, seseorang memanggil-manggil namanya, namun ia tak tau dari manakah suara itu berasal. Karena rasa penasarannya mencuak dari dalam benaknya, ia pun mempercayai dan mengikuti instingnya, sampailah ia di suatu tempat yang asing. Tempat itu aneh, terasa lembab, kosong dan hampa. Ia melihat sesuatu terbaring di atas tanah di depan sana, hal itu membuatnya rasa penasarannya semakin besar dan berjalan ke arah tempat itu.
Tak disangka, Noeh malah melihat tubuh adiknya yang pucat. Tubuh Alea tampak seperti mayat. Adiknya terbaring tenang di tempat itu dengan senyuman yang paling indah yang pernah Noeh lihat. Mata Alea memiliki kantung mata yang tebal, mukanya terlihat lelah namun tenang. Ia pun berjongkok di samping tubuh adiknya itu. Noeh menyentuh tangan Alea, tangan itu sangat dingin. Rasa khawatirnya muncul. Jarinya diarahkan ke lubang hidung Alea.
“Tak ada nafas yang mengembus,” ucapnya. Ia pun langsung mengecek denyut nadi di tangan kiri Alea. Sayang sekali, denyut nadi Alea telah berhenti. Alea telah meninggal dunia. Seketika bayangannya pudar dan terbangun dari alam bawah sadarnya.
Nafas Noeh tersenggal-senggal, ia duduk di pinggir kasur dan kemudian melihat notifikasi di handphonen-nya, hanya ada notifikasi berita, iklan dan beberapa pesan dari teman kerjanya.
“Padahal lagi hari Minggu, tapi banyak sekali pesan yang mereka kirimkan, mengganggu waktu liburku saja.” ucap Noeh dengan nada menyebalkan. Saat sedang menghapus notifikasi pesan itu, atensinya tertarik dengan pesan yang terkirim dari 3 jam yang lalu. Pesan itu dikirim oleh Arbey, teman Alea. Ia pun membaca isi pesan itu melalui notifikasi yang muncul di layar handphone.
Arbey:
“Halo Kak, Alea sedang bersama Kakak, bukan? Kalau iya, tolong sampaikan kepadanya untuk membaca pesanku ya. Soalnya dari jam 7 pagi tadi pesanku sama sekali ga dibaca sama dia. Kalau sudah kakak sampaikan, makasih banyak ya Kak.”
Isi pesan Arbey membuat Noeh bingung. Bukannya Alea harusnya sedang bersama dengan Arbey untuk merayakan ulang tahunnya? Pikir Noeh. Ia pun membuka pesan itu dan membalasnya.
Noeh:
“Halo juga Arbey, aku lagi ga sama Alea nih, bahkan dari saat aku pulang, dia udah ga ada di rumah. Aku mikirnya dia lagi ngerayain ulang tahunnya bersama kamu dan teman lainnya. Kamu boleh bantu aku buat tanya ke teman-temannya ga? barang kali ada yang lagi bersama dengan dia.”
Noeh mulai gusar. Pikirannya mulai ke mana-mana karena pesan dari Arbey. Balasan dari Arbey pun muncul. Ia mulai membaca dengan pelan-pelan, berharap jawabannya yang ia inginkan muncul.
Arbey:
“Waduh Kak, tadi sebelum aku bertanya ke kakak, aku sudah duluan bertanya ke teman-teman Alea lainnya, tapi ga ada yang lagi bersama Alea Kak, bahkan mereka juga ga melihat Alea di jalan. Makanya itu, aku bertanya ke Kakak. Kalau aku ada informasi baru tentang Alea, bakalan langsung aku kasih tau ke Kakak deh.”
Noeh semakin gusar, ia pun mengambil kunci motor dan jaketnya. Sebelum ia pergi mencari Alea, ia membalas pesan Rachel dan berterima kasih atas informasi yang diberikan perempuan itu.
Noeh mengendarai motor dengan kecepatan kencang. Ia membelah jalanan sore yang untungnya sedang sepi. Hanya ada beberapa toko dan kios yang buka, bahkan jalanan yang ia ingat sekali sering didatangi banyak orang tiba-tiba menjadi sepi dan kosong. Langit mulai menggelap, padahal jam tangannya masih memperlihatkan pukul 4 lewat, mungkin mendung ini datang untuk menggambarkan perasaan dan keberadaan adiknya yang yang belum jelas itu. Ia mendatangi toko kue, toko buku, taman, dan beberapa rumah teman adiknya, serta tempat lain yang sering Alea datangi untuk memastikan keberadaan Alea. Namun sayangnya, ia tak menemukan Alea ataupun jejak keberadaannya sedikit pun.
Langit mulai meneteskan air matanya. Noeh kesal, langit seperti ingin mengejek Noeh yang memang ingin menangis dari tadi karena ia sudah melewati 2 jam untuk menemukan Alea, namun hasilnya tetap saja nihil.
“Padahal hari ini ulang tahunnya yang ke-17, tapi entah kemana dia pergi,” ucap Noeh dengan lesu.
Ia memang sudah mengunjungi semua tempat yang sering adiknya singgahi.
“Aku lupa mengunjungi tempat itu, mungkin saja ia sedang di situ,” ucap Noeh. Ia melupakan satu tempat, yaitu kedai makan di pinggir sungai yang sering didatangi keluarganya dulu, yang setiap harinya masih terdapat kejadian menyenangkan. Kini tinggal kenangan yang menghantui dirinya. Selama 2 tahun, ia tidak pernah mengunjungi kedai makan tersebut, hanya adiknya saja yang datang. Ia malas untuk mengingat kenangan tentang masa lalu keluarganya lagi. Karena setiap kenangan itu muncul, fakta tentang orang tuanya yang telah meninggal 2 tahun yang lalu juga ikut muncul. Kini ia hanya ingin fokus dengan adiknya. Jika adiknya sudah hidup bahagia dan tenang, artinya ia sudah menepati janji 2 tahun lalunya pada kedua orang tuanya itu. Tak ingin membuang waktunya lebih lama, ia menancapkan kunci motor dan memakai helmnya kembali. Ia mengendarai motor dengan kencang, berharap menemukan adiknya di sana.
Ia telah sampai di kedai makan itu. Tempatnya tidak jauh berbeda dari 2 tahun sebelumnya. Ia memarkirkan motornya dan melepas helm yang dari tadi ia pakai selama berkendara. Ia melangkahkan kakinya, wangi harum makanannya tetap sama, pelanggan kedai itu sudah mulai berkurang karena hari sudah mulai menggelap. Sebagian pekerja ia kenal, sebagiannya lagi tidak. Dalam waktu kurun dua tahun, beberapa hal telah berubah. Ia memejamkan mata selama 5 detik dan menghela nafas, berharap kebiasaan emosionalnya itu tidak datang lagi.
Matanya mulai mengitari bagian dalam kedai itu, mencari sosok adiknya, namun ia tetap tidak mendapati adiknya di situ. Ia berjalan ke bagian kasir. Kebetulan sekali, yang sedang memegang bagian kasir adalah pemilik langsung dari kedai itu, pemilik kedai itu masih mengingat Noeh.
“Halo Nak, sudah lama kita tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" tanya Bill, pemilik kedai makan itu. Paman Bill menepuk bahu kanan Noeh sembari mengatakan hal itu.
“Halo paman, maaf baru mengunjungi kedaimu lagi setelah 2 tahun, kabarku baik-baik saja,” jawab Noeh.
“Hm, tidak apa-apa. Oh ya, ada apa kedatanganmu secara tiba-tiba kemari? Tidak mungkin hanya untuk makan kan? hahaha,” ucap paman Bill sambil tertawa. Tebakan Paman Bill benar, ia datang dengan maksud tertentu.
“Paman, apakah Alea mengunjungi kedai hari ini?” tanya Noeh.
“Hm... sepertinya tidak, dari pagi aku berada di kasir, Alea tidak datang ke sini,” ucap Paman Bill. Noeh semakin khawatir, ia pun berterima kasih kepada Paman Bill dan izin pamit pergi kepadanya.
Noeh meninggalkan kedai itu dengan perasaan frustrasi. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk menemukan adiknya itu. Tak pikir lama, ia mulai bertanya kepada pejalan kaki yang ada di sekitar sungai dekat kedai itu. Semua orang mengatakan tidak pernah melihat Alea hari ini, bagaikan keberadaan sang gadis telah lenyap dari muka bumi. Sampai seseorang datang dan mengatakan “Kalau sedang mencari orang hilang, lebih baik minta bantuan kepada polisi saja. Hm... kemarin sekitar jam 8 malam aku melihat seseorang di dekat tebing curam itu, kalau mau cari di daerah situ saja, jangan membuang waktumu dengan bertanya kepada pejalan kaki yang statusnya hanya sebagai wisatawan,” ucap orang asing itu.
Noeh berterima kasih kepada orang itu. Ia memang berniat melapor kepada polisi, namun kasus hilangnya Alea belum 24 jam. Akan susah untuk melapornya.
“Tebing curam itu ya, untuk apa Alea ke sana? Itu pasti bukan dia kan?" ucap Noeh dengan lirih.
Ia berusaha menyampingkan pikiran buruknya itu. Kunci motor sudah tertancap di motornya. Helm pun sudah ia pakai, namun perasaan aneh di hati masih menahan dirinya untuk bergerak. Otaknya sangat penasaran, tubuhnya memaksa untuk bergerak, namun hatinya belum siap. Rasanya masih ada yang menjanggal. Akhirnya, ia memantapkan perasaannya, ia yakin bahwa ia sudah siap untuk menerima kenyataan apa pun nantinya. Ia menyalakan motor dan berkendaraan dengan kecepatan sedang. Langit yang mulai malam itu menemani dirinya yang telah dirusak oleh pikirannya sendiri. Hawa dingin mulai memeluknya dari depan, namun tidak ia hiraukan. Ia membelah jalanan sepi di malam itu dengan kekhawatiran yang menghantuinya.
Noeh memarkirkan motornya di parkiran dekat tebing itu. Ia menatap lautan lepas di depannya. Suara ombak mulai menyapa indera pendengarannya. Tak tunggu lama, ia meninggalkan parkiran yang hanya diisi motornya itu. Ia menaiki anak tangga satu per satu. Tiba di anak tangga terakhir, pemandangan di atas tebing itu sudah terlihat. Deburan ombak semakin terdengar jelas. Noeh menutup matanya dan menghela nafas. Ia menaiki anak tangga terakhir itu, dan sampai pada puncak tebing curam itu.
Matanya menatap tajam ke segala sisi tebing, dan berhenti ketika menemukan sesuatu di pinggir tebing itu. Langkah kaki membawanya ke sisi tepi tebing, semakin mendekat semakin jelas bayangannya. Kini terlihat jelas, ada sepatu berwarna hitam di sana. Tak hanya sepatu, di sana juga ada dompet kecil berwarna biru. Barang-barang itu tak asing baginya. Ia mengambil dompet itu.
“Dompetnya seperti pernah kulihat,” ucap Noeh. Ia membuka dompet itu, beberapa kartu terpajang di dalamnya. Salah satunya ialah kartu pelajar. Noeh mengambil kartu pelajar itu, berniat untuk melihatnya, ia penasaran siapa yang membiarkan dompet dan sepatunya tergeletak di sini.
Saat mulai membaca data diri pelajar itu, matanya seperti ingin keluar. Betapa kagetnya ia, kartu pelajar itu milik dari adiknya sendiri. Ia mengecek ulang data diri pelajar itu, dan benar memang itu adalah milik adiknya. Tak kuat dengan kenyataan yang baru ia terima, tangannya gemetar dan menjatuhkan dompet beserta isinya. Ia takut, takut jika pikiran buruknya itu benar.
“Alea, Alea, kamu di mana? Kamu dengar suara kakak, kan? Alea!” seru Noeh, suaranya gemetaran, mencerminkan ketakutan yang sedang ia alami. Ia mengambil sepatu itu, ternyata dibawahnya ada kertas kotor kecil yang sudah terkena noda dari debu sepatu itu. Ia mengambil surat itu, dan membacanya.
Kalau ada yang udah menemukan kertas ini, artinya aku udah pulang.
Jangan cari aku, aku sudah tertidur dipelukan sang laut.
Air mata yang menetes mulai membasahi kertas kecil itu. Noeh meremas kertas itu dalam tangannya. Teriakan pilu dan tangisan keras terdengar dari atas tebing curam itu. Adik kecil yang selama ini bersikap seperti lautan lepas yang menghasilkan deburan ombak yang besar dan megah, ternyata sebuah sebuah danau yang sunyi dan tenang. Saking tenangnya, tidak ada yang tau kemana perginya ia sekarang.
Noeh hancur, jiwanya seperti sudah pergi ketika membaca isi kertas itu. Kakinya tak lagi kuat untuk menopang badannya. Tubuhnya duduk di pinggir tebing itu, membayangkan serapuh apa adiknya sampai harus menghilangkan nyawanya sendiri. Ia kecewa dengan adiknya, namun ia lebih kecewa dengan dirinya.
“Kakak macam apa aku ini,” lirih Noeh. Noeh menatap ke arah lautan, tatapannya kosong, tetesan air masih mengalir dari matanya. Kini ia telah ditinggalkan sendirian oleh keluarganya.
Deburan ombak dan hawa dingin menjadi pendengar setia tangisannya. Pikirannya kacau balau, bisikan-bisikan memenuhi telinganya. Ia berdiri tegak dan melepas sepatunya, menyisakan kaos kaki di telapak kakinya. Ia tak sanggup lagi untuk hidup sendirian.
“Maaf karena menyerah, aku mau bertemu dengan kalian juga” lirih Noeh. Tubuhnya terjatuh kedalam pelukan sang laut. Kini sang laut telah menyimpan tubuh kakak beradik di pelukannya. Malam itu, seorang jiwa laki-laki pergi berkumpul dengan keluarganya. Minggu, 16 Juli 2023, pukul 20.00, sang bumi kehilangan salah satu penduduknya lagi, sang teman kehilangan tempat berceritanya, mirisnya, sang ayah, ibu dan adik mendapatkan kembali pelukan dari anak laki-laki pertama keluarga mereka.
Sang laut menjadi tempat dan alasan berkumpulnya kembali keluarga kecil itu. Kita harus menyalahkan laut atas kepergian dari Alea Alinka dan Noeh Khiaro? Atau malah berterima kasih kepada laut karena sudah mempertemukan kembali keluarga mereka? Laut yang terkadang dipandang tempat tenang dan damai, bisa menjadi tempat yang ganas dan lepas. Danau yang dikira tempat menakutkan dan dalam, bisa menjadi tempat yang damai dan tenang. Semuanya itu tergantung dari cara kalian memandang masalahnya.
_________
Penulis
Maria Valentine, siswa SMPN 1 Kota Serang kelas VIII B.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com