Oleh Encep Abdullah
Sebulan terakhir ini, saya bermesraan dengan peristiwa kematian. Ada 6 orang yang meninggal: 1 istri rekan guru, 1 ayah seorang murid, 2 tetangga, 2 murid. Satu di antaranya saya ikuti prosesnya dari awal hingga mengantarkan jenazahnya ke pemakaman (malam Jumat Kliwon pula, dimakamkan pukul 23.00 hingga tengah malam teng!). Tak banyak kata-kata, tapi semuanya berbicara.
"Ada suara yang tidak menggunakan kata-kata. Dengarkanlah." (Rumi)
Dalam buku Makrifat Sakit dan Kematian, Haidar Bagir menulis, "Mati sebenarnya adalah realisasi-puncak kerinduan primordial anak manusia untuk kembali ke asalnya." Rindu, ya, rindu, bahasa yang barangkali lebih syahdu ketimbang menyebutnya dengan "mati". Tentu, kita semua akan mengalami apa yang disebut "rindu" itu.
Dua bulan yang lalu, saya juga mengalami "rindu" itu dalam mimpi. Di sana, seluruh kisah hidup saya dinarasikan dengan sangat detail. Saya tidak tahu dari mana sumber suara itu. Terdengar, tapi tak tampak siapa yang mengatakannya. Lamat-lamat, saya diseret hingga mendekati sumber suara itu, semakin dekat. Narasi-narasi itu terus digaungkan dan tubuh saya makin lama makin panas. Saat tubuh saya memanas, saya melihat ada sesosok manusia di sebelah kanan saya, ia sedang salat. Tapi, berbentuk cahaya. Saya tidak tahu itu siapa. Lalu, cahaya itu menerangi sekitar hingga saya pun terbangun. Saya gelagapan. Saya berasa berada di alam lain. Mata saya pelan-pelan terbuka, yang saya lihat pertama kali adalah gambar (poster belajar anak-anak saya) yang tertempel di tembok, rukun iman dan rukun Islam. Lalu, saya melihat wajah anak saya, Hamka. Langsung saja saya ciumi ia. Artinya, saya masih berada di alam dunia. Saya berucap syukur masih diberikan kesempatan hidup. Oke, itu cerita saya. Bukan ini yang mau saya ceritakan dalam catatan ini.
Saya akan bercerita tentang anak murid saya, Adilah. Ia meninggal karena DBD yang sudah menyerang syaraf kepala. Ketika di perjalanan menuju rumahnya, tepatnya di mobil, rekan saya menyodorkan buku catatan anak ini yang diambil dari lemari almarhumah di asrama. Ada tiga buku catatan. Sebenarnya saya tidak mau baca karena saya yakin pasti akan bikin sedih. Tapi, saya coba kuatkan. Saya baca satu per satu. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, saya baca sampai tuntas hingga kepala saya pusing dan agak mual karena fokus baca di mobil.
Di awal catatan Adilah menulis
"Umi, Dilah pengen pulang, tapi ... jangan dibawa ribet, terkadang mulut salah berucap."
Ada frasa "pengen pulang" di situ yang maknanya ambigu. Dalam beberapa catatan lainnya, terutama menjelang kepergiannya, Adilah juga menulis
"Pengen pulang, kapan pulang, kapan Dirga Zicco ke Bekasi, kapan pulang, kapan pulang, kapan pulang, ...."
Dirga ini teman dekatnya waktu SD yang mungkin dirindukannya. Tapi, konteks "kapan pulang" dalam tulisan terus diulang. Juga pada beberapa tulisannya yang lain. Sebagian lagi tulisannya berisi kondisi batinnya terhadap sebagian temannya yang kurang suka kepadanya. Sedangkan ia tak punya teman cerita untuk mengungkapkan semuanya.
Dalam salah satu tulisan Adilah, ia bilang bahwa ia sangat menikmati menulis catatan hariannya itu. Sebagian lagi ia bilang ingin teriak, tapi tidak bisa. Ingin memaki, tapi tidak bisa. Ia terkontrol oleh motivasi dirinya yang ingin selalu dekat dengan Allah. Ia menahan semuanya. Ia sudah membatin luar biasa. Luapan-luapan dalam tulisannya mengisyaratkan kelelahan jiwa yang teramat dalam. Bahkan ada 3-4 catatan yang terus ia tulis, katanya apakah lebih baik harus mati saja agar teman-teman yang tak suka kepadanya itu senang. Begitu seterusnya. Dalam satu kondisi ia ingin bertahan, di satu sisi ia tak kuat menahan. Tubuhnya ada di tempat, tapi jiwanya meluap dan terperangkap.
"Gak boleh nyerah, ingat ada orang yang harus kamu banggain yaitu orang tuamu. Jadi harus semangat, oke. Orang tua anti (baca: kamu) aja semangat nyari uang, masa anti (baca: kamu) nggak."
Menulis bagi Adilah menjadi ruang meditasi untuk meminimalisi rasa sakit yang begitu dalam baginya. Hanya itu cara satu-satunya ketika ia tak percaya kepada siapa pun manusia di dunia ini selain Tuhan dan catatan hariannya.
Saya teringat dengan diri saya, zaman SMA, di mana rasa sakit itu saya tuangkan ke dalam catatan harian saya. Karena saat itu, hanya medium itu yang bisa saya tulis. Batin saya rusak begitu parah. Saya tak bisa meluapkan kepada manusia, bahkan orang tua. Catatan harian itulah yang melegakkan batin saya. Barangkali sejak saya berkenalan dengan diary, lalu beranjak kepada sastra dan musik, segala unek-unek bisa saya tumpahkan semua ke arah sana. Unek-unek menjadi bentuk lain: seni. Dan beban saya "yang terparah itu" kian terlampiaskan. Menulis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi ia bisa menjadi pereda nyeri segala masalah. Seperti mungkin juga surat-surat R.A. Kartini yang pernah kita baca itu. Begitu berharganya luapan-luapan dalam diri saat dituangkan dalam tulisan. Begitulah yang saya rasakan saat membaca catatan anak murid saya itu.
Lalu, saya juga teringat catatan Rainer Maria Rilke kepada Franz Kappus.
"Selama ini Anda hanya melihat keluar, dan pada saat ini hal itu adalah satu-satunya yang mengganggu kreativitas Anda. Tidak ada orang yang bisa menasihati Anda atau membantu Anda untuk menjadi penulis yang lebih baik—tidak seorangpun. Hanya ada satu cara bagi Anda untuk melakukannya: Anda harus melihat ke dalam diri Anda sendiri. Carilah alasan kenapa Anda ingin menulis; rasakan apakah alasan itu telah menanamkan akarnya jauh ke dalam diri Anda, hati Anda, hingga Anda lebih baik mati daripada diharuskan berhenti menulis. Di atas semua itu, Anda perlu memberanikan diri untuk bertanya kepada diri Anda sendiri: haruskah Anda menulis? Carilah jawabannya di dalam diri Anda. Jika jawaban dari pertanyaan itu sifatnya positif; atau bila Anda menjawab pertanyaan itu dengan lugas dan sederhana: 'Saya harus menulis,' maka saya sarankan bagi Anda untuk mulai membangun hidup Anda sesuai dengan jawaban tersebut. Setiap momen dalam hidup Anda harus Anda dedikasikan untuk menulis. Ini adalah kesaksian Anda."
Adila punya alasan kuat kenapa ia harus menulis, yakni sebagai kesaksian. Saya menyaksikan, malaikat menyaksikan, dan Allah juga menyaksikan. Semua ini pasti untuk diambil pelajaran. Kita jangan berpikir bahwa orang lain sekuat itu saat menghadapi masalah, tapi kita juga jangan berpikir bahwa kita selemah itu dalam menghadapi masalah. Manusia, siapa pun, di mana pun, butuh tempat meluapkan emosi. Kadang, kita lebih memilih bercerita kepada buku ketimbang kepada manusia. Menulis dengan surat dan kata-kata, karena dengan cara itu kita bisa bebas meluapkan perasaan seperti halnya luapan dalam sebuah roman, kisah Hayati dan Zaenudin yang masyhur itu. Dan, terakhir, dengan menuliskannya, kita abadi. Semoga kisah almarhumah bisa abadi dan menebar kebermanfaatan. Semoga Allah menempatkan almarhumah di jannah-Nya. Amin.
"Perpisahan hanya untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya. Karena untuk orang yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak ada kata perpisahan." (Rumi)
Kiara, 21 Nov 2023
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).