Cerpen Aveus Har
Aku menjengukmu secara diam-diam sebelum badai memorakporandakan semesta alam. Kau melihatku dan bergerak lamban, meninggalkan bangkumu untuk menyongsong. Kita berpelukan sebagai sahabat lama yang baru bertemu. Aku merasa tubuhmu dingin. Terlalu dingin sehingga sanggup membuat embun di pucuk-pucuk bulu tubuhmu dan membasahi jubahku. Dingin yang muskil karena aku mengenalmu sebagai iblis yang lebih panas dari bara.
Ketika aku bertanya kabar, kau tersenyum, menggelengkan kepala. Dari gelengan itu, air memercik pula dari ujung-ujung rambutmu, mempertegas ketakjubanku: hanya Tuhan yang tahu bagaimana kau bisa serupa ini.
Kau kemudian membalik, berjalan kembali ke bangku besi di sisi dalam ruangan. Aku mengikutimu, mengira-ngira telah seberapa lama hawa dingin itu menguar dari tubuhmu sehingga lempengan besi ini pun sedingin salju. Aroma lumut yang menepel di dinding menyusupi celah hidung.
Lalu, kau bercerita tentang Kafar dan Karael. Aku tahu cerita itu, tetapi kau tampak begitu ingin bercerita dan aku tidak keberatan mendengarnya dari mulutmu, selagi kita masih punya waktu sebelum badai.
“Ketika terlahir sebagai saudara kembar,” katamu, memulai cerita, “Karael menangis melengking sebagaimana bayi.”
Sementara Kafar tertawa-tawa dengan suara seperti lenguh sapi hingga ayahnya menanggung malu tak terperi dan diam-diam menangis dalam hati. Sebab, setiap kelahiran seharusnyalah ditandai dengan tangis bayi dan tawa orang yang menyambutnya, sedangkan kematiannya akan ditandai dengan tangis orang yang kehilangan dan tawa orang yang pergi. Tawa yang dikarenakan akan menuju Nirwana.
Begitulah seharusnya takdir makhluk sempurna.
Namun, Kafar seolah telah menunjukkan takdirnya yang berbeda. Bahkan sosoknya tampak sedemikian buruk rupa, dengan wajah begitu lebar sehingga organ lain yang menempel padanya tampak terlalu kecil. Rambutnya serupa kawat. Tubuhnya beraroma daging kambing yang dibiarkan teronggok dua atau tiga hari. Kulitnya lebih kasar dari kulit salak.
Ayahnya mendidik mereka untuk membenci dan memusuhi iblis sebagaimana ajaran moyang mereka. Baik Kafar maupun Karael seolah ditakdirkan sebagai pengendus iblis paling hebat: serupa apa pun menyaru, mereka tak dapat ditipu.
“Iblis sedang bertahta atas manusia kala itu,” kataku, ikut mengingat cerita itu.
Kau mengangguk-angguk. Ada cahaya yang berpendar di kedalaman matamu.
Itu adalah suatu waktu, ketika bangsa manusia tengah terpecah dan tercerai berai. Kehidupan mereka bagai kumpulan-kumpulan hewan liar sehingga iblis menjadi penguasa dunia yang nyata.
Kelahiran Kafar dan Karael kemudian menjadi awal peperangan kembali manusia melawan iblis. Kecakapan dan ketangguhan mereka bertempur telah tampak bahkan sejak mereka kanak-kanak. Keberanian dan kecakapan mereka membasmi iblis itu membakar semangat perlawanan yang tengah memudar pada bangsa manusia.
Maka, dalam Kerajaan Iblis, nama Kafar dan Karael diucapkan dengan kegeraman yang gentar, dan kegentaran yang geram. Kekalahan iblis di ambang mata. Kemenangan manusia adalah niscaya.
Kafar dan Karael tumbuh dalam elu-eluan. Namun, Kafar tetap menjadi sosok yang terkutuk dalam kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut karena kelahiran Kafar yang dengan tawanya adalah tanda petaka. Tanda itu diseteguhkan kemudian.
Suatu malam purnama yang celaka, ketika awan hitam menghalangi cahaya bulan dan angin mengguncang pohon seolah hendak mematahlantakkan batang-batang kokohnya, sesosok iblis perempuan nan jelita menghadang perjalanan Karael dan Kafar. Saat itu waktu menjadi beku dan angin berhenti untuk menunggu: apa yang akan mereka lakukan pada makhluk itu ketika hidung mereka mengendus bau yang telah diajarkan moyangnya serupa kucing mengajari anak-anaknya mengenali tikus?
Karael menghunus pedang. Namun, Kafar justru menjadikan tubuhnya sebagai penghalang.
“Tidak ada iblis yang sebegitu bodoh menyerahkan tubuhnya dirajam,” kata Kafar. “Apa yang membuatmu berdiri menghadang?”
Iblis perempuan itu bersimpuh dan bersujud. “Aku iblis yang bertobat dan diusir ayahku,” katanya. “Adakah di antaramu sudi menjadi imamku?”
Kebengisan Karael telah merenggangkan semua otot di tubuhnya.
“Tidak ada iblis laknat yang bertobat melainkan muslihat!” serunya. “Menyingkirlah, Kafar. Pedangku ini telah siap meluluhlantakkan tubuhnya.”
Namun, Kafar tidak menyingkir, melainkan menentang.
“Sesungguhnya Tuhan Maha Penerima Tobat. Berdirilah,” katanya.
“Apa kau sudah gila, Kafar?” Karael berseru tak percaya. “Aku tidak akan sudi menjadi imam bagi perempuan iblis!”
Kafar, tanpa keraguan, berkata, “Aku yang akan menjadi imam baginya.”
Ya, Kafar. Laki-laki yang membawa isyarat cela untuk takdir hidupnya. Dia menikahi iblis perempuan; bukankah itu serupa mempertebal kepercayaan bahwa kesesatanlah jalan hidupnya?
“Ayah Kafar melaknat anaknya,” kataku menyela.
“Aku juga melaknat iblis perempuan itu!” katamu. “Tapi mereka bersikukuh.”
“Dan mereka rela pergi demi apa yang mereka yakini,” sambungku.
“Tapi Karael satu-satunya panglima manusia yang sempurna,” selamu.
“Panglima yang bengis....”
“Tapi kelahirannya tidak membawa isyarat celaka!”
Aku tahu, sungguh, aku tahu apa yang tidak kau tahu; aku tidak hendak berdebat tentang itu.
Sepeninggal Kafar, Karael menjadi satu-satunya panglima pembasmi iblis yang tersisa, dan dia akhirnya menjadi pemimpin bangsa manusia. Hingga berwaktu-waktu kemudian, pembasmian iblis tak pernah berkesudahan.
Pada anak-cucunya, Karael mengajarkan semua ilmu perang, menanamkan keberanian, ketegasan tanpa toleran. Kemampuan mengendus iblis turun temurun darinya hingga anak-cucu Karael menggetarkan semesta iblis.
Pembasmian iblis tiada berjeda. Hingga iblis pergi dan tidak pernah lagi kembali untuk berhadapan dengan manusia. Hingga iblis mengakui kalah dan bersumpah tak akan hendak lagi bertemu anak-cucu Karael, manusia sempurna, yang di dadanya ada api menyala-nyala.
“Kecuali satu iblis,” kataku, mengingatkan.
Kau mengangguk, dan menyahut, “Ya, akulah, iblis yang memilih jalan penebusan sejak semula.”
Terdengar suara tapak mendekat. Dua penjaga membuka pintu. Hawa tubuh mereka seketika membuat ruangan panas. Panas yang tidak mudah dipercaya mengingat aku mengenal manusia dari tanah liat yang basah. Panas itu menguapkan embun dan kelembaban ruangan.
Mereka membawamu keluar.
Aku menunggu.
Aku bisa ikut serta, tetapi aku memilih menunggu sampai kau digiring kembali ke dalam penjara.
“Apa yang mereka dakwakan kali ini?” tanyaku.
“Penghancuran rumah-rumah ibadah,” sahutmu.
“Tapi kau tidak melakukannya.”
“Ya, mereka yang melakukannya. Tapi bangsa Karael terlalu suci untuk menjadi salah. Sejak semula. Sejak penciptaan. Sejak ditakdirkan bahwa iblislah yang membuat mereka sesat.”
“Iblis sudah mereka kalahkan, dan tidak kembali.”
“Kecuali satu yang kembali.”
“Ya, kecuali satu: engkau, iblis yang sejak semula menginginkan jalan penebusan untuk kembali ke Nirwana dengan meminta sang anak mengabdi pada Karael.”
Matamu menyala-nyala. “Ya, Karael! Pemilik jalan menuju Nirwana.”
“Tapi Karael tidak bersedia.”
“Dan anakku terpikat pada Kafar.” Kau menggeram. “Kafar yang celaka!” Suaramu mendadak menggelegar. “Ingatlah bahwa kelahirannya disambut tangis sang ayah sedangkan dia tertawa tak lazim!”
Pandanganku menembus atap, melongok langit. Gelap di sana seolah memberi tanda: waktuku, waktu kita, tak lagi lama. Kita harus pergi.
“Ketahuilah,” kataku, “Sesungguhnya sebentar lagi badai akan ditimpakan untuk bangsa yang pongah pada kelebihsempurnaan yang dilekatkan pada mereka. Pongah pada akal yang kemudian menjadi bebal. Dan pada hati yang kini menghitam legam.”
Kau menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin,” katamu, seolah lupa siapa aku. “Bukankah Kafar si manusia celaka yang menikahi iblis dan bukan Karael?”
Maka, aku memberitahumu tentang Kafar dan anakmu, yang tak kau tahu.
“Sejak diusir ayahnya, Kafar membawa anakmu mendiami belahan yang jauh. Pada keturunannya, dia tidak mengajarkan perang untuk melawan, melainkan untuk bertahan. Anak-cucu Kafar belajar kasih dan ampunan, sebagaimana moyang mereka menjalin cinta. Kafar mengajari anak cucunya agar tidak silap pada rupa karena hati sesungguhnya adalah panglima kehidupan.”
Kau masih berusaha menyangkal. “Tapi takdir telah disingkapkan dalam tanda kelahiran Kafar yang tertawa.”
“Tidak ada yang mengetahui takdir, melainkan mengira,” kataku.
Kau memandangku, seolah baru menyadari tiada pernah aku berkata dusta.
“Doa anakmulah yang membawaku ke sini untuk menyelamatkanmu, dan membawamu pulang ke Nirwana,” kataku.
Kau seperti linglung.
Aku menggandeng tanganmu, menyelimutkan jubahku yang dirajut dari cahaya untuk tubuhmu. Mudah saja bagiku membawamu pergi, semudah aku datang tanpa sepengetahuan penjagaan. Namun, aku sengaja melewati para penjaga dengan menampakan diri sehingga mereka melihatku, melihat kita.
Mereka berteriak-teriak geram. Mereka menyeru nama Tuhan. Mereka mengejar kita, tetapi itu hanya sebuah kesia-siaan.
Ketika kita mengambang berpindah alam, kau bertanya, “Tidakkah mereka mengenalmu, Sang Utusan?”
Aku tersenyum.
“Mereka hanya berlaku seolah mengenalku, sesungguhnya tidak,” kataku. “Sesungguhnya, mereka bahkan tak mengenal Tuhan yang mereka sebut.”
Badai besar ditimpakan di negeri Karael, pada orang-orang yang tubuhnya panas serupa bara, yang mudah terbakar dalam amarah, yang mendakwa iblis untuk setiap kesesatan yang mereka lakukan.
______
Penulis
Aveus Har tinggal di Pekalongan. Bekerja di Laboratorium Ide dan Cerita (LABITA). Novel terbarunya berjudul Tak Ada Embusan Angin dari Naskah yang Menarik Perhatian Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2023.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak.com