Cerpen Iin Farliani
Dua pemuda dengan tampang mencurigakan sejak pagi tadi berjongkok di bawah pohon mangga yang berada di halaman, sambil terus mengawasi rumah sewa yang kutempati ini. Mereka berjalan gelisah, bolak-balik dari halaman menuju beranda, mengetuk pintu dengan gusar seakan ada suatu kabar yang mesti lekas disampaikan. Tak ada jawaban yang mereka terima. Mereka pun mencoba lagi memanggil-manggil dengan suara lantang.
Ini sudah sering kali terjadi. Mula-mula satu-dua orang muncul, pemuda ataupun seorang paruh baya menghampiri rumah sewa ini, memanggil nama Nyonya Yoss. Bila tak ada sahutan, mereka mencoba mendekat, memukulkan buku jari-jari mereka pada pintu. Kadang terdengar kasar, kadang hanya ketukan pelan. Bila tetap tak ada jawaban dan Nyonya Yoss yang mereka cari tidak muncul, mereka mulai mengelilingi halaman. Memeriksa jendela dari luar, mendekatkan wajah pada kaca, memelototkan mata hendak meyakinkan diri apakah benar tak ada seorang pun di dalam. Setelah percobaan berulang-ulang yang gagal, mereka pun menyerah lalu pergi.
Awal mula tinggal di rumah sewa ini, aku menemui orang-orang yang bertandang itu. Menerangkan kepada mereka bahwa Nyonya Yoss tidak lagi tinggal di rumah ini.
“Rumah ini telah disewakan kepada saya. Nyonya Yoss sekarang tinggal di seberang rumah ini,” ucapku sambil menunjuk pada rumah di seberang yang dipisahkan oleh kebun pisang yang cukup luas. Rumah sepetak dengan susunan tembok bata tak beraturan adalah tempat tinggal Nyonya Yoss sekarang. Ia membuka jasa cuci pakaian di sana sambil mengurus bebek-bebek peliharaannya.
Sesudah memberi keterangan ini, tamu-tamu salah alamat itu bergumam “oh” yang panjang. Tiap kali mereka bergumam, mereka meminta diri, lalu berjalan cepat-cepat menuju rumah Nyonya Yoss.
Di antara orang-orang yang datang mencarinya, ada yang datang untuk keperluan praktis. Ada tukang yang diminta memperbaiki keran di kamar mandi, pengepul yang menawar mangga-mangga milik Nyonya Yoss. Aku menyaksikan transaksi yang melibatkan debat panjang itu sebab pohon mangga milik Nyonya Yoss berbuah amat lebatnya dan para pengepul itu memberi tawaran beli yang murah. Ada juga tukang kayu yang diminta secara khusus memugar kandang bebek Nyonya Yoss. Semua itu berlangsung di halaman rumah sewa ini. Kegiatan-kegiatan seperti itu yang berlangsung berhari-hari dan dengan mudah kusaksikan dari jendela kamar, membuat timbulnya kesan seolah-olah aku hanya menumpang menginap di rumah Nyonya Yoss.
“Kau tinggal sendiri. Pemuda berumur sepertimu seharusnya sudah mencari istri,” ucap Nyonya Yoss suatu hari ketika ia datang membawakan pakan bagi bebek-bebeknya. Ada beberapa kandang yang masih disisakan olehnya di halaman rumah yang disewakannya ini.
“Nyonya, apakah Nyonya tidak memberitahu pada teman-teman Nyonya kalau sekarang Nyonya tinggal di rumah seberang kebun pisang ini? Apakah Nyonya tidak memberitahu kalau sekarang sayalah yang menyewa rumah ini?”
Nyonya Yoss terkekeh-kekeh. Ia menggiring bebek-bebeknya menuju kandang. Ia meneriakkan umpatan dan melecut pukulan dengan sapu lidi. Bebek-bebek itu berjalan miring, membunyikan kaok yang panjang. Tampak malas, namun perlahan-lahan menurut juga ketika digiring semakin masuk menuju kandang.
Nyonya Yoss perempuan tua yang kuat dan cekatan. Barangkali umurnya masih sekitar enam puluh tahun. Ia seakan meningkahi umurnya yang tua dengan suara lantang yang sering ia serukan saat bercakap pada siapa saja. Ia berbicara dengan nada berteriak kepada orang yang hanya berjarak satu meter dengannya. Ia memberi tekanan pada kalimat-kalimat tertentu seolah menandakan adanya ancaman. Penebalan yang seakan diperlukan demi berjaga-jaga dari bahaya.
Aku bertanya sekali lagi dengan menerangkan secara lugas kesulitan yang kualami tiap kali tamu-tamu salah alamat itu datang. Aku bercerita panjang lebar, betapa aku sudah memberi keterangan lengkap kepada mereka. Bahkan di antara mereka ada orang-orang sama yang pernah berkunjung, tapi anehnya mereka tetap datang mencari Nyonya Yoss ke rumah sewa ini, seolah pemberitahuan yang pernah kusampaikan sama sekali tidak berarti bagi mereka.
“Rumah ini disewakan, jelas? Nyonya Yoss tinggal di seberang kebun pisang ini. Silakan bisa langsung berjalan ke sana! Sekali lagi, rumah ini saya yang menyewa. Nyonya Yoss tidak tinggal di sini lagi. Tidakkah cukup jelas? Silakan kalian pergi!”
Nyonya Yoss membereskan sisa-sisa pakan bebeknya. Ia mendekat ke arahku dan berkata, “Kuharap kau cepat punya istri supaya ada yang mengurusimu, Nak!” ucapnya sambil berlalu menuju rumahnya di seberang. Ia sama sekali tidak menanggapi keluhanku. Apakah ia tuli?
Esoknya tamu-tamu asing tetap berdatangan. Selang dua hingga tiga hari sekali, ada saja yang datang. Aku memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan tamu-tamu itu. Aku melewatkan waktu untuk bersembunyi. Bila dari arah halaman terlihat orang berjalan, aku lekas-lekas menutup pintu, menarik gorden secara sigap, memadamkan lampu kamar yang biasanya dibiarkan menyala. Lama-lama ini menjadi suatu kebiasaan. Sesudah memastikan tak ada pintu maupun jendela yang terbuka, aku berlaku sunyi. Berdiam diri di tempatku, berupaya keras tak menimbulkan suara apa pun agar mereka percaya rumah ini kosong.
Aku berjaga di depan jendela, menghadap meja tulis yang kurapatkan ke tembok. Pekerjaanku sebagai penulis menghendakiku untuk berada dalam suasana tenang agar lebih mudah berkonsentrasi. Itulah mengapa aku begitu jengkel dengan kedatangan orang-orang asing itu. Di luar, masih terdengar ucapan salam bersahutan. Ada jeda sejenak, sesudah yakin tak ada penghuni rumah, suara langkah kaki pun terdengar bergegas meninggalkan halaman. Dalam lamunanku, sambil sesekali mengintip sedikit keluar jendela, aku mulai berpikir, barangkali Nyonya Yoss tidak pernah berniat sedikit pun memberitahu tempat tinggalnya yang baru kepada handai tolannya juga perkara rumahnya yang disewakan ini.
Suatu hari ketika selesai menjemur pakaian, Nyonya Yoss datang menemuiku. Ia membawa gulungan kalender dan secarik surat. Ia mengenakan kacamata baca. Tampangnya terlihat misterius dengan bingkai tebal kacamata itu. Ia membuka gulungan kalender dan menunjukkannya kepadaku.
“Lihat! Kau ingat masuk ke rumahku tanggal berapa? Hitunganku tepat sembilan bulan yang lalu. Tersisa tiga bulan lagi. Hanya ingin memberitahu kalau tiga bulan lagi, kau harus segera pindah dari sini. Aku memberitahu ini padamu, pemuda yang baik hati. Barangkali aku yang salah mencatat kapan semestinya kau bisa pindah dari rumah ini.” Nyonya Yoss menyerahkan padaku surat yang tadi dipegangnya. Ternyata di atasnya, telah tercatat pula dalam tulisan tangan, tanggal masuk sewa dan tanggal keluar juga jumlah biaya rumah yang baru separuh dibayarkan, sisanya dalam bentuk tulisan angka yang rumit.
“Tidak ada yang salah. Hitungan Nyonya sudah tepat. Hanya saja, tidak bisakah Nyonya Yoss memberi tambahan waktu bagi saya untuk tinggal lebih lama? Tiga bulan itu bukan waktu yang cukup untuk menemukan hunian baru yang nyaman dengan harga cocok.”
“Maaf, anak muda. Sudah tidak bisa lagi. Bukankah aku pernah bercerita padamu, anakku yang perempuan sebentar lagi akan melahirkan. Ia ingin tinggal dekat denganku. Ia akan menghuni rumah ini. Rumah ini warisan mendiang suamiku. Ini rumah keluarga besar biasanya berkumpul. Kau lihat sendiri halaman rumah ini cukup luas. Aku juga akan membantu mengurus bayinya nanti. Cucuku tersayang akan lahir! Kabarnya ia bayi laki-laki. Apa yang bisa aku lakukan selain tentu memberinya kenyamanan tempat tinggal?”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Menjelang berakhirnya masa sewa, aku sering melewatkan waktu duduk di beranda. Aku memandangi pohon mangga, melihat buah-buahnya yang jatuh berserakan. Sebagian ada yang telah koyak dimakan burung. Lalu pandangku beralih ke arah tiang jemuran dari bambu, kandang bebek Nyonya Yoss, tanaman-tanaman miliknya yang ditanam dalam kaleng-kaleng bekas cat, gundukan sampah yang akan dibakar esok hari. Ya, Nyonya Yoss memang memperlakukan rumah yang ia sewakan ini seolah masih ditempati olehnya. Tindakannya yang terkesan semaunya barangkali karena aku dianggap hanya seorang lajang dengan peruntungan tak jelas. Barangkali sejak mula, ia tidak pernah rela rumah ini ditempati orang lain.
Suatu hari, aku melihat seorang lelaki tua bertubuh tegap hendak memasuki halaman. Sebelum ia masuk, aku sudah lebih dahulu memasang badan di hadapannya. Dengan sigap aku memberitahu, “Kalau ingin menemui Nyonya Yoss, rumahnya ada di seberang setelah melintasi kebun pisang.”
Lelaki tua berjanggut abu-abu itu mengernyit heran. Lantas ia tertawa, “Saya tidak sedang mencari Nyonya Yoss!” Lalu ia diam sejenak, mematutiku dari ujung kaki hingga kepala. “Sepertinya kamu orangnya. Saya ingin memberitahumu kalau sebenarnya Nyonya Yoss itu sinting. Ia sering berbicara sendiri di tengah malam sambil memandangi langit. Kau tahu, orang-orang yang sering datang itu? Mereka kenalan dari mendiang suaminya yang semasa hidupnya sering berutang. Karena tidak bisa segera membayar, ia selalu bercerita kalau ia masih tinggal di rumahnya yang lama. Ia bisa mengawasi tiap orang yang datang dari rumah satunya lagi lalu menyiapkan ancang-ancang untuk melarikan diri sehingga tidak ada di antara orang-orang itu yang berhasil menemuinya. Dan ia juga menyebarkan cerita kalau kau adalah putranya yang pernah hilang itu.”
“Maaf?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku berpikir barangkali laki-laki tua berjanggut abu-abu inilah yang benar-benar sinting.
“Ya! Putra satu-satunya Nyonya Yoss menghilang di hari kematian ayahnya. Mungkin ia juga tahu kalau ayahnya punya banyak utang dan tidak mau membantu Nyonya Yoss menyelesaikannya. Kaulah yang disebutnya putranya yang hilang itu. Ia bercerita kepada siapa saja!”
“Kepada siapa saja?” tanyaku benar-benar heran.
“Ya! Kepada siapa saja!” jawab lelaki tua itu tegas. Ia segera berlalu menuju halaman rumah sewa. Tetapi setelah beberapa langkah ia berbelok ke kebun pisang dan langkahnya mengarah terus menuju rumah di seberang.
________
Penulis
Iin Farliani, lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Karya-karyanya telah terbit di berbagai media baik cetak maupun digital serta terangkum dalam banyak buku antologi bersama. Buku tunggalnya yang sudah terbit adalah kumpulan cerpen Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) serta kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022). Tahun 2022, sebagai emerging writer, ia diundang mengikuti Makassar International Writers Festival (MIWF), serta Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Sejak tahun 2013 bergiat di Komunitas Akarpohon, kolektif sastra berbasis di Mataram NTB, yang aktif menjalankan program kelas penulisan, diskusi, promosi, penerbitan, distribusi, pengarsipan, dan manajemen sastra, serta menyelenggarakan festival dan kolaborasi lintas disiplin. Dalam waktu dekat akan terbit buku kumpulan cerpen keduanya.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com