Novel Syamiel Dediyev
#1
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku. Keras sekali hingga berbekas. Tamparan dari seorang lelaki yang begitu sayang kepada anak gadisnya.
"Salim, kamu itu sudah Abah kasih kepercayaan untuk jagain anak Abah, kenapa kamu bisa teledor? Abah sangat kecewa sama kamu!"
"Abah, jangan marahin Salim. Bukan salah dia. Semua salah Awa sendiri. Salim tidak bersalah," ujar Halwa dengan air mata yang terus menetes.
"Sabar, Nak" ujar Bu Haji kepada Halwa dengan sabar sambil memeluk dan sesekali mengelus kepala anak kesayangannya.
"Memang ini salah saya Pak Haji. Saya minta maaf, tapi saya juga nggak bisa jagain Awa dua puluh empat jam. Awa sudah dewasa," ujar Salim.
"Alasan saja! Harusnya kamu lindungi dia. Bukan membiarkan dia seperti orang terlantar. Lihat, bibirnya sobek! Kamu harus tanggung jawab."
"Baik Pak Haji. Kalau begitu, nikahkan kami saja sekalian, biar saya bisa fokus menjaganya."
"Apa?!" teriak ketiganya secara bersamaan. Pak Haji, Bu Haji, dan Halwa menatapku kaget.
"Aih, yah, nyangkin dusun sire iki Salim. Kamu itu masih kuliah, mau dikasih makan apa anak kite," ujar Pak Haji marah.
"Salim, yang bener, Nak. Jangan ceroboh. Jangan bikin Abah tambah marah," ujar Bu Haji.
"Maaf Bu Haji, Salim nggak punya waktu lagi, terpaksa."
"Wis balik mane ning umah, aje merene-merene maning lamun orende celok!"
"Sabar, Abah. Jangan emosi. Mungkin Salim khilaf," ujar Bu Haji menenangkan suaminya.
"Ya udah Pak Haji, saya pamit. Maaf sekali lagi atas keteledoran saya."
Aku pamit sambil mencium tangan Pak Haji dan Bu Haji.
"Awa, sana antar Salim ke depan," ujar Bu Haji.
Saat dipintu gerbang, Halwa bertanya.
"Salim, kamu serius? Jangan bercanda, ini bukan main main!"
"Aku tidak sedang main-main, Awa. Aku serius. Yang aku butuhkan saat ini adalah jawabanmu, bukan alasan."
"Sam..., ini serius, bukan main main," ujar Halwa dengan serius--Sam adalah nama panggilan Halwa kepadaku hanya ia yang memanggilku dengan Sam.
"Siapa yang bilang aku sedang main-main?"
"Aku tahu, aku mungkin tidak pantas bagimu. Aku sadar, tapi bolehkan aku mendengar jawabnya darimu. Kamu harus tahu, kita nggak bakalan bisa bersama kalau kita nggak sepakat untuk bersama."
"Tapi, semua butuh proses Sam. Nggak semudah itu."
"Maaf Awa, i just need your answer not the resson."
"Kenapa kamu seperti ini. Kamu beda. Bukan Sam yang aku kenal."
"Kamu ingin melihat pipi sebelah kiriku kena damprat lagi?"
"Nggak Sam, tapi aku butuh tahu alasan kamu."
"Because I love u that the resson."
"Sam..., kamu...."
"Iya, aku suka kamu Awa. Aku ingin menjagamu sampai akhir hayat meski aku tahu aku tak pantas di sisimu. Tapi biarkanlah aku utarakan rasaku ini. Aku butuh jawaban agar aku tahu apa yang harus aku lakukan ke depan nanti. Aku tidak akan memaksamu karena aku tahu aku bukan sesempurna yang kamu inginkan sebagai pendamping hidup."
"Tapi Sam, aku butuh waktu please...."
"Oke. Aku beri kamu waktu satu bulan untuk merenunginya."
"Sam, bener-bener aku nggak ngerti kenapa kamu ini?"
"Kamu akan tahu suatu saat nanti kenapa aku seperti ini Awa. Percayalah."
(Bersambung)