Novel Syamiel Dediyev
#3
Sore ini perempatan Ciruas terlalu rapat. Ramai hiruk-pikuk klakson yang sahut-menyakut arogan dengan bahasanya sendiri. Perempatan ini adalah perempatan paling tak pernah akur. Empat penjuru seakan-akan punya aturannya sendiri sehingga sang lampu merah hanya merasa dicueki tak punya kuasa.
Setelah menunggu bersusah payah dan mengambil jarak yang lumayan jauh untuk sekadar berbelok putar arah, akhirnya kami sampai ke lokasi Bakso Aci Akang, salah satu favorit kami.
"Selamat sore Mang Udin! Gimana, rame gak hari ini?" tanyaku pada tukang parkir.
"Biase bae, kaye biasane," jawab Mang Udin.
"Oh, yang sabar aja ya Mang, rizkimah udah ada yang ngatur. Titip motor ya."
"Siap bos!"
"Hayuk masuk!" ujarku ke Halwa.
"Beneran gak mau makan?” tanyaku.
"Gak, udah kenyang."
"Hadeh, kenapa kamu ini? Apa kita pulang aja?"
"Jangan. Ada yang mau aku omongin."
"Ya, udah kalo begtu. Aku laper, pesen dulu ya."
Saat bayar di kasir, aku lihat anak itu masih saja gelisah dan sesekali seperti menahan napas. Entah kenapa anak ini tidak biasanya seperti itu. Sudah dua hari ini mood-nya turun naik.
"Ini Aa, bakso dua, lemon tea-nya dua," ujar sang pelayan.
"Kok, pesen dua? Aku kan gak mau makan," tanya Halwa.
"Udah makan aja."
Wajahnya masih terlihat sendu, tak mau ia menatapku seperti biasanya. Tiba-tiba semua bakso dipindahkan ke mangkokku, hanya menyisakan 1 bakso di mangkoknya."
"Kebanyakan Awa kalau kayak gini."
"Oh, iya, ngomong-ngomong kenapa kamu keliatan aneh dari pagi?"
"Gak apa-apa?"
"Hei, aku tahu, pasti ada sesuatu yang terjadi denganmu."
Tak lama Halwa membuka tasnya dan mencari sesuatu, sebuah amplop tosca pun keluar.
"Ini surat buatmu dari Fani. Dia kemarin menitipkannya padaku," ujar Halwa dengan wajah cemberut dan terkesan terpaksa memberikan surat itu.
"Bercanda kamu, mana mungkin dari si Fani?"
"Ini, lihat aja, namanya gede FROM FANI."
"Menurutmu isinya apaan?"
"Ya gak tahulah, mana berani aku membukanya."
"Menurutmu gimna?"
"Mana kutahu."
"Setidak-tidaknya kamu sahabatku Awa, bisa kan kasih masukan?"
Terlihat wajah Halwa mulai berubah agak sinis. Perlahan sesekali dia terlihat menghela napas dan jemarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk meja makan warung bakso.
"Gini yah, cowok sok manis. Dia itu pinter, sama kayak kamu Salim. Dia cantik, mana ada pria yang akan menolaknya. Kamu harus beruntung mendapatkannya."
"Menurutmu ada gak pria yang bisa menolaknya?"
"Mungkin hanya pria gila yang menolak cintanya si Fani."
"Menurutmu apakah aku pantas?"
"Gak tahulah. Masa bodo. Itu urusan kalian."
"Hei, kok jadi kayak gini?"
"Please, jangan berubah. Kamu harus selalu bahagia bersamaku."
"Aku gak tega melihat bestie-ku sedih."
"Aku hanya wanita biasa Sam. Kadang lelah terbawa suasana juga," jawab Halwa.
"Kenapa sih kamu kayak gini, beda. Kemarin masih baik-baik aja."
"Aku lagi datang bulan, puas! Hayu buruan balik, males aku lama-lama."
"Iya, iya."
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan dengan diam tanpa kata seperti biasanya. Hanya membawa wajah yang kaku tanpa senyum. Sesekali aku coba bertanya padanya namun berakhir dengan diam tanpa balas.
"Berhenti dulu di Indomart ya."
"Buat apa?"
"Mau es krim?"
"Gak."
"Beneran?" tanyaku lagi.
"Bis gak sih gak usah sok baik? Please, aku cuma pengen nyampe rumah!"
"Iya, maaf, kita jalan lagi."
Kuarahkan spion kiriku ke wajahnya dan ku lihatmatanya memerah dan perlahan menetes air mata. Saat kulihat wajahnya, dia pun menghindar dan sesekali mengusap air matanya.
"Nanti antar aku sampai gerbang saja, jangan masuk ke rumah ya," pinta Halwa.
"Iya, maaf."
Sampailah di depan gerbang rumahnya. Kuambil tisu di tasku, kuberikan kepadanya.
"Kamu gak apa-apa?" tanyaku.
"Iya, gak apa-apa."
"Usap dulu air matamu. Jangan sampai orang tuamu tahu, bisa habis kita berdua."
"Ia makasih, aku gak apa-apa, kok."
"Aku tahu kamu cewek. Kuat Awa."
"Aku masuk duluan ya. Terima kasih dan mau mengantarku," pamitnya.
Biasanya kau kembali dengan cerita dan senyum manis yang menawan. Kali ini aku melihatmu menangis. Ini adalah pertama kali aku melihat kamu menangis Halwa.
"Maafkan aku," ujarku dalam hati.
Perlahan kupanggil Halwa dari gerbang.
"Oh, iya Halwa, katamu hanya orang gila saja yang menolak cintanya Fani."
"Iya, kenapa gitu?"
"Yah, mungkin akulah orang gilanya itu."
Perlahan wajah sendu itu berubah kembali menjadi wajah yang manis, rileks, dan senyum indahnya melayang menyapaku, membuat hatiku sedikit lega setelah ketegangan tadi. Tak tega aku melihatnya dan tak ingin sedikit pun aku melukai hati bestie-ku.
"Masa?"
"He eh. Bye, selamat bertemu kembali besok. Aku padamu Awa.".
"Ia hati-hati."
(Bersambung)