Novel Syamiel Dediyev
"Beli
satu biji? Pulpen satu biji? Jauh-jauh kemari? Ayolah Fani ini gak funny tahu
gak?" ujarku pada Fani dengan sedikit heran.
"Kenapa
sih, yang penting kan beli, berapa pun jumlahnya," jawab Fani.
"Tapi,
ini bener-bener gak lucu Fani," ujarku.
Akhirnya
kuambil satu bundle lostleef yang kutambahkan dalam kantung belanjaan Fani.
"Apa
ini?" tanya Fani.
"Buat
aku. Lostleefku abis," jawabku.
”Haha,” Fani
tertawa.
"Malah
ketawa. Hadeh.... Kalau bukan karena wajah kamu yang gak berdosa ini, akan
aku...," ujarku dengan gemas.
"Mau
diapain? Cubit?" jawab Fani dengan manja.
Benar-benar
wajah lucu Fani sangat sulit dihindari. Aku hanya menatapnya sesekali saja. Tak
berani aku melihatnya terlalu lama. Wajah yang bersih dan sedikit lesung pipit
membuatnya tambah menarik. Detak jantungku seperti diajak berpacu lebih kencang
rasanya. Kadang aku hanya bisa tersenyum sendiri memikirkannya. Entah kenapa
akhir-akhir ini ia terlihat manja denganku. Beberapa pejuang cinta para fans
Fani di sekolah ini merasa pasrah angkat tangan setelah tahu akan kedekatanku
dengannya. Tapi bagiku, Fani adalah sebuah kesepakatan yang entah akan berakhir
sampai kapan.
"Ya
Allah belum juga aku apa-apain. Gimana, udah beres kan belanjanya?" tambahku.
"Yups,"
jawab Fani.
"Kita
pulang aja kan gak ke mana-ke mana lagi?" tanyaku.
"Emang
mau ke mana? Aku ikut aja, terserah kamu. Tapi gak usah kali ya... udah agak
sore. Kita pulang aja, yuk!" ajak Fani.
"Baiklah,"
jawabku.
***
Aku dan
Fani berhenti di depan halaman rumah.
"Ngomong-ngomong
rumahmu yang mana, Fani?"
"Itu
yang jelek, Sam."
"Jelek
apaan. Gila, rumah gede gini kamu bilang jelek."
"Gak
kok. Kecil rumahku, Sam."
"Fan,
aku anter sampe depan gerbang aja ya."
"Gak
mau. Kan tadi pamit, aku bilang bareng kamu."
"Udah
sih, toh orang tuamu belum kenal aku, Fan."
"Makanya
itu, kenalan dong, Sam."
"Malu
ah."
"Ih,
kamu gak boleh gitu, Sam. Buruan, jangan jadi pengecut!"
"Ya
udah. Bismillah."
Aku dan
Fani masuk ke dalam rumah.
"Eh,
kamu udah pulang, Nak," ujar Mamah Fani.
"Udah,
Mah. Ini barusan. Tadi mampir ke toko buku dulu, beli pulpen," jawab Fani.
"Oh, iya Mah. Ini kenalin Salim yang biasa aku omongin sama Mamah,"
ujar Fani lagi kepada Mamahnya.
"Perkenalkan,
saya Salim Bu. Temannya Fani," sapaku.
"Oh,
kamu Salim yang selalu diomongin Fani. Hayuk sini, duduk dulu!" pinta Mamah
Fani.
"Bu,
boleh izin gak, Salim pulang duluan. Udah agak sore, takut kemalaman,"
pamitku.
"Ih,
kok buru-buru?" tanya Mamah Fani.
"Iya,
soalnya nanti setengah tujuh Salim mau jemput aku," Balas Fani menjawab
pertanyaan mamahnya.
"Mau
ke mana lagi? Tumben kamu malam minggu keluar. Biasanya ngurung diri di kamar,"
balas Mamah Fani.
"Kata
mamah, Fani harus bergaul."
"Fani...
maksudnya apa ini? Lanjut malam lagi?" tanyaku kepada Fani kaget.
"Pokoknya
jangan lupa jam setengah tujuh harus udah di rumahku ya," ujar Fani.
"Hm...
apa lagi ini Fani?" gerutuku.
"Kamu
di rumah juga sendirian aja kan? Ngelamun doang gak ngapa-ngapain," ujar
Fani.
"Iya
aih, tapi kan...," aku tak melanjutkan pernyataan.
"Pokoknya
jangan lupa jemput aku nanti malam!" tegas Fani.
***
Pukul
19.00.
Sampailah
kami di sebuah resto di daerah Ciceri. Kami pun mencari tempat yang sedikit
memanjakan mata dalam sekuel romantisme malam Minggu. Dalam hati aku tertawa,
baru kali ini aku bermalam Minggu. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan gadis
pengganggu hati ini.
"Lagi
di mana?" tiba-tiba Halwa meneleponku.
"E...
lagi di luar," jawabku.
"Bohong.
Coba video call!" pinta Halwa.
"Nih!"
jawabku.
"Kamera
belakang!" pinta Halwa.
"Lihat
nih!" jawabku.
"Hai,
Halwa…," sapa Fani menjawab video call.
"Tuh,
bener kan, dasar pembohong!" ujar Halwa.
"Maksudmu?"
tanyaku pada Halwa.
Halwa
mematikan ponsel. Aku bingung harus bagaimana.
"Marah
ya dia?" tanya Fani.
"Biasa.
Biarin ajalah," jawabku.
"Kamu
suka gak sama Halwa? Apa kehadiranku mengganggu kalian?" tanya Fani.
"Sudahlah
tak perlu dibahas," jawabku.
"Jangan-jangan
aku hanya pelarian dari rasa kesalmu kepada Halwa? Makanya setiap aku ajak kamu,
setuju aja," ujar Fani.
"Kesal
kenapa?" tanyaku.
"Halwa
pergi sama cowok lain," tegas Fani.
"Hahaha...,"
jawabku dengan tawa sinis.
"Mau
sampai kapan aku harus menemanimu?" tanyaku.
"Sampai
wisuda," jawab Fani.
"Wisuda?
Gila, itu sama saja kamu memenjara kebebasanku," jawabku agak ketus.
"Begitu
ya? Merasa terpenjara? Gak suka jalan sama aku ya?" tanya Fani.
"Eeeh
bukan, bukan maksudku seperti itu. Aku bercanda," jawabku.
"Serius
juga gak apa-apa" tegas Fani dengan sedikit kecewa.
"Apakah
kita mau seperti ini terus?" tanyaku.
"Maksudnya?"
tanya Fani.
"Kenapa
kita hadirkan percikan api saat kita ingin tersenyum dan tertawa bahagia malam
ini?" kataku.
"Iya
juga ya. Kita bertemu bukan mencari gaduhkan. Tapi, bertemu menjalin rasa,"
jawab Fani.
"Mencari
bahagia," jawabku.
"Bisa
jadi. Kamu itu seperti siapa?" tanya Fani.
"Maksudnya?"
aku balik tanya.
"Hadirmu
membuat jamku berhenti berdetak dan membuat waktu terkesan melambat," jawab
Fani.
"Haha.
Bahasamu Fani...."
"Kenapa?"
tanya Fani.
"Gak
apa-apa. Lucu saja," jawabku.
Teet… teeet… teet….
Bawain aku martabak telor
assen.
Sebuah
pesan WhatsAapp membuatku kaget.
“Siapa
yang WA?" tanya Fani.
"Awa
minta dibawain martabak telor assen," jawabku sambil kulihatkan WA Halwa. "Sebentar
ya, aku bales dulu WA-nya," kataku izin kepada Fani.
Apa gak
kemalaman kamu nunggu, balasku kepada Halwa.
Aku akan
tunggu jam berapa pun kamu datang, jawab Halwa
Gila,
serius amat, tanyaku.
Aku
sedang gak mau bermain main. Apalagi pembohong seperti kamu, jawab
Halwa
***
Pukul
20.00.
"Pulang,
yuk, biar gak terlalu malam," ajakku pada Fani.
"Hayuk"
jawab Fani. "Nanti sekalian aja mampir dulu ke assen," kata Fani lagi.
"Kamu
gak apa-apa nungguin?" tanyaku.
"Menunggu
asal bersamamu tak masalah buatku," jawab Fani romantis.
"Bahasamu
itu," ujarku pada Fani yang terlihat hanya tersenyum tertawa tipis.
Akhirnya
sampai juga di Martabak Assen Ciruas. Kami pun menunggu pesanan.
"Eh,
tapi aku mohon maaf atas kejadian tadi," kataku memulai pembicaraan lagi.
"Gak
apa-apa, kok. Wajar, yang penting kita sama-sama cari bahagia kan?" jawab
Fani.
"Betul,"
jawabku.
"Hayuk
balik! Kasian Halwa nunggu martabaknya," ujar Fani mengingatkanku.
"Baik,
Bos!" jawabku.
***
"Sampai
juga akhirnya di istanamu," ujarku.
"Terima
kasih ya, udah mau nganter," ujar Fani.
"Gak
pamit sama mamahmu?" tanyaku.
"Udah,
tinggal lambaikan aja tanganmu ke CCTV itu pasti, mamahku melihat kok," ujar
Fani. "Oh, iya Salim, kamu bisa nyetir mobil kan," tanya Fani.
"Bisa,
odong-odong," jawabku bercanda.
"Ya,
udah, besok aku tunggu jam delapan di rumah," ujar Fani.
"Mau
kemana lagi?" tanyaku kaget.
"Ada
aja. Pokoknya rahasia," ujar Fani membuatku penasaran.
"Selalu
saja rahasia. Apa masih perlu rahasia di antara kita?" tanyaku.
"Karena
rahasia akan membuatmu penasaran dan bisa bikin kamu gak bisa tidur,"
jawab Fani dengan wajah lucunya.