Puisi Malkan Junaidi
DEMOKRATIA
suara rakyat
suara
tuhan
suara hantu
suara gemerisik
kertas terlipat dibuka
suara jarum ditusukkan
menembus tubuh tipisnya
suara darah menetes
di kotak aluminium
suara kelingking dicelup
ke sebotol kental luh
mereka yang tak pernah
diacuhkan rintihnya
suara ragu
menggerayangi udara
suara mengutuk
mencemari suasana
suara sendawa
di pesta kemenangan
suara kaca pecah
saat malam meringkus
serombong homo sapiens
telah diberikan
dari
pagi hingga siang
telah diproyeksikan
di
sebentang HVS
seputih
tulang
suara sah dan
suara tidak sah
di luar
suara yang tak sudi diseret
ke depan soal pilihan ganda
setelah dilayat
dimandikan
dikafani
dan dengan disaksikan
si bisu
si buta
si tuli
suara-suara itu dikirimkan
dalam tabela aluminium
kepada yang maha lucu rakyat
kepada yang maha seru tuhan
kepada yang maha ragu hantu
(15-02-2024)
MALAM DIRTY VOTE
Dengan tubuh lunglit,
Kurang lemak dan darah,
Adikku wira-wiri, keluar
Masuk rumah sejak pagi,
Sibuk memainkan peran
Sebagai ketua KPPS heroik,
Penuh rasa tanggung jawab.
⸺Tidak ada hari tenang;
Orang terus berkampanye,
Memuji-melaknat surga dan
Nerakanya masing-masing⸺
Dua lampu LED mengguyurkan
Cahaya putih dan keemasan
Ke ruang tempatku duduk
Mengunyah anggur dari kulkas
Dan pertanyaan yang belum
Usai dilolohkan kegelapan,
Saat di luar yang remang
Amplop-amplop berpindah
Dari satu ke lain tangan.
“Harus kutampikkah?
Kau tahu aku cuma ingin
Berkelit dari mata julid,”
Bisik wanitaku pelan.
Kubenamkan mukaku
Ke kaca meja. Mungkin
Di balik ngiau parau
Kucing Thukul itu, ada
Remah suara Tuhan
Bisa kutemukan untuknya.
⸺Tidak ada hari tenang;
Orang terus berkampanye,
Memuji-melaknat surga dan
Nerakanya masing-masing⸺
“Bimbing dirimu menuju
Obor nuranimu sendiri dan
Bakar habis bimbangmu di sana.
Kita tak memiliki kecuali
Kuil kemiskinan ini. Jangan
Biarkan ia terenggut hingga
Hilang tempat kita bersujud
Memohon ketenangan.”
(14-02-2024)
APATISME
Seorang penyair terkemuka
Suatu hari mem-WA-ku:
“Disebabkan algoritmakah
Hingga berandaku sunyi
Dari pekik untuk Palestina,
Bangsa yang tengah sibuk
Dihapus dari Google Maps itu,
Ataukah memang jemari
Para sastrawan negeri ini
Telah lumpuh dan kebas,
Tak berdaya menggemakan
Tangis mereka yang ditindas,
Dipaksa untuk tak pernah ada?”
Tak kutanggapi pertanyaan ini
Dan penyair itu pun mengirim
Pesan sama di Messenger.
.
.
.
Dia tak benar-benar
Bertanya, kiraku, dan
Aku tak benar-benar
Punya jawaban untuknya
Israel dan Palestina
Hanyalah sebuah konon,
Yang tenggalam dan timbul,
Seperti ceracau burung
Pagi hari di kampungku;
Seluruh Israel adalah
Bani Nadzir dan Quraidhah
Yang diusir Nabi
Keluar dari Madinah;
Mereka licik dan mematikan
Seperti ular beludak.
Demikian sekali tempo
Juru dakwah berseru.
Dan benteng-benteng didirikan
Di atas cakrawala macam ini,
Sekelompok massa fanatik
Dicipta dengan template ini.
Seperti kalau orang diyakinkan
Untuk lebih memilih Pandawa
Ketimbang
Kurawa,
Tanpa pernah didorong
Untuk memahami keberpihakan
Drona
dan Bisma.
Ketik puisi palestina
Di kotak pencarian,
Dan akan kautemukan
Berlimpah tulisan
Atas nama cinta
Atau
seni merangkai kata.
Periksa daftar pertemanan,
Dan akan kautemukan
Berlimpah foto profil
Bergambar semangka.
Namun “Nach Auschwitz
Rin Gedicht zu schreiben
Ist barbarisch,” Kata Adorno.
Namun alangkah ngeri
Menyaksikan para penyair
Mengenakan kalung mewah
Dari air mata korban perang.
Namun pernyataan dukungan,
Seperti ungkapan berduka,
Sering jadi basa-basi,
Sejenis membungkuk
Di hadapan orang yang
Tak sungguh kauhormati.
Keberadaban semu.
Orang-orang, seperti katamu,
Sebenarnya quite insular
Tak sungguh memedulikan
Kecuali diri mereka sendiri.
Dan jika kaunyalangkan pandang
Akan tampak yang bakal abadi:
Kutukan
Ketakberdayaan
Dan orang-orang,
Saat ribuan nasar
Membayangi langit Gaza,
Akan cuma jadi gema lagu Iwan:
“Waktu kita asik makan
Waktu kita asik minum
Mereka haus
Mereka lapar
Mereka lapar
Mereka lapar...”
(10-02-2024)
150 RU
Te
Tes
Keringat
Membasahi jarak
Antara tiga ember
Padi berkecambah
Ke 150 ru hamparan
Daun ijo royo-royo
Meliuk diterpa
Angin selatan yang lembab
Ngos
Ngos
Sengal napas
Antara ayun cangkul
Dan deru Kubota
Menyisir petak sawah
Ru demi ru
Membolak-balik tanah
Sebelum penghancuran
Oleh 9 mata garu
Masih terdengar jelas
Di kuping ingatan
Mangkuk langit
Sebiru kerinduan
Kafilah mendung
Mendesirkan hanya harapan
Tentang suatu hari ketika
Te
Tes
Keringat
Kembali digulirkan
Dari kening dan pipi
Akrab dengan bahasa matahari
Ketika rumpun demi rumpun
Penuh bulir sintal
Dijagal
Lalu diusung
Ke mesin perontok
Di tepi pematang
Dan bila benakku
Berhenti mobat-mabit
Dan kulekatkan pandang
Jauh ke ufuk barat laut
Di mana Gaza meraung
Tampaklah
Sebuah tangga kristal
Berdiri di lintasan Buraq
Adam di lapis langit pertama
Melambaikan tangan
Senyumnya ditafsirkan pipit
Di cabang mahoni:
Sebelum seba mengko sore
150 ru ini harus sepenuh
Kemesraan kauikhtiari
(08-02-2024)
Penulis
Malkan Junaidi lahir di Blitar, 12 Maret 1981. Merupakan penyair, penerjemah, petani, dan pekerja bangunan. Karyanya yang telah terbit: Lidah Bulan (2011), Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan terhadapmu (2016), Chelsea Islan Terbang ke Bulan (2018), Rumah Daging dan Pikiran (2023), Terjemah novel Paradise karya Abdulrazak Gurnah (2023), dan Lanskap Freudian (2023).
redaksingewiyak@gmail.com