Cerpen Kiki Sulistyo
Pada suatu hari ada selembar bulu burung melayang-layang di beranda. Tak ada siapa-siapa di beranda itu. Burung yang selembar bulunya terlepas itu juga tak terlihat.
Di beranda
lain ada seorang anak sedang menatap matahari. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke
arah matahari pukul sembilan pagi. Beranda menghadap timur sehingga siapa saja
yang ada di sana pukul sembilan pagi akan langsung terpapar sinar matahari.
Akan tetapi, mata anak itu terbuka dan terus terbuka seakan tak sedikit pun
merasa silau. Ia memang tidak merasa silau, sebab di bagian atas wajahnya, di
mana mestinya terletak sepasang mata, hanya ada sepasang rongga.
Karena tak
bermata ia tak bisa melihat burung. Meski begitu telinganya baik-baik saja
sehingga ia bisa mendengar kehadiran burung. Burung adalah binatang suara. Anak
itu menoleh ke arah suara seakan tindakan itu ada gunanya. Sesaat kemudian ia
mencium bau kebebasan. Bau itu membuat kedua tangannya mendapat tenaga, dan
tanpa sepenuhnya disadari tangannya mulai berkepak-kepak. Interval awal: satu
kepak per setengah menit, lantas makin lama interval makin sempit, sampai tiga
kepak per detik. Anak itu membayangkan badannya terangkat dari kursi, dan ia
pun melesat ke arah matahari. Di udara terbuka kakinya diluruskan, tangannya
terentang, tubuhnya melayang-layang.
Dari
beranda rumah lain seseorang melihat sesuatu melayang di angkasa. Orang ini
sangat tua. Ia sedang berjemur, membiarkan sinar matahari meresap ke dalam
tulang-tulangnya. Melihat sesuatu melayang ia segera memicingkan mata,
memajukan tubuhnya untuk bisa melihat dengan lebih jelas. Mengertilah ia bahwa
yang melayang-layang di kejauhan itu bukan burung, bukan pula layang-layang.
Itu adalah pesawat pengintai tanpa awak. Segera orang tua itu berdiri dengan
susah payah, lantas berjalan terhuyung-huyung masuk rumah untuk mengambil
senapan.
Sambil
melangkah di jalan permukiman ia mengamat-amati pesawat pengintai. Ia melewati
gang, rumah-rumah, dan tangsi yang sedang penuh prajurit. Tiba di lapangan ia
merasa jarak tembaknya sudah cukup. Maka ia mulai membidik.
Seorang
perempuan yang sedang duduk di beranda rumah dekat lapangan berseru kepadanya:
“Apa yang akan kau tembak, Bapa Tua?”
Bapa Tua batal
menembak. “Itu pesawat pengintai. Musuh sedang mengamat-amati kita. Jadi aku
harus menembaknya.”
“Kenapa
Bapa Tua tak melapor ke tangsi saja?”
“Aku takut
pesawat itu keburu hilang. Karena tujuan pesawat itu adalah untuk mengintai,
pasti pesawat itu akan sebentar saja berada di sana.”
“Oh,
begitu. Bapa Tua pasti sudah rabun, apa yakin dapat menembak pesawat itu dengan
tepat?”
“Sekali prajurit
tetap prajurit. Aku penembak jitu di masa perang.”
Perempuan itu
bangkit dari kursi, mendekati Bapa Tua. Ia meletakkan sebelah telapak tangannya
di atas mata untuk melindungi pandangannya dari sinar matahari. Ia tak melihat
apa-apa.
“Aku tak
melihat apa-apa, Bapa Tua.”
“Itulah
bedanya orang biasa dengan prajurit,” jawab Bapa Tua sambil kembali membidik.
Dzlep!
Bunyi
letusan senapan. Beberapa orang yang sedang berada di dekat lapangan menoleh ke
sumber bunyi. Namun, cuma sesaat. Setelah itu mereka melanjutkan kehidupan
mereka.
Selembar
bulu burung melayang-layang. Bapa Tua dan perempuan itu memperhatikan. Bulu
burung didorong angin ke arah beranda. Di beranda, bulu burung melayang-layang
seperti tak memahami hukum gravitasi. Bapa Tua dan perempuan itu masih
memperhatikan bulu burung dan tak menyadari di dekat mereka sudah berdiri
seorang anak.
“Kenapa Opa
menembak saya?” tanya anak itu. Bapa Tua terkinjat.
“Aku tidak
menembakmu. Aku menembak pesawat pengintai. Bagaimana mungkin kau ada di atas
sana?”
Melihat
anak itu, si perempuan menunduk, menyentuh kepala anak tak bermata itu dengan
telapak tangan kirinya. Kepala itu tak punya rambut. “Oh, anak yang sengsara.
Bagaimana kalau Ibu buatkan makanan untukmu?”
Anak tak
bermata menggeleng. Bapa Tua terus menatap bulu burung yang masih
melayang-layang di beranda. Ia mengokang lagi senapannya, lantas kembali
mengamat-amati angkasa. “Pesawat pengintai itu sudah jatuh. Aku berhasil
menembaknya!” seru Bapa Tua. Saat itu dari jauh terdengar seruan-seruan. Pasti
seruan-seruan itu berasal dari tangsi prajurit.
“Berarti
tadi Bapa Tua menembak bulu burung itu,” ucap perempuan.
“Aku tidak
menembak burung. Aku menembak pesawat pengintai!”
“Aku tak
mengatakan Bapa Tua menembak burung. Aku bilang Bapa Tua menembak bulu burung.”
“Bukan. Opa
menembak saya,” bantah anak tak bermata.
“Bicara apa
kalian. Apa yang aku tembak adalah pesawat pengintai. Bagaimana mungkin kalian
tidak percaya?” kata Bapa Tua.
Tiba-tiba anak
tak bermata berjalan ke beranda. Langkahnya lurus. Tak sedikit pun kakinya
tersandung. Baginya segala benda tersusun dari suara. Semesta adalah planet
suara, karenanya seluruh geraknya cukup mengikuti tempo suara agar ia tak
keluar tempo yang akan menyebabkan ia bisa tersandung dan jatuh. Hanya orang
yang tak paham suara yang bisa tersandung dan jatuh.
Di beranda,
anak tak bermata berdiri menghadap Bapa Tua dan si perempuan. Persis di atasnya
bulu burung melayang-layang.
“Opa. Tembaklah saya.” Tiba-tiba anak tak
bermata berkata setelah enam koma enam menit berlalu dalam tabla yang bisu. Tatapannya
lurus ke arah Bapa Tua, sebagaimana ia menatap matahari, seakan Bapa Tua dan
matahari adalah benda yang sama.
Bapa Tua
ragu-ragu. Ia menoleh ke si perempuan seperti mencari persetujuan. Sementara, matahari
bagai laba-laba perak merangkak ke barat. Jaring-jaring sinarnya merebahkan
bayangan benda-benda.
“Kau tahu
anak itu siapa?” tanya Bapa Tua.
“Aku tidak
tahu.”
“Apakah aku
harus menuruti permintaannya?”
“Kalau aku
jadi Bapa Tua, aku akan menuruti permintaannya.”
“Tapi ini
bukan eksekusi mati. “
“Memang
betul ini bukan eksekusi mati. Tapi Bapa Tua, tidakkah Bapa merasa kejadian
hari ini berbeda dengan hari-hari biasa?”
Bapa Tua
berpikir-pikir sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang dikerjakannya sebelum ia duduk
di beranda dan melihat pesawat pengintai. Namun, ia sudah lupa. Ia mencoba
merentang ingatannya ke hari kemarin, tapi ia tetap tak bisa mengingat apa-apa.
Bapa Tua mengangguk-angguk.
“Betul
juga. Aku lupa apa yang aku lakukan tadi. Aku juga tidak ingat apa yang aku
lakukan kemarin,” kata Bapa Tua.
“Apakah
Bapa Tua ingat siapa nama Bapa Tua?”
Bapa Tua
kembali berpikir-pikir. “Aku tidak ingat. Apakah kau ingat?”
Si
perempuan menggeleng. “Aku juga tidak ingat.”
“Kenapa
bisa begitu?” tanya Bapa Tua. “Kenapa kau bisa berpikir soal itu sementara aku
tidak? Lagi pula aku baru sadar, aku juga tidak mengenalmu!” seru Bapa Tua.
Si
perempuan menatap Bapa Tua. Matanya berbinar-binar. Di mata itu terpantul
jaring laba-laba.
“Ayo.
Tembaklah saya!” kembali anak tak bermata berseru, mengembalikan pikiran Bapa
Tua. Saat itu terdengar bunyi tambur bertalu-talu. Itu pasti bunyi dari arah
tangsi.
Sekonyong-konyong
Bapa Tua menodongkan senapan ke arah si perempuan.
“Kenapa kau
bisa berpikir soal itu sementara aku tidak?” Bapa Tua mengulang pertanyaannya,
ditambah kalimat: “Kau yang akan kutembak!”
Si
perempuan bergerak mundur sambil menjawab: “Sebab aku mengetahui, Bapa Tua!”
“Mengetahui
apa?”
“Bahwa jauh
dari sini ada seseorang tengah duduk menghadap meja kerjanya dan merancang
semua kejadian ini?”
“Aku tidak
mengerti maksudmu.”
“Bapa Tua,
orang itu sudah merancang agar Bapa Tua tak menembak anak itu. Maka dari itu
aku meminta Bapa Tua menembaknya seakan Bapa Tua adalah prajurit yang sedang melaksanakan
eksekusi mati. Tindakan itu berada di luar rancangan dan karena itu akan
mengacaukan rancangannya. Setelah itu kita bisa bebas. Tidak maukah Bapa Tua
bebas? Tidak maukah Bapa Tua mengetahui siapa sebetulnya diri Bapa Tua,
bagaimana masa lalu dan semua peristiwa yang sudah Bapa Tua alami?”
“Maksudmu
sekarang ini kita ada dalam kendali orang lain? Seperti di dalam fiksi?”
“Betul,
Bapa Tua. Saat ini orang itu sudah mulai masuk ke bagian akhir. Jadi, ayo
tembak anak itu sekarang, supaya rancangannya berantakan. Kita perlu bebas,
Bapa Tua. Kita perlu merdeka!”
Bapa Tua
ragu-ragu. Ia mendongak dan mengamat-amati angkasa. “Apakah orang itu melihat
kita dari atas sana?” tanya Bapa Tua.
“Ah, Bapa
Tua. Ayo, waktu kita tidak banyak. Tembak anak itu!”
Bapa Tua
merasa tertekan. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Ia mengarahkan moncong
senapan ke anak tak bermata, dan mulai membidik.
Dzlep!
Dari
moncong senapan meluncur seekor burung. Burung itu melesat cepat ke arah anak
tak bermata. Akan tetapi bidikan Bapa Tua meleset. Burung meluncur ke atas
kepala anak tak bermata dan mengenai bulu burung yang masih melayang-layang.
Burung dan
bulu burung bergulung-gulung, menyatu, membentuk gumpalan.
Seperti
fiksi.
______
Penulis
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan,
Lombok. Ia telah meraih beberapa penghargaan: Kusala Sastra Khatulistiwa
(kategori puisi) 2017; Tokoh Seni TEMPO (Sastra-Puisi) 2018 dan 2021; serta
Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (kategori puisi) 2023. Kumpulan cerpennya
yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
1 comments