Cerpen Tin Miswary
Ketika petang kian redup dan matahari tenggelam sempurna di belakang ufuk, Logo bergegas mengambil sepeda tuanya. Dia mulai mengayuh sepeda jengki merk Phoeniex buatan Tiongkok yang telah berkarat itu menuju arah barat dan lalu berbelok ke utara. Dia berpapasan dengan banyak orang yang menuju masjid dengan terburu-buru. Logo tak peduli. Dia terus mengayuh bersama jala di bahu dan keranjang kecil mirip guci dari anyaman bambu tersangkut di setang sepeda. Logo menekan pedal menggunakan gaya otot kakinya agar roda itu terus berputar. Sesekali ia mengembus asap putih dari mulutnya yang serupa malam.
Sejak menceraikan istrinya yang mengidap gangguan jiwa, Logo hidup sendiri. Dia tidak punya anak meski telah menikah puluhan tahun. Orang kampung menuduh istrinya sebagai perempuan terkutuk sebab di masa kecilnya ia berulang kali diperkosa ayah kandungnya. Peristiwa itu terjadi setelah ibu perempuan itu mengidap gangguan jiwa dan meninggal ditabrak truk serdadu yang sedang memburu pemberontak. Saat itu ibunya mengadang truk yang sedang memasuki kampung dengan begitu beringasnya. Serdadu yang dilanda amarah tentu tak ambil pusing pada sosok yang ada di hadapan mereka. Perempuan itu mati seketika. Dan kematian-kematian seperti itu hanyalah kejadian biasa di ujung Sumatera ini.
Sejak kematian ibunya, istri Logo pun menjadi mangsa hubungan inses oleh ayah kandungnya. Cerita-cerita itu baru diketahui setelah Logo menikahi perempuan yang sejak awal sudah terlihat aneh itu. Konon pernikahan mereka adalah hukuman dari tokoh adat setelah keduanya ditemukan bercumbu di sebuah gubuk pinggiran tambak, tempat Logo biasa memancing.
****
Tidak ada yang tahu persis kenapa orang-orang memanggilnya dengan Logo, nama yang sama sekali janggal, apalagi di kampung yang baru dilanda perang. Namun, sepertinya dia sangat betah dipanggil demikian. Tak sekali pun muncul protes ketika nama itu disebut di hadapannya. Dia senantiasa tersenyum, mengangguk ketika dirinya dipanggil Logo, menggunakan fonem khas untuk membedakannya dengan logo (simbol).
Di kampung itu, Logo tergolong sangat miskin. Gubuknya terbuat dari tepas dengan atap rumbia. Bahkan dia tidak memiliki tanah. Gubuk itu dibangun di bekas tanah peninggalan mendiang Ampon Leman yang lari meninggalkan kampung puluhan tahun lalu, ketika revolusi sosial meletus di seluruh negeri. Ampon Leman dituduh sebagai kaki tangan Belanda sehingga dia pun diusir dan lalu hilang tanpa jejak. Sebagian besar tanah peninggalannya dikuasai mendiang Keuchik Amin yang kemudian dibagi-bagi kepada masyarakat kampung. Ayah Logo yang merupakan pendatang di kampung itu tidak mendapat bagian. Namun, selepas kematian Keuchik Amin, Nek Fatimah, seorang warga kampung yang tidak memiliki anak mewariskan tanah miliknya seluas lima ratus meter kepada Logo yang kala itu sudah mulai beranjak dewasa.
Meskipun Logo hidup dalam kemiskinan dan hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan di tambak utara kampung, namun seumur hidupnya dia tidak pernah mendapatkan zakat di kampung itu.
"Orang-orang yang tidak salat apalagi memancing ikan di waktu Magrib haram menerima zakat," kata Teungku Malem suatu hari.
Apa yang dikatakan Teungku Malem ini memang benar, Logo memang tidak pernah terlihat salat di masjid atau pun menasah. Setiap Magrib tiba dia sudah bersiap-siap menuju utara kampung untuk memancing dan menjala ikan-ikan di sana.
Di kampung itu tidak ada yang berani membantah fatwa Teungku Malem. Dia tokoh agama paling disegani dan bahkan ditakuti. Orang-orang percaya kalau Teungku Malem seorang wali, bisa menghilang, pandai terbang dan kebal senjata. Menurut cerita yang tersebar, di masa perang dia pernah melewati batalyon tentara dengan Vespa yang melaju kencang. Tiba-tiba dia disetop tentara.
"Ini kawasan militer, Teungku harus pelan-pelan di sini," kata seorang tentara.
Karena Teungku telah melanggar maka Teungku harus kami hukum, lanjut si tentara sembari memandang tajam ke arah Teungku Malem yang masih duduk di atas Vespa putih kesayangannya.
"Cepat turun dan hitung terali pagar ini sampai habis!" teriak si tentara.
Perlahan Teungku Malem turun dari Vespa sembari memandang terali besi yang terpasang di pagar batalyon itu dari ujung ke ujung.
"Semuanya?" tanya Teungku Malem.
"Ya!" sahut si tentara.
Mulailah Teungku Malem menghitung dan menyentuh terali itu satu per satu dengan tangannya. Ajaibnya, satu per satu terali yang disentuh Teungku Malem menjadi bengkok.
"Cukup! Cukup!" teriak si tentara setelah melihat pemandangan tak lazim itu.
"Ini belum habis saya hitung, Pak. Masih banyak," jawab Teungku Malem.
"Sudah cukup!" si tentara membentak Teungku Malem dan meminta orang tua itu untuk segera meninggalkan batalyon.
***
Logo memarkir sepedanya di pinggiran tambak, di sebuah gubuk kecil yang sering dijadikan tempat istirahat. Dia meletakkan keranjang ikan mirip guci di atas pematang tambak yang sudah mulai lembap. Logo menurunkan jala dan mulai berjuang menangkap ikan yang sedang bermain riang. Sebelumnya Logo tidak pernah membawa jala ke tambak itu. Dia hanya membawa pancing yang terbuat dari belahan bambu berukuran kecil untuk menangkap ikan-ikan di sana. Namun, setelah bertemu Tauke Madi, si pemilik tambak, Logo diizinkan membawa jala agar tangkapannya bisa lebih banyak.
"Yang penting kamu tidak mengambil bandeng dalam tambakku ini. Selain itu boleh kamu ambil, apalagi mujair yang sering menghabiskan makanan ikan-ikanku. Kamu boleh mengambil mujair sepuasmu. Besok kamu boleh bawa jala, tapi ingat, jangan ambil bandeng!" kata Tauke Madi beberapa hari lalu.
Sejak saat itulah Logo mulai membawa jala. Ketika bandeng tak sengaja masuk ke dalam jala, Logo akan melepaskannya kembali ke dalam tambak.
Ikan mujair yang didapatkan Logo akan dijual kepada orang-orang di kampung untuk membeli beras. Dia hanya menyisakan sedikit untuk dimakannya sendiri. Ketika dia sudah mulai bosan dengan mujair dia akan menjual semuanya untuk membeli telur atau ikan asin. Tapi, sejak bercerai dengan istrinya, Logo lebih suka mengisi perutnya dengan mi goreng di kedai Kak Bed. Bahkan ketika perutnya sudah mulai penuh dia sering tidur di balai kedai itu.
Malam itu ketika hendak melempar jala ke dalam tambak, Logo dikejutkan dengan suara Tauke Madi.
"Go, tunggu dulu!"
Tauke Madi muncul dalam remang-remang suasana Magrib. Dia berlari-lari kecil ke arah Logo.
"Aku minta maaf, mulai malam ini kamu jangan lagi menangkap mujair di sini."
Mendengar suara Tauke Madi, Logo hanya diam seraya melirik ke arah lelaki yang berusia lebih tua beberapa tahun darinya. Laki-laki yang telah memberinya makan bertahun-tahun.
"Aku minta maaf," laki-laki itu mencoba mengulang ucapannya, "akhir-akhir ini bandengku banyak yang mati. Harga di pasaran juga sangat murah. Sementara aku tidak punya usaha lain."
Logo masih terdiam dan hanya mendengar ucapan itu tanpa memberi respons.
"Karena itu, mulai besok kamu jangan lagi mengambil mujair di sini. Aku akan menjualnya sendiri untuk menutupi kerugianku."
Tauke Madi memandang wajah Logo yang terlihat sedih.
"Aku harap kamu bisa memaklumi keadaanku sekarang.'
Lelaki itu menutup pembicaraan sembari menepuk bahu Logo yang masih berdiri kebingungan di tepian tambak.
Setelah Tauke Madi pergi dari hadapannya, Logo mulai menggulung jala. Senter bulat di kepalanya masih menyala menembusi genangan air yang sesekali beriak diembus angin. Dia menyangkut kembali keranjang mirip guci di setang sepeda yang diparkirnya di pinggir gubuk. Dia mengambil sebatang gudang garam dalam saku celana pendeknya dan lalu membakar lintingan tembakau itu dengan tangan bergetar. Asap pun mengepul dan lalu burai diembus angin malam yang semakin dingin.
***
Rintik gerimis manja mulai turun. Aroma mi goreng basah buatan Kak Bed yang begitu menggoda mulai menusuk hidung beberapa orang yang masih duduk di kedai itu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak lama kemudian beberapa piring mi campur telur dihidangkan kepada mereka yang telah menunggu bersama gerimis yang terus menitik. Satu per satu melahap makanan itu dengan nikmat dan lalu beranjak pulang menembus gerimis yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Saat Kak Bed mulai berkemas menutup kedainya, dari arah barat muncul sosok bersepeda dengan lampu di kepala yang masih menyala. Dia memarkir sepedanya di depan kedai yang mulai sepi. Kak Bed tampak sibuk memasukkan belanga ke dalam peti kayu yang dilengkapi gembok. Saat itulah Logo berdiri dan menunjuk ke arah rak kayu berdinding kaca yang ada di hadapannya. Kak Bed yang sudah mengerti kembali mengeluarkan belanga dan meletakkannya di atas kompor.
"Pedas?" tanya Kak Bed.
Logo hanya mengangguk dan lalu duduk di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, tempat biasa dia melahap gorengan Kak Bed yang cukup terkenal di kampung itu. Konon Kak Bed menggunakan biji ganja sebagai penyedap masakan. Namun, sayangnya kabar angin tersebut tidak pernah bisa dibuktikan oleh siapa pun, termasuk oleh Teungku Malem yang terkenal keramat.
"Banyak dapat ikan malam ini?" tanya Kak Bed sembari sesekali memukul belanga besinya dengan sodet agar gilingan tepung berwarna kuning itu tidak lengket. Logo memberi kode dengan telapak tangan terbuka bersama lima jari yang berdiri tegak sambil menggerakkannya ke kiri dan kanan. Melihat gerakan tangan Logo, Kak Bed hanya tersenyum dan kembali mengaduk mi hingga matang. Setelah menghabiskan makanan yang belum dingin itu, Logo kembali menaiki sepeda menuju arah selatan dan lalu hilang dalam malam yang semakin kelam.
***
"Sudah lama Logo tidak terlihat di kampung."
"Ya, aku juga tidak melihatnya beberapa hari ini."
"Apa mungkin dia tenggelam di tambak?"
Beberapa orang yang sedang bersantai di kedai Kak Bed malam itu saling bertanya tentang keberadaan Logo.
"Logo sepertinya sudah meninggalkan kampung," sela Kak Bed di tengah gemuruh suara para pelanggannya,"dia sudah tidak punya pengharapan lagi di kampung kita ini," lanjut Kak Bed.
"Maksudmu?" seorang warga mencoba bertanya.
"Ya, kalian kan tahu dia tidak punya pekerjaan lain selain menangkap ikan. Aku dapat kabar Tauke Madi melarang Logo menangkap ikan di sana. Kalian juga tahu dia tidak mendapat zakat di kampung kita."
Suasana hening sejenak. Terlihat raut kebingungan di wajah orang-orang yang sedang terlibat pembicaraan itu.
Sementara itu, di utara kampung Teungku Malem sedang terlibat pembicaraan dengan Tauke Madi di sebuah balai, tempat biasa Teungku Malem mengisi pengajian.
"Sudah beres Teungku Haji. Sudah saya sampaikan. Saya juga tidak mau masuk neraka hanya gara-gara memberi makan orang tak sembahyang," kata Tauke Madi dengan nada pelan.
Mendengar penjelasan Tauke Madi, Teungku Malem yang terlihat sudah sangat sepuh itu hanya tersenyum sambil mengangguk.
Keesokan harinya orang-orang kampung dihebohkan dengan penemuan sepeda tua bermerk Phoenix yang terparkir tepat di depan mimbar. Pada tongkat yang tersandar di mimbar tersangkut jala dan keranjang mirip guci. Namun, kehebohan itu segera buyar setelah Kak Bed berteriak dan berlari ke arah masjid. Mendengar teriakan itu orang-orang pun berlarian ke arah kedai Kak Bed. Dalam kebingungan itu mereka menemukan Teungku Malem bersimbah darah, di tempat mereka biasa menikmati mi goreng beraroma ganja.
Bireuen, Maret 2024
_________
Penulis
Tin Miswary, pemulung buku bekas. Berdomisili di Bireuen, Aceh. Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry pada Konsentrasi Pemikiran dalam Islam. Menulis di beberapa media cetak seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Harian Serambi Indonesia, Harian Aceh, Harian Pikiran Merdeka, Harian Rakyat Aceh, Harian Analisa, Harian Waspada, Tabloid Modus, Majalah Santunan dan beberapa media online seperti kompas.id, magrib.id, bacapetra.co, sastramedia.com, hidayatullah.com, republika online, dan mojok.co. Menjadi kolumnis di beberapa media online lokal di Aceh, di antaranya AceHTrend.com. Sudah menerbitkan lima buku: (1) Habis Sesat Terbitlah Stres (Padebooks, 2017), (2) Syariat dan Apa Taa: Fenomena Sosial Keagamaan Pasca Konflik Aceh (Padebooks, 2018) dan (3) Demokrasi Kurang Ajar (Zahir Publishing, 2019); (4) Senandung Jampoek (Kawat Publishing, 2020); dan (5) Islam Mazhab Hamok (Bandar Publishing, 2020). Saat ini sedang menyelesaikan penulisan buku keenam dengan judul Wahhabi di Mata Ulama Dayah.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com