Novel Syamiel Dediyev
#6
Pukul 20.00 WIB
Gerimis datang saat kupamit pulang ke Fani. Wajahnya terlihat bahagia. Heran
juga, lama-lama sebuah rasa perlahan akan naik tingkat. Dari hanya meminta
ditemani, berubah menjadi kawan diskusi setiap hari yang terbumbui oleh rasa
yang ada di hati. Namun, harap itu hanya sebuah imajinasi karena realitalah
yang membawaku kembali ke titik awal. Hanya bersepakat untuk saling mengisi. Tidak
lebih, tidak boleh kurang. Berharap pada sebuah fatamorgana asa. Fani adalah
sesuatu yang tinggi dan sulit untuk dimiliki perlu kerja keras dan mendaki.
Kutancap motorku dengan perasaan senang berkalut resah. Resah karena
sebentar lagi bertemu wanita yang mungkin sekarang berubah menjadi macan yang
galak menunggu mangsa. Di sisi lain Halwa adalah sahabat yang membuka jalanku
mengerti tentang arti persahabatan.
"Met malam Awa," sapaku sambil perlahan mendekati dan menyalami
kedua orang tua Halwa yang sedang di teras rumah menikmati udara malam.
"Malam amat, jam berapa ini?!" sewot Halwa. Aku sudah menduganya.
Wajah manis itu akan berubah menjadi macan.
"Katanya tadi mau menunggu aku jam berapa pun? Ini martabaknya."
"Tapi gak semalam ini dong," jawab Halwa.
"Halwa, buatin kopi buat Salim," surug Umi Halwa akrab.
"Iya Bu sebentar," balas Halwa sambil berdiri perlahan masuk ke
rumahnya.
"Nak Salim, kata ayahmu, kamu mau kuliah di Jogja ya?" tanya Umi
Halwa.
"Iya, Bu. Insyaallah," jawabku.
"Oh, Halwa juga mau kami kuliahin di Jogja. Pumpung ada kamu,
jadi minta sekalian dijagain ya. Umi juga udah bilang ke bapakmu," tambah
Umi.
"Tapi awas ya Salim, kalo ada apa-apa kamu tanggung jawab," ujar
Abi Halwa dengan serius.
"Ini kopinya, jangan sampai nggak dihabisin," ujar halwa.
"Tumben, baik banget kamu," jawabku dengan perlahan menyeruput
kopi buatan halwa.
Agak kaget sepertinya, bada yang aneh dengan kopi ini. Kulihat Halwa
sedikit menahan tawa, tapi tetap kuhargai kopi buatannya ketimbang aku
mengatakan yang jujur, nanti Umi halwa marah lagi. Pikiranku pun berisi dugaan,
"Jangan-jangan dia lupa kasih gula kopi ini. Atau memang sengaja lupa usil
juga anak ini, ampun."
"Gimana Dek Salim, kopi buatan Halwa? Soalnya baru pertama kali dia
buat."
"Masyaallah enak Bu," sambil kesal kulihat halwa yang menahan tawa.
"Oh, iya, Nak Salim dari mana pulang malam?" tanya Umi Halwa.
"Pacaran... pacaran…,"
jawab Halwa memotong.
"Enggak Bu. Cuma maen aja, pengen liat Kota Serang malam hari,"
jawabku.
"Pembohong," potong Halwa dengan kesal.
"Halwa, nggak boleh gitu, Nak," ujar Umi Halwa. ”Tapi, bukannya
kalian selama ini...," tanya Umi Halwa lagi.
"Umi, udah mending kita masuk yuk. Bairin aja mereka dulu," ajak Abi
Halwa kepada Umi untuk masuk ke dalam rumah.
"Pembohong pasti akan berbohong dan berbohong lagi," ujar Halwa.
"Kamu kenapa? Dari kemarin bilang pembohong-pembohong terus. Coba
katakan, maumu apa?" tanyaku kesal.
"Ya pembohong. Katanya cuma jalan biasa, ternyata...," balas
Halwa dengan menantang.
"Halwa, jika begini terus, aku akan malas bertemu denganmu," ujarku.
"Ya, wajarlah. Udah ada yang baru, buat apa ya lama, iya kan?" jawab
Halwa yang semakin meningkatkan tensi darahku.
"Jadi ini kamu sengaja membuat kopi tanpa gula sama sekali?” tanyaku.
"Ya, karena kamu jahat!" jawab Halwa.
Ya, Tuhan, kenapa dengan kamu ini, Halwa. Dari kemarin selalu ngajak ribut
terus. Whats wrong with you?" aku makin kesal ketika di setiap percakapan
yang kudengar hanya kata "pembohong” dan ”pembohong”. Aku paling benci
jika dituduh pembohong begini. Aku cukup geram.
"Halwa, maumu apa? Aku dan Fani hanya sebatas teman. Toh, kamu juga
kemarin jalan dengan Ery aku biasa aja," ujarku.
"Cemburu ya?" tanya Halwa.
"Ya nggaklah. Buat apa aku cemburu. Emang aku ini siapa," jawabku.
"Aku nggak yakin kalau kamu nggak punya hubungan dengan Fani. Sebatas
teman? Nggak mungkin," ujar Halwa seperti mendesakku.
"Awa, kamu boleh percaya aku atau tidak, terserah!" jawabku
kesal.
"Tapi, kamu suka sama dia kan?" tanya Halwa.
"Kalau aku suka sama Fani kenapa?" jawabku tanpa sadar aku sudah
mengeluarkan kalimat yang fatal. Waduh berabe ini urusan, bisikku dalam
hati.
"Akhirnya, benar kan firasatku, kamu pembohong!" jawab Halwa
kesal dan langsung masuk ke dalam rumah sembari membanting pintu.
"Awa denger aku dong, kamu jangan salah paham," ujarku.
Tak sedikit pun kata jawab terdengar dari mulutnya. Macan itu akhirnya
benar-benar marah. Tiba-tiba, dia keluar dengan kesal hanya karena ingin
mengambil martabak yang masih berada di teras rumah sambil berkata "Ribut sama
kamu bikin lapar". Sekali lagi dia masuk ke rumah tak mau menoleh.
Malam ini sepertinya malam kelabu. Entah kenapa mulut ini tidal bisa dijaga
sedikit. Akhirnya, sebuah kalimat terlontar tanpa aku berpikir panjang. Pasti
hari-hari berikutnya menjadi hari yang kelam penuh konflik.
"Halwa ada apa denganmu?" bisik hatiku dengan pilu.
Aku pamit dan berucap di depan pintu, entah ada atau tidak ada manusia di
belakangnya.
"Apakah ini akhir dari persabatan kita?"