Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe
Rama
ia telah membelah hutan dengan kebenaran
ketika Barata datang dengan nampan airmata
memintanya kembali bersampan ke istana
berpesta dengan hamba sahaya dan tunawisma
tapi Sinta, yang memberikannya cinta pengembara
memeluk Humbaba, pohon besar untuk hati yang kecil
mereka tetap memeluk belukar, menjawab cicit burung
juga aung serigala betina
bagi Rama, kutuk tak pernah punya tampuk
ketika Laksamana berhasil membujuk
namun dewi iblis membuat mereka terpuruk
Sinta
ambuk, dalam peluk Rahwana yang busuk
neraka telah disebar, cerita Ramayana terbakar.
Kubang Raya, Maret MMXXIV
Perjalanan Rama
terhadap jalan berliku, ia merasa kaku, terhadap jalan berbelok,
ia merasa jorok, terhadap jalan
menanjak, ia merasa berak,
terhadap jalan menurun, ia merasa ngungun.
terhadap jalan licin, ia merasa bacin, terhadap jalan berlubang,
ia merasa terbuang, terhadap jalan becek, ia meresa perek.
terhadap jalan berbahaya, ia merasa aman, Tuhan ada di mana-mana,
membimbingnya ke negeri
yang jauh, tanpa ada lagi ngeri.
Kubang Raya, Februari
MMXXIV
Rama---Rama
Rama pergi ke hutan kelam tanpa takut hantu yang kejam,
bertahun-tahun ia mencari Tuhan, ternyata ia temukan di atas tubuh
rama-rama.
yang terbang mengitari danau, tubuhnya biru di atas air yang biru,
menghilang di bawah langit biru, tanpa perasaan haru biru.
kini rama tahu, jenggotnya yang panjang dari stupa ke stupa,
dari
stepa ke stepa, step demi step, stop demi stop,
membuatnya merasa tidak lebih mulia dari rama-rama.
ia percaya hantu, ia yakini Tuhan, ia melihat tahun-tahun kelupas,
juga hutan-hutan dengan pohon ranggas, kini ia tak lagi buas, tak lebih
Rama,
ingin jadi rama-rama.
Kubang Raya, Februari
MMXXIV
Sinta
sebab abuku tak kau temui dalam teratai,
pujalah langit malam paling dingin di atas danau.
lelaki kesepian itu, adalah seseorang yang kadung menelan kutuk.
jiwanya busuk, terputuk dalam
tumpuk sesal.
puja pula ikan, dewi-dewi kayangan, ingatan yang timbul tenggelam
di antara insang, amis perempuan yang menelurkan kuning dendam.
aku berendam, dalam dongeng ibumu yang dalam;
saat waktu beku, ia justru mencair, mengalir dari lidah tanpa ujung
pangkal,
melesat ke gendang telingamu, ia jadi genderang perang; perangai laki-laki
hidup melawan sangai perempuan mati.
Kubang Raya, Februari
MMXXIV
_______
Penulis