Cerpen Solu Erika Herwanda
Kau amati asap kretekmu mengambang di udara. Bergumul dengan asap kopi yang baru saja dihidangkan Winarni. Matamu nyalang menerawang kembali kejadian beberapa jam lalu. Seumur-umur baru kali ini kau berurusan dengan polisi.
Sebetulnya kau bisa langsung melupakan perkara interogasi dari dua polisi buncit tadi, tapi persoalannya bukan itu. Kau terlalu takut dengan janji yang sudah kau sanggupi dengan Wening. Kau sudah berjanji, bahwa kau hanya akan memberikan surat yang ia titipkan kepada keluarganya. Cukup itu saja. Bukan malah bersuara tentang rencana Wening yang menjadi rahasia. Namun perkara satu jam di kantor polisi itu, membuatmu harus ingkar janji. Kau hanya berharap Wening memaklumi dan tidak keberatan soal ini.
“Jangan melamun saja, yang sudah terjadi, biarlah. Lha mau diapakan lagi, to!” ujar Winarni lantang. Istrimu itu kelihatan lincah sekali di dapur. Kau melihat bayangannya dari balik kelambu tipis yang wujudnya telah terlampau kumal.
***
Seorang perempuan menemuimu tepat ketika kau leyeh-leyeh di badan gerobak sampah sambil mengibas-ibaskan topi. Mengeringkan lumuran keringat. Ini kegiatan paling indah sepanjang harimu selain mengobrol dengan Winarni di lincak depan rumahmu ketika malam tiba. Saat kau membayangkan bersandar di tembok rumah gedongan dengan AC di sudut-sudut ruangan, perempuan itu duduk begitu saja di sampingmu. Melepas ransel mungil di punggungnya dan menyelonjorkan kakinya yang terbalut celana jeans.
"Pak San, mari makan!"
Kau membetulkan posisi dudukmu. Perempuan di sampingmu ini, mungkin seusia anakmu bila anakmu belum diambil Tuhan karena demam berdarah delapan belas tahun lalu, di usianya yang masih lima tahun. Perempuan ini, satu-satunya mahasiswi yang tidak hanya memandangmu dengan tatapan belas kasihan. Dia masih muda. Hanya, kacamata yang nangkring di hidung bangirnya membikin wajahnya tampak tua. Dia pengidap mata minus, dan minusnya bertambah dua setengah. Itu dia ceritakan saat mengobrol denganmu minggu lalu. Saat dia lepas mengganti kacamata di sebuah optik pusat kota.
"Apa kamu tidak malu Nak, terlalu sering menemui Bapak, makan bareng Bapak?"
"Memangnya kenapa, Pak?”
Kau tersenyum sambil membuka bungkus nasi padang pemberian perempuan itu.
“Bagi Wening, Pak San itu tempat cerita yang tepat. Wening berasa dekat dengan Papa.”
"Ah, berlebihan kau Nak. Masak Bapak disamain dengan papamu. Jelas langit dengan selokan," kau terbahak-bahak dengan perumpamaan yang kau utarakan sendiri.
“Jangan mengukur sesuatu dengan materi saja Pak. Apalagi status. Wening selalu melihat kebahagiaan dari kehidupan Bapak yang sederhana.”
Perempuan itu terus makan nasi padang yang dibawanya dengan lahap. Sementara kau, kau belum juga memasukkan sesuap nasi pun ke mulutmu. Melihat Wening makan dengan lahap, dan wajahnya yang selalu tampak apa adanya, kau hanya bisa berdoa pada Sang Kuasa agar Wening Pangastuti yang sudah kau anggap seperti anakmu sendiri itu sehat dan panjang umur. Tapi kau tak pernah mengatakannya, kau tahu, sebuah hal lancang saat kau berani menganggap perempuan seperti Wening menjadi anakmu, anak seorang tukang sapu. Meski, dari pengakuannya barusan kau disamakan dengan papanya.
“Di rumah Pak San ada kelambu?”
“Ada. Buat apa, Nak?”
“Enggak, Pak. Eng, Pak San sepakat tidak kalau Wening ibaratkan kelambu itu semacam hidup manusia?”
Kau tak mengerti. Tujuan pembicaraan Wening sore ini tak bisa kau tebak rutenya.
“Kelambu itu Pak, dia selalu menutupi apa pun yang ada di baliknya. Tak peduli baik ataupun buruk.”
“Seperti tabiat manusia. Ia bisa terlihat sangat tenang, padahal di balik dirinya yang terlihat tenang, ia teramat berantakan,” lanjut Wening sambil mengaduk-aduk nasi dengan sendok plastik jerami.
Kau mencoba mengimbangi Wening, “Bapak tidak tahu maksudmu. Tapi satu hal, Nak, meski tabiat manusia kau bilang seperti kelambu, itu ada tujuannya, Nak. Semua yang ada pada hidup kita selalu punya tujuan. Tinggal kita sadari atau tidak.”
“Pak San benar. Kalau begitu, kematian adalah tujuan hidup kita setelah kita lelah menjalani kehidupan, kan, Pak?”
“Iya tujuan kita. Namun kita mesti sabar menunggu kematian itu. Agar kita siap dijemput kematian dengan baik,” balasmu sekenanya. Kini kau mulai menyuap nasi padang ke mulutmu.
Obrolan sore itu semakin melantur di telingamu. Tak biasanya, Wening bercerita terlalu dalam mengenai hidupnya. Biasanya dia hanya membicarakan hal-hal remeh di sekitarnya atau kegiatannya. Kali ini, dia bercerita soal masa kecil, cita-citanya yang setiap tahun berubah, bahkan cita-citanya di tahun ini. Katanya di tahun ini, ia tak ingin meraih apa-apa. Selain ketenangan. Kau hanya menyimak. Sesekali kau berpikir untuk menemukan maksud beberapa kata dari mulut Wening yang terdengar kiasan.
“Menurut Pak San, kapan seseorang siap dijemput kematian?”
“Ketika waktunya sudah tepat.”
“Kalau kita menjemput kematian lebih dulu, mungkin?”
“Mungkin saja,” Wening terkekeh.
“Sepertinya kematian tak seberisik kehidupan ya, Pak. Ia tenang. Wening ingin sekali mencapai cita-cita Wening satu ini,” Wening semakin terkekeh.
Kau turut terkeukeuh. Padahal kau tak pernah mengerti tenang yang bagaimana yang Wening ingin wujudkan. Bagimu, mewujudkan rasa tenang cukup mudah, mengapa Wening repot-repot menjadikannya sebagai cita-cita yang tampak perlu perjuangan untuk menggapainya?
Aneh-aneh saja musuh anak kuliahan.
Kau meremas bungkus nasi dan melemparnya ke gerobak sampah. Kau menenggak air isi ulang di botol bekas air mineral ukuran besar. Tak kau sadari matahari mulai tergelincir. Pulang.
***
"Tapi saya ini jagal sapi, Mbak!"
"Saya punya surat yang bisa melegalkan perbuatan Bapak! Saya jamin, ini sah di mata hukum, sebab saya tulis dengan tangan saya sendiri, saya bubuhkan tanda tangan asli dan cap jempol saya juga."
Lelaki itu mengelus-elus janggutnya. Sungguh pengalaman pertama baginya, bagi seseorang yang berprofesi sebagai jagal sapi. Namun tawaran itu sangat menggoda untuknya yang akhir-akhir ini sedang sepi pelanggan. Membunuh orang, dibayar seratus juta. Benar-benar seratus juta di depan matanya. Dia juga tidak akan dihukum dengan surat keterangan yang bermaterai itu. Paling-paling dia hanya menanggung dosa, tapi dia tak terlalu peduli dengan dosa, toh dia harus mati dulu untuk menerimanya. Persoalannya, ini baru pertama kalinya. Lelaki itu sedikit ragu apakah rasanya membunuh manusia sama dengan membunuh sapi? Apakah dia sanggup mengiyakan untuk tak hanya membunuh, tapi juga memotong-motong, sampai menghilangkan jejak jasad orang yang dia bunuh itu?
Dia amati proporsi tubuh perempuan itu. Seratus juta untuk membunuh, memotong-motong dan mencincang tubuh hingga tak dikenali.
"Bagaimana, Pak?" ulang perempuan itu.
Melihat gelagat keraguan yang berlalu lalang di wajah jagal sapi, perempuan itu meyakinkan sekali lagi, "Pokoknya tugas Bapak hanya memastikan tidak ada yang tahu jasad saya. Termasuk orang tua saya. Kalaupun mereka tahu cara mati saya di tangan Bapak, pastikan tak ada satu pun bagian tubuh saya yang mereka tahu. Saya mau orang tua saya mengenang saya pada wujud semasa saya hidup saja.”
Lelaki jagal itu masih belum menjawab.
"Kalau Bapak masih ragu dengan suratnya, apa perlu saya bikin video bahwa ini memang kemauan saya?"
"Ya, begitu lebih bagus. Silakan Mbak bikin video pengakuan dahulu! Baru saya setuju dengan tawaran Mbak.”
***
Kantor polisi gaduh setelah satu pengakuan lepas dari mulutmu kalau Wening memang tewas di tangan jagal sapi. Ibu Wening histeris begitu video bukti Cak Marto tidak bersalah diputar. Di sini, kau tidak menyangka, kehidupan memang seperti kelambu. Persis yang dikatakan Wening sore itu. Ada sesuatu di balik apa yang terbentang. Ada sesuatu yang tak pernah kau ketahui selama ini di balik wajah apa adanya Wening saat makan bersamamu. Semuanya selalu wajar-wajar saja. Dan baik-baik saja bagimu.
Baju yang Wening kenakan di video wasiat itu, persis seperti baju terakhir kali yang dia kenakan saat menyerahkan surat padamu. Berikan surat ini bila suatu ketika seseorang menanyakan keberadaan saya, dan itu orang tua ataupun keluarga saya. Dan satu lagi Pak San, jangan ceritakan apa pun selain hanya memberikan surat ini ya, Pak San. Begitu pesannya padamu. Wajah jagal itu begitu tenang. Sementara kau tak bisa berhenti menghardik mulutmu dalam hati karena sudah membongkar sebuah wasiat rahasia.
Sampai detik ini kau berusaha menutupi kalau Wening pernah terang-terangan sambat mengenai hidupnya padamu di hadapan mereka. Kau mati-matian tak ingin ingkar janji dua kali. Mulanya kau anggap percakapan sebelum surat itu diberikan padamu sekaligus menjadi percakapan terakhirmu dan Wening itu bercanda, sebab selalu tak ada ekspresi serius di wajahnya. Semua terlihat seperti lelucon biasa.
"Haha, begitu langkah yang ingin saya ambil untuk semua beban ini, Pak. Tapi kalau itu betulan terjadi, Pak San jangan cerita ke siapa-siapa ya," ucap Wening dengan masih terbahak-bahak.
"Beres!" jawabmu berkelakar.
Kalau saja kau tahu, kau tak asal menjawab Wening dengan kata beres. Sekarang kau rasakan sendiri, betapa sesak ucapanmu itu yang kau yakini telah dianggap Wening sebagai janji. Apalagi, itu yang terakhir kali. Bukankah selalu ada pesan terakhir sebelum orang mati? Bukankah, itu pesan terakhir yang Wening katakan padamu?
"Di mana saudara buang mayat korban?"
"Tidak saya buang, Pak! Untuk menghilangkan jejak seperti yang diinginkan korban, saya cincang setelah saya potong dan saya bakar setelah itu!"
Semua orang tercengang dengan jawaban yang kelewat enteng dari mulut Cak Marto.
"Lantas saudara ke mana kan abunya?"
"Saya campurkan dengan semen untuk menambal tembok rumah saya yang retak, Pak."
"Saya mau, dia dihukum mati, Pak! Saya akan membeli hukum berapa pun itu untuk keadilan putri saya!" Papa Wening berbicara dengan amat geram.
"Tidak bisa, ini sudah disepakati korban. Saya ini memang jagal. Jadi, ibaratnya saya bekerja sesuai arahan pelanggan saya. Bapak lihat sendiri, video klarifikasi dan surat pernyataan ini? O, ya, video klarifikasi dan isi surat yang dibawa Pak San sama persis, berarti itu benar-benar keluar dari hati korban."
“Bacalah bagian ini!” Cak Marto menunjuk sebuah paragraf dari surat yang dititipkan padamu langsung oleh Wening itu. Cak Marto baca dengan lantang, seolah ingin semua yang di kantor polisi mendengar. “Suatu ketika setelah surat ini sampai, Wening yakin kalian bakal bertanya-tanya mengapa Wening melakukan ini. Baiklah, sebenarnya Wening hanya ingin mewujudkan cita-cita Wening yang kesekian kali, Papa, Mama. Wening tak ingin meraih apa pun lagi selain ketenangan. Maafkan Wening, Papa, Mama. Wening sayang kalian.”
“Coba Bapak putar menit ke berapa itu tadi! Bener, kan, apa yang ditulis Mbak Wening ini sama persis dengan yang di video?”
Polisi itu geming, mereka melirik ke arahmu lagi. "Saudara mengatakan, cukup dekat dengan korban, apa korban sempat menceritakan sesuatu yang janggal sebelum meninggal?"
Kau rasa suhu ruangan berlipat kali lebih dingin. Kau bersikeras mengunci mulutmu, tapi gertakan dari kedua polisi berhasil membobol kata-kata yang kau simpan sejak tadi.
"Pernah, Pak," jawabmu.
“Cepat ceritakan!”
Kau ceritakan semua dengan bibir gemetar dan kalimat yang patah-patah.
_______
Penulis
Solu Erika Herwanda, mahasiswi di STKIP PGRI Ponorogo. Belajar menulis apa saja. Kerap ikut lomba cerpen dan kirim karya ke media meski jarang dimuat. Suka ke kedai kopi pesan nonkopi. Asli Madiun. Di Ponorogo kuliah aja.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com