Cerpen Muhammad Ghaisan Safaraz
Embus angin menyelimuti hari. Langit membentang biru
laut. Hewan menggemaskan mulai bernyanyi. Kini, waktu terasa kembali.
Jari-jemari yang mulai kugerakkan. Hirup hangat wangi teh khas bali. Masa kecilku terasa teringat kembali walau kala itu adalah kenangan emas
yang tak dapat terulang kembali. Tidak terasa, waktu berlari begitu cepat.
Tawa meriah anak-anak memenuhi isi kepala ini. Hangatnya suasana, sejuknya
udara, dan lautan yang membiru sudah berubah, namun desa ini tetap akan
mempunyai khas dalam diriku seorang. Masa itu memang menyeramkan walau masih
membekas di hatiku. Hari ini aku mengunjungi desaku yang kutinggali semasa
penjajahan Jepang memarak. Desa Moko layak dikenang karena berbagai alasan
semata.
Jari-jemariku yang mulai menggali kantung celanaku, aku melihat
berbagai pesan masuk di HP-ku. Salah satunya dari kakakku, Liam
sayang, sudah lama sekali Kakak tidak melihatmu, dan kamu
kembali ke desa tanpa diriku, desa itu juga pasti kangen dengan diriku ini. Kakakku
memang suka bercanda. Hal ini yang membuatku menyayanginya.
“Mas, kayaknya sudah sampai sini saja saya mengantarmu. Tidak
bisa lebih dari ini, berhubung harus menanjak gunung ini dan jalanan yang
licin,” ucap seorang sopir.
“Owh, tidak apa-apa Pak. Tidak perlu memaksakan. Saya jalan saja mulai dari
sini. Terima kasih, Pak” kataku sembari mempersiapkan barang-barangku.
Jalan yang kotor, hancur, dan tak terawat. Tidak salah, seharusnya tidak akan
ada seseorang yang merawat tempat menyeramkan ini. Sudah beberapa kali aku
menanjak, cukup melelahkan. Keringat mulai keluar dari tubuhku, sudah
membanjiri pakaian ini.
Akhirnya, aku sudah berada tepat di depan tempat tinggalku kala itu. Keadaan
yang kumuh, rumput dan tanaman yang mulai menyelimuti rumah itu. Rintik air turun dari pohon rindang, mungkin beberapa orang akan ketakutan
jika melewati rumah ini. Sekilas, memori itu kembali lagi. Kenangan yang
sungguh menakutkan, tentara Jepang yang datang ke rumah untuk mengambil tempat
ini.
Namun, memori itu tetap akan terpaku dalam diriku. Huft, waktunya
memasuki rumah ini. Untuk mengambil barang lama.
Aku sudah sejauh ini, tidak mungkin aku mundur dan menyerah hanya untuk
mengambil barang itu.
Aku memberanikan diri dan mulai memasuki pintu yang sudah rapuh. Doronganku malah membuat
pintu itu terjatuh dan hancur. Tidak heran, sudah puluhan tahun aku lari dari
tempat ini. Aku memasuki rumah, terasa hawa saat itu masih tersimpan di sini. Kini,
aku kembali.
***
Langit yang mulai meredup, burung-burung yang berterbangan kembali ke
habitatnya. Sang raja siang yang mulai pergi. Semua mulai memasuki tempat
tinggalnya, anak kecil, orang tua, keluarga, akan tertutup pada tempat
tinggalnya masing-masing. Air asin tercucur dari seluruh tubuhku,
lelah rasanya menjalani hari ini.
“Adek, Kakak, yuk masuk! Hari sudah mulai menggelap nih, Mamah juga sudah
siapin makan malam,” ujar seorang wanita paruh baya, dia adalah ibuku.
Seseorang yang sangat berharga dalam kehidupanku.
“Iyo Mah, Kakak sama Liam lagi siap-siap mandi dulu,” jawab kakakku.
Setelah membersihkan diri dan bersiap untuk makan bersama. Mananan kesukaanku,
soto dan tangkil buatan ibu. Rasanya sungguh menggugah selera. Terlebih
suapannya yang membuat nafsu makanku melonjak tinggi. Aku yang menikmati
makanan yang mulai memasuki mulutku, dengan kasih sayang ibuku.
DUARR! Aku, Kakak, dan Mamah berhenti seketika. Ada suara terdengar keras dari luar. Kami segera melihat melalui celah jendela, untuk melihat
keadaan di luar. Mataku tersorot kepada seseorang yang membawa sebuah kain,
pancar sinar bulan yang memperlihatkan. Kini, aku tahu kalau itu adalah bendera Jepang. Disusul dengan beberapa kumpulan dari belakang orang tersebut, dengan
menggandeng senjatanya masing-masing.
“Liam sini! Segera kemari!. Ayok siap-siap pergi dari sini!” bisik Mamah yang sudah merangkul beberapa barang bawaan dan Kakak yang mulai membuka pintu
belakang untuk segera bergegas bersembunyi dan lari.
Terdengar langkah yang mulai mendekat, aku mengendap menahan ketakutan. Aku yang berhasil menghampiri Mamah dan kami berdua segera
keluar dari rumah. Orang Jepang mulai masuk ke rumah, kami menahan napas
agar tidak terdengar gerakan sama sekali. Jantungku yang mulai bergema dengan
keras, denting air jatuh dari tatapanku satu per satu. Mamah memeluk
erat aku dan Kakak. Kami hanya bisa saling memeluk erat satu sama lain.
***
Di kejauhan, aku mendengar sesuatu yang akrab di telingaku. Alunan musik
ramai, perlahan tatapanku yang mulai menjelas. Kilauan sinar matahari yang
menembus celah-celah jendela di sekitarnya, angin yang mengusap kulit serta
rambutku. Pekikan burung yang tengah bernyanyi bersama lantunan musik itu,
sembari bertengger di lengan pohon hijau.
Aku terbangun dari tempat istirahatku dan mau tidak mau harus menjalani hidup kembali. Namaku adalah Liam, terkadang aku sering dipanggil Mail. Walau aku kurang suka dengan itu. Ya, karena mereka sendiri memang niatnya meledekku.
Hobi diriku sendiri, mungkin melukis, menulis, dan membaca. Tapi, terkadang
yang aku suka adalah mengkhayal apa yang aku inginkan.
Tatapanku tertuju kepada HP yang aku genggam. Waktu
menunjukan sebentar lagi jam tujuh, sedangkan aku masih harus pergi ke
universitas untuk melanjutkan mata kuliah. Cukup lelah dikit saja, aku mulai
bersiap secara terburu-buru karena belum membersihkan tubuh untuk berpergian.
Saat mandi aku mendengar terus-menerus lantunan musik yang tidak asing
pada pendengaranku. Aku yang telah selesai bersiap-siap, keluar dari kos-kosan
untuk segera menaiki kendaraanku pergi ke kampus. Namun,
setelah aku keluar terlihat banyak sekali orang tengah berkerumun seperti
melihat sesuatu. Memang sih, sumber suara yang aku dengar ada di sana. Karena
jiwa dalam diriku ini yang penasaran, aku memberanikan diri untuk melihat
sekilas saja. Aku yang menyerobot kerumunan orang, melihat seseorang yang
memegang alat musik tradisional tengah memainkannya. Sekilas aku melihat, bahwa
alat musik itu sangat familiar di pikiranku.
Namun, aku yang melihat jam yang menunjukan setengah tujuh, aku berlari kembali
ke kendaraanku untuk segera berangkat menuju kampus. Aku sampai dan segera masuk ke dalam ruanganku dan
melakukan pembelajaran seperti biasa saja. Setelah langit menunjukkan mulai
menghitam, pembelajaran diakhiri dengan kelelahan.
“Liam, boleh kita berbicara empat mata?” panggil dosenku sembari
merapihkan barang-barangnya.
“Owh, baik Pak,” jawab gugupku, aku takut jikalau membuat kesalahan pada
selama pembelajaran ini.
“Kamu tau gak besok hari apa?” tanya dosenku dengan melakukan kontak mata
denganku.
“Hari Selasa Pak, hehe,” candaku sembari menggaruk kepala dan tersenyum.
“Bukan loh, maksud saya sebentar lagi 17 Agustus. Hari Kemerdekaan
Indonesia loh,” ucapnya.
“Owalah, terus kenapa Pak? Ada yang ingin di omongin sama saya terkait hal
itu Pak?” tanyaku.
“Iya, Bapak mau mulai dari tanggal sekarang, yaitu tanggal 12, kamu dan
kawan-kawanmu mempersiapkan acara 17 Agustus, acara ini harus meriah. Karena acara ini terbuka untuk umum atau semua kalangan,” jawab dosenku dengan
tatapan yang lelah.
“Siap, santai Pak. Saya dan teman-teman saya pasti bisa bikin acara ini
meriah dan disukai seluruh kalangan Indonesia,” jawabku dengan gagah.
“Ya sudah, karena hari yang mulai menggelap, kita lanjut saja lewat chatt,
nanti Bapak hubungi lagi,” kata dosenku.
Aku pulang ke rumah dengan segala letih dan
lesu secara bersamaan. Aku langsung berbaring di tempat kasur, serasa nikmat dunia yang telah aku jalani ini. Aku cek HP, ada berita terbaru. Aku yang mulai melihat berita itu merasa ada yang aneh. Betul, itu adalah acara yang dilakukan tadi pagi tepat
di sebelah kos-kosanku.
Aku teringat kembali alat yang dimainkan oleh orang tersebut bernama apa.
Karena, aku terasa familiar dengan alat itu. Setelah aku melakukan
pencarian di internet, ternyata alat tersebut adalah alat yang sering aku
mainkan semasa kecil. Pantas saja, lubuk kaldu ini merasa sedih karena sekilas
melihat alat yang aku mainkan saat kala itu. Yaitu, Serangko.
Ingatanku terasa kembali pada saat ini. Aku membayangkan memainkan alat ini sewaktu kecil. Terdapat pesan masuk, itu dari dosenku.
Liam, kamu sudah boleh mendiskusikan ide-idemu kepada teman-teman mu ya.
Selintas, aku mempunyai sebuah ide menarik. Aku segera menghubungi anggota
organisasiku.
***
Hari ini, aku mengadakan rapat bersama seluruh anggotaku via zoom.
Aku menuangkan ideku dan disetujui oleh seluruh timku. Mulai pembagian tugas,
baik itu yang melakukan marketing, design, master of ceremony, dokumentasi,
penyedia alat-alat, pengatur acara, dll. Aku yang telah menghubungi dosenku
juga di setujui akan ideku. Hari ke hari kami mempersiapkan seluruh kebutuhan
dan menata panggung, serta penyebaran poster.
Aku yang menjadi pembawa acara merasa sangat gembira. Karena, ratusan
orang akan datang ke acaraku dengan ide murni diriku juga. Aku terus berlatih
menjadi pembawa acara yang dapat membuat acara meriah, baik itu secara suara,
senyuman, dan lain sebagainya.
***
Naungan ayam yang mulai datang, gema ponsel di samping, aku terbangun dengan
segala persiapan. Kini, tiba saatnya hari itu datang. Aku segera membersihkan
diri dan bersiap-siap mulai dari jam lima dan berangkat menuju tempat acara.
Aku melihat tempat ini yang sudah di kemas secara luar biasa dan menarik, aku
yang membayangkan diriku di atas panggung sana menyambut seluruh kalangan
Indonesia. Baik itu pelajar, mahasiswa, dan seluruh masyarakat.
Serta makanan-makanan yang dijual belikan terasa sangat harum menusuk
paru-paru, terdapat makanan tradisional yang tidak kalah keren luar biasa.
Terkadang, aku selalu berpikir. Nikmat yang aku rasakan, layaknya surga dunia
yang tidak kalah tandingannya. Selama ini, aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan teman baik, dosen baik, dan negara yang nyaman.
Waktu yang mulai menunjukan jam delapan, seluruh persiapan sudah usai, dan
satu per satu kalangan umum mulai datang secara ramai. Tempat ini yang sudah
mulai dipenuhi seluruh peserta, semakin membuatku semangat yang turut datang
kepada dunia. Seluruh peserta yang sudah berkumpul di tengah panggung, dengan
canda tawa yang meriah. Teman-temanku yang telah memberi semangat dari
belakang, kini adalah waktuku.
“SELAMAT DATANG DI ACARA 17 AGUSTUS KEMERDEKAAN INDONESIA!”
Tepuk tangan meriah menyelimuti tempat ini, aku merasa bahwa ini adalah
diriku yang sebenarnya. Terima kasih dunia. Setelah sambutan, kini ideku akan
dilaksanakan. Timku yang mulai memberikan alat musik tradisional, yaitu alat
yang bagiku adalah kenangan terindah, Serangko. Permainan yang aku pandu dan
seluruh peserta yang mengikuti diriku bermain. Dengan melantunkan musik hangat, memberikan ketenangan.
Senyum hangat semua peserta, mengingatkan pada saat diriku bermain alat ini
semasa itu. Sungguh, kenangan terindah yang pernah aku rasakan. Tak sengaja, air mataku jatuh. Tiba di mana waktu menunjukkan untuk
melanjutkan ke acara berikutnya, aku tidak ingin menghilangkan kenangan ini.
Aku mengajak seluruh peserta untuk berfoto bersama, hitungan yang aku berikan
akan sangat bermakna di lain waktu nanti.
Inilah yang ditunggu-tunggu, lomba. Tidak heran, aku
mengumpulkan seluruh permainan tradisional di Indonesia. Baik itu tarik
tambang, panjat pinang, dan lain-lain. Sebagian juga menyapa lidah mereka
dengan makanan-makanan lezat yang mengandung khasnya tersendiri.
Aku mulai turun dari panggung, namun tatapanku yang tertuju ke sesuatu yang
tidak asing. Dua orang yang berdiri melambaikan tangannya kepadaku, aku
memperjelas pandanganku. Aku lihat, mereka adalah Mamah dan Kakak. Aku berlari
sekencang mungkin menghampiri mereka, memeluk dengan penuh kehangatan.
Terima kasih dunia. Sampai bertemu lagi di kenangan selanjutnya.
______
Penulis
Muhammad Ghaisan Safaraz, siswa SMPIT Raudhatul Jannah Cilegon. Tinggal di Perumahan Gedong Cilegon Damai B 33 No.4, RT 04/RW 05, Kalitimbang,
Cibeber, Cilegon.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com