Novel Syamiel Dediyev
#7
Sesampainya di rumah, aku hanya bisa menyandarkan tubuh lelahku pada sebuah kursi reyot memandang ke atas langit yang perlahan binar bintang menghapus mendung.
"Kenapa semua jadi begini ya Allah," ujarku dalam hati mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. "Ada apa denganmu Halwa? Sulit sekali aku mengerti tentang isi kepalamu, bukankah kamu sudah kembali ke mantanmu?"
Pikiran ini menggangguku. Ujian Nasional (UN) semakin dekat. Kepala dan rasa harus saling berdamai atau kalau tidak dia akan merusak semuanya. Menyesal akan kata-kataku tadi yang tak bisa sedikit pun kuhentikan. Bagaimana bisa dengan secara sadar aku bisa berkata "Kalau memang aku suka Fani kenapa?" Aku terjebak dalam rasa saat aku dan Fani berjanji hanya menjadi teman saja. Kenapa juga aku menyetujui proposal yang Fani ajukan? Sebuah tanya dalam pikiran.
"Hei, sadarlah, Fani itu sempurna. Jangan mudah terbawa arus perasaan. Nanti kamu hanya akan menjadi badut. Gak bakalan kan Fani suka sama kamu. Jangan bodoh!" bisik suara dari sisi kiriku.
"Eh semuanya bisa aja terjadi kan? Jangan nyerah tempel terus," bisikan dari sisi kananku.
Kenapa semua ini membuatku pusing. Aku pun masuk kamar dan mandi. Kemudian menuju tempat tidur. Bolak-balik kanan-kiri sulit sekali aku memulai tidur.
"Bener kan kataku, kamu pembohong!" aku pun terbangun, teringat kata-kata -alwa. Pembohong? Akhirnya tuduhan itu benar-benar memiliki dasar yang tak bisa aku mengelak sedikit pun.
"Awa, tolonglah, kenapa kamu iniiii!" Teriak hatiku mematik gelisah.
Aku pun perlahan memandangi lampu tidur Big Hero pemberian Halwa sebagai hadiah ulang tahunku. Ingatanku pun kembali ke masa kita pertama akrab dengan segala canda tawa. Berteduh bersama saat hujan datang. Makan bakso berdua saat stres mulai tinggi akibat pelajaran dan tugas-tugas sekolah yang semakin penat, serta pergi ke toko buku hanya untuk mengisi waktu. Semua dilakukan bersama dan kini kau kembali ke titik di mana engkau pertama kali mengenal sebuah rasa yang aku kira menepi bagiku adalah sebuah pilihan daripada aku mengganggu bahagiamu.
Dia adalah seseorang yang pasti memiliki memori yang indah bersamamu. Namun aku heran kenapa kau seperti marah kepadaku saat aku dekat dengan Fani? Inilah sebuah pertanyaan dariku untuk Halwa.
"Aku rindu masa-masa itu Awa," bisikku dalam hati.
SENIN PAGI, O6.30.
"Selamat pagi Bu Haji, Halwa ada?" tanyaku kepada Umi Halwa.
"Udah berangkat dari tadi jam enam. Tumben gak sama kamu? Kalian kenapa ya?" tanya balik Umi kepadaku.
"Oh, gak ada apa- apa kok Bu Haji. Terima kasih. Salim pamit dulu ya."
Kenapa anak ini? Apakah marah besar, tiada kabar WA ataupun telepon seperti biasanya. Hari ini adalah hari di mana Halwa berangkat sendiri tanpaku dengan angkot. Pikiranku kembali gelisah ingin cepat-cepat sampai di sekolah dan bertemu dengannya.
Sampai di sekolah aku langsung masuk sekolah agak terlambar. Di mana Halwa? Bukankah dia sebangku denganku?
"Kamu cari Halwa ya? Dia pagi-pagi ngajak aku tuker tempat," ujar Rina berbisik. Rina yang sekarang yang menggantikan posisi Halwa sebagai teman semejaku. Tak kulihat Halwa mau menatapku, lebih dingin dari hari-hari sebelumnya.
Jam istirahat pun berbunyi. Teman-temanku pun bergegas keluar kelas mencari jajanan pengganjal perut. Tinggal aku dan Halwa di dalam kelas sesaat aku ingin mendekat tiba-tiba Fani datang masuk ke kelasku dan memberiku bekal.
"Ini ada roti untukmu,". Fani pun duduk di depanku sambil membuka roti lapisnya dan kita pun makan bersama.
Gubrakkk!
Suara kursi yang beradu dengan meja bikin kami kaget. Mata kami berdua pun mengarah pada sudut yang sama. Terlihat Halwa dengan wajah merahnya berkata
"Berisik! Kalau mau pacaran sana di luar, ganggu orang aja!"
Akhirnya dengan kesal Halwa pun meninggalkan kami berdua di kelas. Fani berkata
"Salim... buruaaan... kejar Halwa!"
"Awa... tunggu...!" teriakku pada Halwa.
"Apalagi? Udah pacaran sana puas-puasin!" jawab Halwa dengan kesal.
"Apa-apan sih kamu inj, malu dilihat orang,". jawabku.
"Biarin semua orang tahu, buat apa lagi disembunyiin!" jawab Halwa.
"Tolong, bisa gak tinggalin aku sendirian dulu, please... aku bukan siapa-siapa kamu kan?" pinta Halwa.
"Kamu teman aku Awa. Kamu sudah salah paham," balasku.
"Iya kamu teman aku. Gak lebih kan?!" jawab Halwa. "Tolong biarin aku sendiri. Aku gak mau lagi repotin kamu. Semoga hubungan kamu sama Fani baik-baik selalu!" pamit Halwa kepadaku. Halwa pun lari ke musala sekolah.
"Maafkan aku Awa. Kamu salah paham," bisik hatiku.
(Bersambung...)