Puisi F. A Lillah
Kejadian yang Terus Terulangi
Sudah ke berapa kalinya saya katakan bahwa dirimu sedang tidak baik-baik. Sudut pandang adalah pisau dapur yang sebenarnya. Tetapi dirimu berserah diri untuk membiarkan orang-orang berlalu-lalang menjadi tuan gagang. Bukankah dirimu tahu bahwa pisau sejatinya melukai. Tetapi dirimu masih berpihak pada keagungan mistik. Hidup telah teratur. Cemas dan bahagia adalah dua kata yang tak penting bagimu. Dirimu adalah luar kata yang mungkin telah mati sebelum dilahirkan. Tetapi saya amini ada yang lebih mematikan, seperti dirimu yang belum selesai mendidik dirimu sendiri.
Cafe Joglo, 2024
Mathilda, Kebahagiaan Itu Ada
Terkadang takdir memang sebangsat ini. Desir angin menunjukkan kekejian. Air tak dapat menyembunyikan ganas api. Debu berpaling diri dari cinta kaca jendela. Waktu terbilang pengingat kepiluan. Hidup seperti tidak pantas dalam kalimat perjalanan. Mathilda, kebahagiaan itu ada. Namun sekarang masih tertimbun oleh pembacaanmu. Ingat itu bukan milikmu, punyamu adalah kesehatan melupakan kebahagiaan itu.
Terkadang takdir memang sebangsat ini. Namun itu hanya notif salah alamat.
Cafe Maji, 2024
Air Matamu Gerimis Musim Panas
Mendung yang masih menyelimuti hari-harimu adalah cinta semesta menumbuhkan benih. Isyarat penyuburan dari bahasa hari esok, sengaja memanggilmu dengan suara guntur. Gelombang kekalutan hanyalah cuaca warna langit semata. Kembalilah ke lembah tenang cintamu. Hari esok masih ada yang lebih kejam dari pada waktu ini.
Gowok Yogyakarta, 2024
Tiket Masuk Membaca Tubuh
Andai ku tak datang kala waktu gema subuh, barangkali esok pagi mendapati seikat petaka. Harga rasa sesal pasti terbit menghantui. Yang kutahu tidak boleh malas melangkahkan diri. Tidak boleh beriringan dengan kata cantik dan jelek. Dan pada getar menahan rasa takut jangan sampai pudar. Sebab tubuh bukan kekasih yang memiliki muara air mata.
Gowok Yogyakarta, 2024
Memata-matai Ruang Tamu
Kembang plastik mematung sendiri. Kipas angin menyanyikan lagu paling keras. Berterbangan bahasa wejagan yang tak dimengerti searti. Bunyi detak jam seperti mencatat kealpaan yang dibiarkan keangkuhan. Meja dan kursi seketika terbakar api. Lalu aku pergi ke depan cermin dan bergumam, apakah aku seseorang atas nama jiwa.
Gowok Yogyakarta, 2024
Dinding Hari
Di hadapanmu aku berbicara dengan lantang. Tak banyak diam merelakan rasa yang hanya tahu tiram kisah. Bayanganmu melebihi jawaban doa-doa. Masih mungkinkah aku mendengar suara panggilan untuk pulang. Terima kasih atas napas di sari hati meskipun harus menyimpan sejuta pilu. Bukan rela atas duka cita, melainkan aku tetap ingin pulang ke pangkuanmu.
Gowok, Yogyakarta 2024
_______
Penulis
F. A Lillah kelahiran Madura. Kini masih menjadi mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya terangkum dalam Melankolia Tubuh Ibu (SIP Publishing, 2024).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com