Friday, June 14, 2024

Cerpen Fileski Walidha Tanjung | Purnama yang Hampir Mati

Cerpen Fileski Walidha Tanjung



Nyala lilin mulai meredup. Batang itu meleleh hampir ambang pungkasan. Sudah hampir pagi ia belum juga merasakan kantuk. Memikirkan perkara pelik. Bersandar di lincak halaman depan rumahnya. Langit malam ini cerah. Namun, tak secerah pikirannya. Angin malam tak mampu menghapus gerah hatinya. Beberapa kali melintas bintang jatuh, tak membuatnya bergeming. Melamun ke ambang jauh. Istrinya sempat membuka pintu, melihatnya masih duduk termenung. Tak ingin mengganggu, istrinya masuk rumah lagi. Memang ia tak pernah mau diganggu ketika sedang merenung. Tak pernah butuh pendapat istrinya. Cukup ia bisa memutuskan hal-hal pelik dengan cara berdialog dengan dirinya sendiri. Memikirkan tentang sebuah pengkhianatan muridnya.

 

Ia tak pernah menduga, akan berhadapan dengan muridnya. Murid yang selama ini ia latih kanuragan dan ilmu kebatinan. Di pendopo itu, ia berikan semua jurus dan mantra yang pernah ia pelajari dari gurunya. Seluruh ilmunya sudah ia berikan kepada murid kesayangannya, bernama Anusa.


***


Di sebuah tempat yang masyarakat menyebutnya punden desa, banyak pohon besar di area itu. Pohon-pohon itu dipercaya yang menjaga sumber air bersih di desa. Keberadaan punden yang berupa petilasan, membuat pohon-pohon itu hingga kini tetap terjaga. Bagi orang yang mempunyai indera ke enam, bisa merasakan besarnya kumparan energi gaib yang ada di area petilasan. Sebuah petilasan yang ada sumber mata air di tengahnya. Orang sini menyebutnya Sendang Kadigdayan. Tak heran kalau banyak pemuda yang berlatih kanuragan di tempat itu. Suasananya sejuk dan menenangkan hati. Tak ada orang yang berani berbuat mesum atau menebang pohon sembarangan karena tempat itu sangat disakralkan masyarakat sekitar.   


Rutinan malam Jumat kliwon, ia dan para muridnya selalu Ngaji (Ngasah Jiwo) di area petilasan ini dan juga di berbagai tempat yang dianggap punya energi wingit. Berbagai rintangan dan godaan yang bersifat kegaiban, sudah menjadi hal biasa bagi kumpulan mereka. Kumpulan itu bernama Padepokan Sekar Jati. Ia dirikan dengan penuh perjuangan darah dan air mata. Hingga namanya tersohor di seluruh penjuru desa. Siapa yang tak kenal dengan Ki Pergiwa sebagai pendirinya.


Tujuh puluh tahun bukan lagi usia yang bisa dikatakan muda. Namun, raganya tak akan pupus berhadapan dengan para pemuda. Demi sebuah cita-cita yang sudah lama diinginkan, ia ingin tercatat sejarah sebagai Pancur Wesi. Istilah yang secara harfiah bermakna ‘pintu besi’. Pancur Wesi merujuk pada juru kunci yang dianggap sebagai penjaga pintu menuju alam gaib yang diyakini ada di sekitar petilasan leluhur.


Pergiwa selama ini belum pernah terpilih sebagai Pancur Wesi karena tak mendapatkan kepercayaan masyarakat. Sikapnya yang tempramental, gampang tersulut emosi. Memang ia seorang yang penuh integritas dan dedikasi dengan kepentingan masyarakat desa. Namun, tak pandai dalam mengendalikan amarah. Masa mudanya sangat aktif dengan berbagai kegiatan pelestarian budaya yang ada di desa. Kepeduliannya pada warisan leluhur, menjaga kelestarian kesenian, dan adat budaya, tak diragukan lagi. Hanya saja untuk menjadi Pancur Wesi, ia belum lulus uji.


Memang tidak mudah untuk bisa menjadi seorang pancur wesi. Bukan hanya kekuatan fisik yang jadi inti, kekuatan batin dan kebijaksanaan juga diutamakan. Sebab, seorang pancur wesi akan mengemban amanah besar. Bukan hanya ia akan jadi rujukan masyarakat yang minta pendapat, ia juga harus menjaga harmoni dengan alam dan mampu menjaga petilasan dari bermacam gangguan, baik gangguan fisik dan metafisik. Dengan begitu hubungan komunikasi desa ini dengan leluhur tidak akan terputus.


Satu muridnya ia temukan ketika sedang bersemedi di gunung penanggungan. Mencari wangsit dari Sasmitaning Aji. Ia temukan seorang anak di pintu menuju goa pertapan. Seorang anak yang usianya belasan--andaikan bersekolah, anak ini seusia anak SMP. Anak ini duduk lemas tak berdaya. Tak sempatkan untuk bertanya. Wajahnya pucat tak berdaya. Seakan tinggal di tempat itu sudah lama. Orang-orang datang dan pergi, hilir mudik tak ada yang peduli. Hanya Pergiwa yang sempat peduli, mengajak anak itu cari makan di warung yang ada di salah satu pos pendakian. Setelah makan, tetap saja tak mendapatkan jawaban dari apapun yang ditanyakan. Anak itu hanya bisa menggelengkan kepala, atau manggut-manggut ketika setuju.


Bagaimanapun juga, Pergiwa harus melanjutkan perjalanan menuju goa pertapaan. Anak itu pun mengikuti langkah Pergiwa. Bahkan anak itu masih menunggui Pergiwa usai dari semedi. Karena kasihan pada anak itu, Pergiwa pun membawa anak itu pulang ke kampungnya. Pergiwa tahu kalau anak itu sebatang kara. Ketika ditanya di mana rumahnya dan siapa orang tuanya, anak itu hanya menggeleng. Bahkan ditanya siapa namanya, tak menjawab, entah lupa atau memang tak punya nama.


Pergiwa memberinya nama Anusapati. Terinspirasi dari tokoh Anusapati, putra pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Karena ia tak tahu di mana ayahnya, mungkin sudah mati. Pergiwa ingin anak yang ia temukan itu, jadi orang besar, bisa naik tahta juga seperti Anusapati Raja Singasari. Beberapa alasan kenapa Pergiwa memberi nama Anusapati karena ia anak yang pendiam dan tertutup, tidak tahu siapa ayahnya, punya watak yang kurang tegas, penurut manut. Namun l, suatu saat Pergiwa yakin anak ini akan jadi orang besar, seperti raja Anusapati.


Di area petilasan, yang dipercaya masyarakat sebagai pusat energi gaib. Pergiwa melatih Anusapati ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Pergiwa semakin yakin kalau Anusa bisa jadi tokoh yang lebih hebat darinya. Sementara Pergiwa memang tidak dikaruniai seorang anak. Anusa dianggapnya anaknya sendiri. Ia didik Anusa sejak remaja hingga sampai dewasa. Ia biayai hidupnya, disekolahkan, bahkan sampai dikuliahkan.


Menjadi aktivis di kota besar, dari salah satu kampus ternama. Membuat Anusa menjadi pemuda yang pandai berbicara. Tak seperti ketika ia remaja, yang banyak diam dan mengurung diri. Bukan mahasiswa biasa, karena ia dibekali ilmu kanuragan, mantra ajian yang bisa membuatnya berwibawa, dan ilmu kebal senjata. Membuat Anusa selalu berani maju di barisan depan ketika demo turun ke jalan.


Mendengar kabar dari temannya di desa, tentang sesepuh Pancur Wesi di desanya telah mengembuskan napas terakhir, membuat ia ingin pulang ke desa. Kebetulan bertepatan dengan kelulusannya dari bangku kuliah, jurusan filsafat. Dengan niat ia ingin pulang membangun desanya dan melestarikan warisan budaya di tempat yang sudah membesarkannya.


Dari kota ia datang di kediaman Ki Pergiwa, orang tua angkatnya yang tak pernah ia melupakan jasanya. Ia pulang tak sendiri, ia ajak sahabatnya yang bernama Suliwang. Seorang sahabat yang selalu menemani Anusa ketika kuliah. Saking berminatnya Suliwang pada ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan yang diwariskan leluhur orang jawa, Suliwang pun sejak lama sudah meminta untuk diajak pulang ke desa ketika lulus kuliah nantinya.


Pucuk dicinta ulam pun tiba, Suliwang mendapatkan cita-citanya untuk bisa memperdalam ilmunya di sumber energi yang ada di desanya Anusa. Sebuah petilasan warisan leluhur yang membuatnya penasaran, karena bisa memberikan Anusa kekuatan tenaga dalam yang dahsyat.


Setibanya di desa, mereka berdua sungkem kepada Ki Pergiwa. Suasana rumahnya tak banyak berubah, banyak kenangan di tempat itu. Seperti bertemu kembali dengan anaknya yang sudah lama pergi, Pergiwa dan Anusa berpelukan layaknya bapak dan anak kandungnya. Mereka pun berbincang, meluapkan segala cerita yang terhalang jarak. Tak luput pembahasan tentang meninggalnya Pancur Wesi juga mereka bahas.


“Nus, awakmu wis krungu kabar, Pancur Wesi desa iki wis seda?” Pergiwa bertanya.


“Sampun Pak, justru karena kabar itu, saya pulang ke desa,” Anusa menjawab.


Tegese piye? Jadi kamu pulang karena berminat ingin jadi pengganti Pancur Wesi?”


Tampak rasa kecewa dari wajah Pergiwa. Anusa dan Suliwang pun juga melihat kemarahan Ki Pergiwa. Namun, karena sudah dianggap anaknya sendiri, Pergiwa tak akan lepas kendali. Kalau memang itu keputusan Anusa, maka tak ada pilihan. Pergiwa pun harus siap berhadapan dengan muridnya sendiri. Usai dari pembicaraan itu, mereka berpisah dengan kondisi yang tak baik-baik saja. Anusa dan Suliwang memutuskan untuk tinggal di tempat lain. Menyewa sebuah kontrakan untuk ditempati berdua.


Tanpa sepengetahuan Pergiwa, Anusa dan Suliwang rutin berlatih di area petilasan. Untuk menyerap energi murninya, Suliwang harus berlatih kanuragan dan melafalkan mantra kunci di radius yang dekat dengan pusat energi di area petilasan. Mereka berdua tahu kalau Pergiwa selalu datang ke petilasan di setiap malam Jumat. Maka, mereka berdua berlatih kanuragan selain hari itu. Tekad yang keras dan latihan yang hampir setiap hari membuat Anusa dan Suliwang bisa mencapai level energi yang pesat karena yang akan mereka hadapi adalah gurunya sendiri. Minimal bisa mengimbangi.


Telah genap empat puluh hari wafatnya sang Pancur Wesi, kepala desa akan segera mengumumkan siapa yang layak menjadi penggantinya. Sayembara pun dibuka. Siapa yang bisa melewati segala tantangan yang akan diujikan, yang akan lolos menggantikan. Tantangannya seperti mandi di kali pada waktu tengah malam sampai dini hari, di aliran sungai tempuran. Sungai itu dipercaya masyarakat sangat angker, sering terjadi penampakan genderuwo.


Tantangan pertama diikuti 25 orang yang akan mandi di sungai tempuran. Banyak yang lari terbirit-birit melihat sosok memedi yang menampakkan diri. Tinggal 11 orang yang bertahan. Tantangan kedua, berdebat di bawah punden keramat. Sebuah punden yang berupa pohon beringin yang dibungkus kain poleng. Barangsiapa di tempat itu yang tidak bicara jujur dan tidak bisa menahan amarahnya, akan mendadak linglung seperti orang kesurupan. Kepandaian Anusa, membuat banyak pesaingnya berguguran, karena pertanyaan yang dilontarkan Anusa membuat pesaingnya terlena menjawab dengan kebohongan, atau terpancing emosinya. Akhirnya berkat kejujuran dan pengendalian emosi dari Pergiwa, Anusa, dan Suliwang bisa lolos dari ujian ini. Dari 11 orang, kini menyisakan hanya 3 orang.


Babak final, tinggallah hanya mereka bertiga. Konon katanya babak ini yang paling berat. Setiap pemilihan Pancur Wesi di babak akhir, selalu ada korban nyawa karena mereka harus bertarung sampai ada yang menyerah, atau sampai mati. Dengan kekuatan manusia biasa, tak akan mampu menahan serangan kekuatan Ndadi. Setiap kandidat yang mencapai final, pasti selalu melafalkan mantra kunci untuk mendatangkan roh leluhur untuk diberi kekuatan di luar kewajaran. Istilahnya Ndadi, mereka akan bertingkah seperti harimau, singa, kera, atau hewan buas lainnya.


Berada di area pertarungan akhir, Pergiwa menatap mantan muridnya. Mungkin ia akan tewas malam ini, ia mengakui Anusa adalah anak yang hebat, apalagi ia masih muda. Pasti fisiknya jauh lebih perkasa dan mudah untuk mengalahkannya. Lain sisi ia sangat kecewa, teringat masa lalu dia telah menyelamatkan anak itu dari kerasnya hidup di jalanan. Setelah dewasa malah menjadi musuh bebuyutan yang menghalangi capaian posisi yang sudah sejak muda ia dambakan. Belum lagi berhadapan dengan Suliwang, meski anak itu orang baru, tapi energinya terasa juga besar. Hampir seimbang dengan Anusa.


Pertarungan dimulai, masing-masing mengucapkan mantra. Semua penduduk desa menonton pertarungan mereka bertiga, sebuah pertarungan yang akan menentukan siapa yang akan menyandang jabatan Pancur Wesi berikutnya. Setelah melafalkan mantera, Pergiwa kerasukan roh seekor singa, ia menggeram bagai siap menerkam. Anusa kerasukan menyerupai seekor kera, sangat lincah dan pandai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Suliwang kerasukan seekor harimau. Setelah mereka bertiga menjadi buas, tak ada yang sadarkan diri, tak ada lagi siapa kawan. Suliwang dan Anusa saling menyerang, yang terakhir bertahan adalah yang akan menang. Pun Pergiwa juga ikut menyerang, tak ada kerja sama. Mereka bertiga saling baku hantam, saling cakar dan tendang. Dicabik-cabiknya Suliwang oleh Anusa ketika Anusa bisa menduduki pundaknya.


Anusa pun diempaskan Suliwang hingga terjatuh ke tanah. Dari kejauhan Pergiwa berlari kencang seperti singa kelaparan. Dihantamnya Suliwang hingga terpental, membentur pohon sengon hingga pohon itu roboh. Suliwang terkapar lemas. Melihat itu Anusa setengah tersadar. Langsung ia melompat lincah seperti kera, mengangkat tubuh Suliwang dan membawanya pergi. Hilang ditelan kegelapan malam.


Dengan napas terengah-engah, Pergiwa tak menyangka hanya ia yang tersisa di arena itu. Artinya ia adalah pemenangnya. Padahal ia mengira akan mati malam ini, menghadapi dua anak muda yang secara fisik lebih kuat. Suasana hening seketika, masyarakat yang melingkar di sekitarnya, tertegun melihat Pergiwa yang terkapar tak berdaya, ia duduk bersimpuh, dan ambruk ke kanan dengan kepala bersandar di tanah. Tatapan matanya ke atas tertuju pada purnama. 


“Anusa, jika bukan kamu yang melawanku, mungkin malam ini aku sudah mati, aku tahu ini caramu membalas budi,” ucap Pergiwa dalam hatinya tertuju pada murid kesayangannya. 


2024



______


Penulis


Fileski, nama asli Walidha Tanjung Files, lahir di Madiun pada 21 Februari 1988, adalah seorang penulis, musikus, dan penyair Indonesia. Dikenal melalui karya puisi dan prosa, karya-karyanya pernah dimuat di  Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Bangka Pos, Denpasar Pos, Koran Nusa Bali, BWCF, Harian Rakyat Sultra, Koran Merapi, Radar Tuban, Radar Jember, Radar Lawu, Radar Madiun, Tribun Batam (Kantor Bahasa Kepri), Solo Pos, Radar Surabaya, Radar Bojonegoro, Koran Haluan, Utusan Borneo (Malaysia), Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Sinar Indonesia Baru, Rakyat Sumbar, Singgalang, Halo Jember, Suara Sarawak (Malaysia), Elipsis, Apajake, Kawaca.com, Ngewiyak.com,  Sastramedia.com, dll. Fileski kerap tampil di ajang sastra dengan konsep Resital Puisi. Peraih Anugerah Hescom dari e-Sastera Malaysia 2014-2015. Lima Terbaik kategori Seni Budaya GCC 2021 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Penulis terpilih di Peta Sastra Kebangsaan 2024 Komunitas Salihara. Sebagai delegasi Penyair Jawa Timur mengikuti ajang sastra nasional Temu Sastrawan MPU VIII (Banten) dan MPU XI (Jawa Barat). Penyair Terpilih di Mimbar Penyair (Festival Tebuireng 2024). Founder Negeri Kertas dan Teater Pilar Merah. Dapat ditemui melalui email: fileskifileski@gmail.com, Instagram @fileski, Facebook: Mas Fileski.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com