Friday, June 28, 2024

Cerpen Rosyidatul Munawaroh | Marinka Ingin Pulang

Cerpen Rosyidatul Munawaroh



Jakarta tak pernah menjanjikan apa-apa. Manusianya saja yang terlalu berharap banyak.

—Rinrin Eka.


“Kau yakin pulang? Malam-malam begini?”


Mungkin sudah kali kesembilan Madam Beka bertanya. Mengulang pertanyaan yang itu-itu terus. Marinka baru saja selesai menalikan sepatunya lantas berdiri dan tersenyum. Ia hanya mengangguk sekali tanpa berkata apa-apa lagi selain salam perpisahan.


Dengan penuh drama, akhirnya ia berhasil meringankan langkah. Melambaikan tangan di bawah lampu neon tepat di atas pagar. Madam Beka berada di baliknya dengan ekspresi sedih.


Marinka akan pulang, hanya karena ia memang ingin pulang.


***


“Apa yang ingin kamu cari, Nak?” tanya Umi masih penuh khawatir.


“Kehidupan yang lebih baik. Umi, semua yang Rinrin lakukan ini demi keluarga kita.”


Mata Umi sempurna basah. Tak rela melepas anak gadis satu-satunya merantau ke Jakarta. Sementara Abah sempurna mengerti dari mana sikap keras kepala anaknya itu diturunkan. Maka dari itu, Abah hanya diam. Duduk di kursi ruang tamu. Menunggu. Barangkali anaknya berubah pikiran. Selebihnya ia hanya pasrah dan berdoa. Benar. Hanya sebuah doa untuk keselamatan putrinya.


Nyatanya air mata Umi pun tak mampu membuat Rinrin mengubah tekad. Ia tetap pergi ke Jakarta dengan menumpang mobil kol bak sayuran milik tengkulak dari kampung sebelah. Hanya empat bulan. Rinrin kembali pulang. Tidak sendirian. Ia membawa serta seorang pria yang diperkenalkan sebagai calon suaminya. Rinrin pulang untuk meminta restu mereka.


Laki-laki kekar, tinggi, dengan celana jeans belel yang robek di sana sini. Kemeja polos hitam yang dikenakan tidak dikancingkannya dengan sempurna. Membuat tato naga di dadanya menyembul keluar. Umi berkali-kali membuang muka setiap melihatnya. Ditambah sikap kurang sopan yang ditunjukkan laki-laki itu terhadap calon mertua, jelas membuat Abah menolak mentah-mentah.


***


Siapa yang tak kenal Agus Kuncir? Semua orang-orang di terminal mengenalnya. Hingga saat lelaki itu menenteng dua gembolan tas milik seorang gadis yang baru saja tiba dari kampung, tak ada yang berani mengusik meski gadis itu nyaris menangis meminta tolong.


“Sssstt. Jangan takut!” katanya. “Neng mau ke mana? Biar Abang antar,” tanyanya kemudian dengan suara yang lebih lembut.


Rinrin pasrah jika barang-barangnya harus raib saat itu. Asal nyawanya selamat. Alih-alih menjawab alamat tujuannya di Jakarta, Rinrin hendak berlari setelah mengumpulkan banyak tenaga dan keberanian saat diamnya tadi. Namun nahas, Blbaru saja balik badan, tubuhnya melayang; berpindah ke salah satu bahu preman itu. Rinrin sudah tidak pasrah kepada barang-barangnya saja; juga kepada nyawanya.


Namun perkiraannya salah. Lelaki itu benar-benar mengantar Rinrin dengan motornya setelah merampas selembar kertas bertuliskan alamat rumah di saku celana perempuan berparas manis itu. Fatma sahabatnya sampai terbengong-bengong saat melihat kedatangan Rinrin yang tak sendirian.


Bergidik ngeri, Rinrin berdoa agar tak dipertemukan dengan lelaki itu lagi. Namun harapannya justru berbalik. Entah mengapa, Rinrin merasa sering bertemu dengannya setelah itu. Dia ada di mana-mana, membuat Rinrin kadang merasa bahwa ia sedang dibuntuti setiap hari.


***


“Tolong dipertimbangkan lagi, Rin. Aku yang bawa kamu ke Jakarta. Bagaimana tanggapan Umi sama Abah nanti sama aku?” Fatma mulai frustrasi ketika Rinrin mulai mengutarakan niatnya untuk kawin lari.

 

“Lagian apa kamu yakin bahagia sama begundal itu?”


“Cukup, Fat. Dengar! Orang-orang jomlo kayak kamu mana ngerti soal cinta, sih?” Rinrin tersenyum mengejek, setengah dongkol saat Fatma mengatai kekasihnya sebagai begundal. Fatma berbalik marah. Keduanya terlibat adu mulut dengan durasi waktu yang teramat panjang, membuat Rinrin akhirnya mengemasi semua pakaian dan pergi dari kontrakan mereka.


Malam itu Rinrin pulang ke kontrakan Agus Kuncir.


***


Acara sakral itu hanya dihadiri seorang penghulu, wali hakim, dan teman-teman Agus Kuncir yang semuanya laki-laki. Rasa takut dan cemas berganti nyaman dan tenang setiap kali Agus Kuncir merangkul seluruh dirinya.


Resmi menjadi istri Agus Kuncir, Rinrin mendapat banyak penghormatan termasuk salah satunya sebutan "Mak" sebagai panggilan hormat anak buah Agus Kuncir kepadanya. Nama Marinka akhirnya tercetus dari salah satu anak buah Agus Kuncir.


Sejak saat itu tidak ada lagi Rinrin Eka, melainkan Marinka, istri Agus Kuncir.


***


Semenjak menjadi istri Agus Kuncir, Marinka lebih sering menghabiskan waktunya di terminal untuk menemani sang suami bekerja. Pekerjaan yang dimaksud adalah nongkrong, merokok, atau bahkan berjudi ketika semua bus tengah berangkat dan bus selanjutnya sedang menunggu penumpang penuh di pangkalan. Tak jarang ia melihat suaminya ribut. Pemandangan yang semula membuat ngeri seorang Marinka yang polos dan penuh ketakutan, menjadi hal biasa yang tak aneh lagi. Sementara Agus Kuncir bekerja, Marinka akan duduk di basecamp (baca: tumpukkan jok mobil yang sudah tak terpakai).


Siang itu begitu terik. Marinka beranjak membeli sekantong es berperisa jeruk lalu duduk kembali di singgasananya. Hiruk-pikuk keadaan terminal seolah menjadi dingin sejuk setiap kali aliran es mengalir ke kerongkongan. Semuanya tetap setenang itu sebelum tiba-tiba seseorang datang merampas kantong es yang tengah dinikmati Marinka dengan paksa.


“Heh!” seorang perempuan hamil melotot sembari berkacak pinggang di depannya. Marinka nyaris iba melihat kepayahan perempuan kecil membawa bayi di dalam perutnya. Tetapi sedetik kemudian ia kembali memasang tampang garang.


“Gak ada sopan-sopannya pisan, maneh!” Marinka berdiri dengan marah.


“Elu yang kagak sopan. Dasar pelakor!”


“Pelakor?”


Sedikit terkesima dengan satu kata itu yang langsung menembus ulu hatinya. Marinka lengah saat sebuah tas jinjing wanita itu mendarat di kepala.


Bingung berganti marah, Marinka membalas seperti orang kesetanan. Peduli apa bahwa perempuan yang tengah duel dengannya ini dalam kondisi hamil. Ia tengah marah, sedih, kecewa, apalagi saat beberapa orang mulai datang melerai; termasuk Agus Kuncir yang ternyata lebih memilih memeluk perempuan hamil itu daripada ia yang baru beberapa minggu ini resmi menjadi istrinya.


Marinka marah, sedih, kecewa, ditambah lagi frustrasi. Setelah kejadian itu, ia tak bisa menemukan Agus Kuncir lagi di mana pun. Bahkan lelaki itu tak pulang ke rumah kontrakan mereka. Ia menjadi sepenuhnya mengerti, mengapa Agus Kuncir tak pernah absen menyuruhnya meminum pil pencegah kehamilan semenjak di awal pernikahan mereka yang begitu penuh cinta.


***


“Tak ada pulang rupanya kutengok suamimu itu?” Atu Miru—tetangga kontrakkannya—menyongsong pertanyaan ketika Marinka lewat di depan kamar kontrakan perempuan nyaris paruh baya itu. Tak ada lagi daya yang tersisa. Marinka hanya melewati begitu saja tanpa menanggapi apa-apa.


Dipikir, Atu Miru hanya satu-satunya pengganggu. Selang beberapa menit saat Marinka berhasil merebahkan punggungnya di kasur lantai, suara ketukan pintu—yang lebih mirip gedoran—mengganggu istirahatnya.


“Tidak pulang si Agus kampret itu?” Paijo—pemilik kontakan—bertanya dengan membusungkan dada angkuh. Hanya jika berhadapan dengan Agus Kuncir, nyalinya akan menciut. “Bagus! Biar tak usah pulang saja dia itu. Sekalian kau pun angkat kaki di rumahku ini. Sekarang!” lanjutnya lagi.


“Pergi sana! Kampret betul kalian berdua ini. Kalian pikir bangun kontrakan ini pakai uang bapak kalian? Main numpang-numpang tidur gratis saja.”


Marinka diam. Bukan tak ingin membela diri, hanya saja tubuhnya terasa sangat lemah. Ia tak bergerak sama sekali bahkan ketika kepalanya membentur lantai dan tiga kali tendangan mendarat di perutnya dengan keras. Dunianya berhenti. Marinka sepenuhnya tak sadarkan diri.


***


“Ini teh Rin-rin? Duh gusti, lama nggak pulang. Bikin pangling.”


Marinka tersenyum sembari mengingat-ingat siapa lelaki tua yang menyapanya tadi. Di tengah-tengah kebuntuan ingatannya, seseorang datang menghampiri. Marinka merasa sedikit beruntung.


“Assalamualaikum. Sudah lama, Teh?”


“Waalaikumsalam. Nggak, Wan.”


“Mang Ading, saya duluan ya,” pamit Wawan yang akhirnya membuat Marinka mengingat sosok lelaki tua itu.


Marinka berjalan mengikuti lelaki muda bernama Wawan yang tak lain adalah adiknya sendiri. Di kaki gunung Bubut, Marinka berasal dan ke sini pula, Marinka pulang. Lama tak saling bertukar kabar, perjalanan menuju jalan desa menuju rumahnya yang lumayan jauh hanya diisi dengan keheningan. Tak ada yang berinisiatif memecah keheningan di antara keduanya.


“Istirahat dulu, Teh. Habis itu kita makan. Wawan sudah masak sejak pagi tadi.”


Marinka menengok jam yang hampir menunjukkan angka sebelas. Ia ingat belum makan apa-apa sejak perjelanan semalam, tetapi aneh, perutnya tak merasakan lapar sedikit pun.


“Umi sama Abah ke mana?” tanya Marinka tanpa menggubris kalimat Adiknya tadi.


Wawan tak menjawab. Ia pergi ke dapur lalu kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas air. Marinka merasa asing. Baru kali ini ia merasa menjadi tamu di rumahnya sendiri. Ralat. Di rumah orang tuanya.


“Diminum dulu. Teteh kelihatan capek sekali.”


“Umi sama Abah ke kebon?”


Wawan tak menjawab, hanya mengembuskan napasnya keras-keras. Marinka bingung, sedikit ngeri melihat perubahan ekspresi Adiknya.


“Kenapa?” tanyanya lagi hati-hati.


“Ayo, Wawan antar Teteh ketemu Umi sama Abah.”


Seketika Marinka bangkit dan bergegas memasang kembali sepatu dan mengikuti Wawan berjalan menuju ke arah ladang yang dipenuhi alang-alang.


“Kenapa berhenti? Abah lagi garap sawah orang?” tanyanya ketika Wawan berhenti di sebuah pemakaman warga. Seingat Marinka, kebun sepetak milik abahnya masih di depan sana.


“Nggak, Teh. Abah sama Umi di sini.”


Marinka menegang di tempat. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Teramat dingin. Ia merasa kepalanya dipukul oleh sesuatu yang membuat kakinya tiba-tiba menjadi selemas agar-agar. Sedetik kemudian, Marinka menjerit histeris.


_______

Penulis


Rosyidatul Munawaroh lahir di Cianjur tahun 1995. Aktifitas sehari-harinya bekerja sebagai karwayan di perusahaan multinasional yang bergerak di bidang manufaktur. Suka membaca cerpen dan sesekali menulis satu dua buah walaupun lebih seringnya jadi arsip pribadi. Saat ini sedang melanjutkan Pendidikan Magisternya di Universitas Suryakancana Cianjur Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com