Tuesday, June 25, 2024

Proses Kreatif | Menulis, Uang, dan Cinta

Oleh Encep Abdullah



Tiga bulan terakhir—Mei, Juni, Juli—Redaksi NGEWIYAK merasa berbahagia karena—atas izin Allah—mampu memberikan honor apresiasi kepada para penulis (sementara puisi dan cerpen) terbaik. Bagi kami, ini sebuah capaian yang patut disyukuri. Mungkin tampak lebai. Tapi, memang begini yang kami rasakan, ada kebahagiaan di sana. Mungkin kebahagiaan kami ini seperti halnya kebahagiaan rekan-rekan penulis yang karyanya dimuat, dipilih menjadi yang terbaik, serta mendapatkan honor apresiasi. 

Uang yang kami keluarkan untuk dua penulis terbaik tiap bulan itu mungkin masih teramat kecil. Namun, sementara ini kami hanya mampu merangkak, belum bisa berlari. Kami tidak mau membanding-bandingkan dengan media lain. Setiap rumah punya masalahnya sendiri, punya kapasitasnya sendiri. Saya yakin, setiap media sastra, baik cetak maupun digital, idealnya berupaya agar penulis yang karyanya tayang bisa mendapatkan haknya (honor, hadiah, atau apresiasi lainnya). Kalaupun ada media yang berniat mencari untung dari sana, ya itu sah-sah saja. Terutama media-media yang punya donatur tetap atau yang sudah banjir iklan. Tim redaksi media juga bekerja, penulis juga bekerja. Kalau ada penghasilan uang di sana, tim redaksi berhak mengelolanya.

NGEWIYAK bukan media pemerintah atau media yang berfokus mencari iklan atau menghasilkan banyak cuan (entah nanti). Media ini dibuat untuk ikut meramaikan panggung sastra di negeri ini. Mungkin bagi sebagian orang, untuk apa melakukan sesuatu yang tidak mendatangkan cuan? Cuan itu mungkin bagi kami bukan nomor satu. Adapun kelak kami mendapatkan donatur atau rezeki entah dari mana, bisa jadi kami terima—dengan pertimbangan matang yang sudah disepakati tim redaksi. Ada kalanya, dalam sebuah organisasi atau lembaga atau komunitas, keber-ada-an uang bisa menjadi bencana bila tidak mampu dikelola dengan baik. 

Sementara ini, honor apresiasi penulis terbaik NGEWIYAK ditanggung oleh tim redaksi, siapa yang sedang ada rezeki dan ingin menjadi donatur kepada penulis terbaik setiap bulan, disilakan bagi tim redaksi—bila perlu dari luar redaksi, kami siap tampung. Kami tidak pernah memaksa karena saya yakin kawan-kawan redaksi pun punya kebutuhan dan keperluan hidup masing-masing. Punya hasrat dan kerelaan yang berbeda. Mungkin yang satu, loyal dari segi waktu—sabar memilah dan memilih karya yang masuk—, ada juga yang selalu setia menemani perjalanan redaksi walaupun tidak berkomentar apa-apa di grup WA, ada juga yang kadang militan kadang angot-angotan berdiskusi atau berkumpul, ada juga yang logout karena alasan ini dan itu.

Bagaimana pun karakter tim redaksi, saya selaku penanggung jawab, tidak menuntut apa pun. Media ini mulanya adalah ruang peralihan komunitas kecil saya, Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar). Pertemuan setiap minggu rasanya tidak cukup. Perlu ada ruang lain sebagai katarsis teman-teman yang energi menulisnya tak bisa dibendung. Nah, media inilah tempatnya. Selain sebagai ruang pemantik komunitas, juga ruang rekan-rekan penulis se-Indonesia. Namun, apalah daya, manusia punya titik jenuh dan kehidupan adalah sesuatu yang dinamis. Kita tidak bisa memaksakan perubahan-perubahan itu seperti apa yang kita mau, misalnya rekan-rekan komunitas harus selalu aktif menulis atau militan berorganisasi. Kenyataannya sebaliknya, kurang produktif menulis dan sebagainya karena sebagian kerja di luar kota atau sudah berumah tangga. Hal itu lumrah terjadi. 

Uang, kali ini saya mau bicara lagi tentang uang. Bagi media sastra, apresiasi uang itu perlu, per-lu ya, bukan wajib. Uang itu setidaknya, selain upah lelah menulis, juga sebagai pemantik dan pemanis bagi para penulis agar mereka mengirim karya. Ini sangat terbukti. Mulanya redaksi kami sepi pengirim setelah kami tidak aktif lagi menggelar ANUGERAH NGEWIYAK. Kami sempat beberapa kali libur pemuatan karya karena tidak ada pesan masuk di G-Mail. Sebuah media sastra tanpa penulis apalah artinya. Dengan mengucap ”bismillahirrahmanirrahim”, sebagai langkah awal perubahan, kami paksakan untuk memberikan honor apresiasi. Mulanya ingin memberikan honor per pemuatan (puisi, cerpen, dan esai). Namun, karena kami belum kaya secara materi, baru kaya secara mental, kami putuskan memberikan apresiasi sebulan sekali, pakai uang pribadi tim redaksi. Jujur saja, walaupun di NGEWIYAK menampilkan banyak iklan, kami belum mendapatkan haknya—karena belum sempat diotak-atik masalah per-adsen-an. Nanti itu kami urus lagi walaupun sebenarnya kami kurang tertarik membuka ruang iklan karena kadang cukup menganggu. Hal ini belum kami pertimbangkan lagi, apakah bakal dihapus saja atau dilanjutkan sampai mendapatkan cuan miliaran. Buahaha.

Selama dua bulan terakhir, G-Mail NGEWIYAK banyak pengirim. Setiap hari ada pesan masuk. Saya pribadi penasaran sejauh ini. Apakah karena memang ada honornya atau karena ada hal lain. Saya sengaja cek di Google terkait mengirim karya di NGEWIYAK, ternyata ada satu postingan di IG—saya lupa namanya—di sana mempromosikan media kami kalau media kami berhonor. Ribuan yang melihat postingan itu dan banyak yang berkomentar. Hm ... ini ternyata sebabnya, pantas agak aneh. Namun, banyak yang keliru menafsirkan informasi yang disampaikan. Sebagian penulis mengira bahwa honor pemuatan diberikan per pemuatan, bukan dipilih yang terbaik (khusus puisi dan cerpen) setiap bulan. Kepada para penulis, mohon baca baik-baik informasi dari kami, terutama di Facebook—upayakan berteman dengan kami di Facebook karena kami aktif di sana. Baca baik-baik aturan main pengiriman di sana agar tidak ”tersesat”.

Kembali kepada uang. Saya pribadi—untuk beberapa kasus—sering kali semangat menulis karena ada uangnya. Uang memang bukan segala-galanya, tapi uang setidaknya memberikan pemantik semangat. Teman saya pernah bertanya kepada saya saat kami ditunjuk menjadi narasumber. Kebetulan saya mengisi materi ”Cerpen Jawa Banten”.

”Kenapa kau kepikiran menulis cerita berbahasa Jawa Banten saat ada acara kayak begini?” 

”Aku juga tidak tahu, rasanya kemarin belum tertarik saja, untuk apa saya menulis cerita berbahasa Jawa Banten? Siapa yang baca dan beli? Kalau sekarang, aku dibayar, aku jadi semangat. Ada pemantik untuk menulis karena seperti ada tuntutan. Aku merasa aneh bila memberikan materi cerpen berbahasa Jawa Banten, sedangkan aku belum pernah menuliskan satu cerita pun.”

Begitulah, uang bisa menjadi magnet terkuat untuk menulis. Tapi, tidak seratus persen menulis melulu harus karena uang. Apakah saya menulis ini dibayar? Tidak. Kadang kita menulis karena ada cinta di sana. 


Kiara, 25 Juni 2024

______


Penulis

Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatifnya yang sudah terbit berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).